Apidi Bukit Menoreh. S.H. Mintardja Daftar Isi Seri I Jilid 1 Seri I Jilid 2 Seri I Jilid 3 Bagas Mahadika A. P. Api di Bukit Menoreh 1 Buku 001 (Seri I Jilid 1) Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit. Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas

♦ 15 Juli 2010 “Jika demikian, Ki Gede Menoreh memang harus menjadi sangat berhati-hati,” berkata Ki Patih, “Menoreh harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki Lurah pun harus menyiapkan prajurit dari Pasukan Khusus. Mungkin pasukan itu dengan tiba-tiba saja harus dipergunakan.” “Ya, Ki Patih. Kami di Tanah Perdikan Menoreh akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dari pembicaraan kami dengan orang-orang yang sudah tertangkap itu, kami dapat menduga bahwa sasaran antara mereka adalah Tanah Perdikan Menoreh.” Dengan nada rendah Ki Patih itu pun berkata, “Tetapi para petugas sandi yang lain tentu akan segera mengirimkan laporannya berturut-turut.” “Kami akan selalu menunggu perintah.” “Datanglah setiap kali, Ki Lurah. Kita akan membuat pertimbangan bersama. Kecuali jika keadaan mendesak, kau dapat datang kapan pun juga. Jika kau berhalangan karena sesuatu hal, kau dapat memerintahkan kepercayaanmu. Tetapi orang itu harus lebih dahulu kau perkenalkan kepadaku. Aku tidak ingin berhubungan dengan orang yang salah. Jika aku belum mengenal kepercayaanmu, maka dapat saja terjadi orang yang tidak kita inginkan datang untuk menyadap keteranganku, yang seharusnya hanya dapat kau dengar.” “Baik, Ki Patih. Pada kesempatan lain, aku akan datang bersama seseorang yang dapat mewakili aku berhubungan dengan Ki Patih.” Pembicaraan antara Ki Patih dan Agung Sedayu masih berlangsung beberapa lama. Namun kemudian Ki Lurah itu pun minta diri. “Salamku bagi Ki Gede,” berkata Ki Patih, ketika Agung Sedayu meninggalkan serambi Kepatihan. Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun sudah berpacu kembali ke Tanah Perdikan. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, Agung Sedayu dan pengiringnya harus menunggu rakit yang akan membawa mereka menyeberang. “Hati-hatilah,” bisik Agung Sedayu kepada kedua pengawalnya. “Ada apa Ki Lurah?” “Dua orang berkuda itu mengikuti kita, demikian kita keluar pintu gerbang Mataram.” Kedua orang pengiringnya itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Lurah itu pun berdesis pula, “Jangan berpaling. Mereka berada hanya beberapa langkah di belakang kalian.” Kedua orang pengawal Agung Sedayu itu tidak berpaling. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Jika rakit yang menepi itu nanti merapat, kita jangan tergesa-gesa naik. Kita akan menunggu rakit yang baru bertolak dari tepian sebelah barat itu.” Kedua pengawalnya pun mengangguk. Karena itulah, maka ketika rakit yang pertama merapat ke tepian, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya justru tidak bergerak ke arah rakit itu. Tetapi justru ke arah lain. Kedua orang berkuda yang disebut oleh Agung Sedayu itu memang terkejut. Mereka juga sudah bergerak menuju ke rakit yang menepi. Namun agaknya keduanya tidak menunda keberangkatan mereka. Jika mereka juga tidak naik ke rakit itu, maka Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya tentu segera mengetahui bahwa kedua orang itu memang sedang mengikuti mereka. Bahwa Agung Sedayu dan kedua pengawalnya urung naik ke rakit itu pun merupakan pertanda bahwa mereka telah mengetahui, bahwa kedua orang itu sedang mengikuti mereka. Sambil mengumpat, kedua orang itu pun kemudian naik ke rakit sambil membawa kuda mereka. Beberapa orang yang lain pun segera naik pula, sehingga rakit itu pun menjadi penuh. Sementara itu, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya masih berada di tepian. Sambil tersenyum Agung Sedayu memandang kedua orang yang sudah berada di atas rakit, yang bahkan rakit itu pun mulai bergerak melintasi Kali Praga. Meskipun demikian Agung Sedayu pun berpesan kepada kedua orang pengawalnya, “Berhati-hatilah. Mungkin kedua orang itu masih akan menunggu kita di seberang sungai.” Kedua orang pengawalnya mengangguk. Sejenak kemudian, ketika rakit berikutnya merapat di tepian, barulah Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya naik ke atas rakit sambil membawa kuda-kuda mereka. Beberapa saat kemudian, ketiganya telah memacu kuda mereka menyusuri jalan bulak yang luas di atas tanah di Tanah Perdikan Menoreh. “Ternyata kedua orang itu tidak menunggu kita,” desis Agung Sedayu. Sebenarnyalah kedua orang yang mengikuti Agung Sedayu dan kedua pengawalnya ini tidak mereka lihat lagi. “Siapakah kira-kira mereka?” bertanya Agung Sedayu. Tetapi kedua pengawalnya menggeleng. Seorang di antaranya menjawab, “Kami sama sekali tidak mempunyai petunjuk apapun tentang mereka, Ki Lurah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat kemudian mereka telah memasuki pintu gerbang barak mereka. Agung Sedayu sempat beristirahat beberapa lama di baraknya. Setelah berbicara dengan orang-orang yang dipercaya untuk memimpin barak itu selama ia tidak ada di barak, maka Agung Sedayu pun kemudian telah meninggalkan baraknya, pulang ke padukuhan induk. Agung Sedayu memang agak terlambat pulang. Meskipun Sekar Mirah tahu bahwa Agung Sedayu pergi ke Mataram, namun ia masih juga merasa resah. Demikian pula para penghuni rumah itu yang lain. Meskipun Agung Sedayu berilmu sangat tinggi, tetapi jika ia dihadapkan kepada lima atau enam orang berilmu, maka pada satu tataran tertentu Agung Sedayu akan dapat dikalahkan. Tetapi jantung Sekar Mirah berdentang dengan irama yang wajar kembali, ketika Agung Sedayu kemudian datang memasuki halaman rumahnya. Hanya kepada Sekar Mirah, Agung Sedayu bercerita tentang pembicaraannya dengan Ki Patih. “Setiap kali aku harus menghadap untuk saling bertukar keterangan,” berkata Agung Sedayu malam itu kepada Sekar Mirah. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah persoalan di Tanah Perdikan ini timbul, bahkan mungkin akan terjadi benturan kekuatan yang besar, karena aku memiliki tongkat baja putih?” “Tidak, Mirah. Bukan itu. Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah menjadi sasaran antara. Tanah ini akan dijadikan landasan untuk meloncat ke Mataram, serta lumbung bahan pangan bagi sebuah kekuatan yang akan menghancurkan Mataram.” “Tetapi bukankah Mataram bukan sebuah padukuhan kecil yang hanya mempunyai dua puluh lima orang pengawal?” “Kekuatan Mataram berada di berbagai tempat, Mirah. Jika Mataram pernah menyatukan wilayah yang luas, karena Mataram menghimpun kekuatan yang tersebar itu.” “Bukankah dalam keadaan yang khusus, Mataram dapat melakukannya?” “Tentu Mirah. Tetapi Mataram memerlukan waktu untuk itu.” “Bukankah Mataram dapat melakukannya sejak sekarang?” “Mirah. Persoalan yang dihadapi oleh Mataram bukan hanya sekelompok orang yang akan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan. Di wilayah-wilayah lain juga perlu mendapat pengawasan, agar tatanan pemerintahan dapat berlangsung tertib.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh harus lebih bertumpu pada kekuatan sendiri, yang harus dipersiapkan dengan baik. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, akan dapat menjadi bagian dari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Di hari-hari berikutnya, Tanah Perdikan Menoreh memang mulai mempersiapkan diri dengan baik, meskipun dengan hati-hati agar tak menimbulkah keresahan. Kerja sama dengan para prajurit di barak pun berlangsung semakin baik, karena prajurit dari Pasukan Khusus itu selain dipimpin Agung Sedayu, juga merasa tinggal di Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dalam kesibukannya sehari-hari di sawah, ladang dan bahkan dimana-mana, telah mengamati keadaan dengan seksama. Ada di antara mereka yang melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang rasa-rasanya selalu mengawasi Tanah Perdikan ini. “Awasi mereka,” perintah Agung Sedayu. Para prajurit dalam tugas sandi yang bertugas di Tanah Perdikan dan tinggal di padukuhan-padukuhan membenarkan penglihatan para pengawal itu, karena mereka pun telah pernah melihat pula. Bahkan mereka sedang mengamati secara khusus beberapa orang yang mereka curigai. Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Tanah Perdikan Menoreh dan petugas sandi dari barak Pasukan Khusus telah bekerja keras untuk mengamati seluruh daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka pun sadar, bahwa petugas sandi dari gerombolan yang ingin menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan perjuangan mereka untuk menggapai Mataram, juga sudah lewat. Mungkin mereka menyamar sebagai pedagang dan berada di pasar-pasar yang tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Mungkin mereka merayap dengan diam-diam di sela-sela perbukitan dan di hutan-hutan lereng pegunungan. Karena itu, mereka harus berhati-hati menjalankan tugas mereka Sedangkan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan pun menyadari pula, bahwa barak mereka tentu juga mendapat pengawasan khusus dari orang-orang yang mengaku keluarga perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun kembali. Karena itulah, maka kadang-kadang memang terjadi benturan-benturan kecil antara para petugas sandi dari kedua belah pihak. Seakan-akan mereka saling merunduk. Yang lengah akan menjadi korban kecerdikan dan bahkan kadang-kadang kelicikan lawannya. Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin hati-hati. Mereka sadar bahwa niat para pengikut Ki Saba Lintang untuk menculik Rara Wulan tidak akan pernah padam. Rara Wulan akan dapat dipergunakan untuk memaksa Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu untuk menyerahkan tongkat baja putihnya. Dengan sepasang tongkat baja putih, maka keinginan Ki Saba Lintang untuk memimpin perguruan Kedung Jati yang baru itu akan dapat tercapai. Di rumah Ki Lurah, Empu Wisanata tidak henti-henti menasihati anak perempuannya, agar ia benar-benar melupakan impian-impiannya untuk bersama-sama dengan Ki Saba Lintang menguasai satu himpunan kekuatan yang sangat besar. “Mimpi itu akan dapat menyesatkan jalan hidupmu,” Empu Wisanata menekankan. Dari hari ke hari memang nampak perubahan pada diri Nyi Dwani. Ia tidak lagi terlalu banyak merenung. Nyi Dwani itu selalu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Dengan keluarga Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kecurigaan Ki Lurah dan Nyi Lurah kepada Nyi Dwani pun menjadi semakin menyusut. Apalagi Empu Wisanata tidak jemu-jemunya selalu memberi petunjuk kepada anak perempuannya itu, agar ia benar-benar mengubah jalan hidupnya. Di samping kesiagaan di Tanah Perdikan, maka seperti pesan Ki Patih Mandaraka, setiap kali Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke Mataram untuk menghadap. Dengan demikian maka kedua belah pihak dapat saling bertukar keterangan. Kedua belah pihak juga dapat menyesuaikan langkah-langkah yang akan diambil. Namun Agung Sedayu terkejut juga ketika pada suatu kali, Ki Patih Mandaraka itu berkata, “Ki Lurah. Agaknya orang-orang dari Pati, Demak dan Jipang tidak hanya mengamati Tanah Perdikan saja. Tetapi Ki Tumenggung Untara telah berhasil menangkap dua orang petugas sandi yang mempunyai hubungan dengan rencana untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati.” “Apakah mereka juga akan menyusup lewat timur?” “Mungkin tidak. Tetapi agaknya mereka ingin mengetahui apakah ada kekuatan dari Jati Anom atau Sangkal Putung yang dikirim ke Tanah Perdikan.” “Apakah petugas sandi itu tidak dapat memberikan keterangan tentang tugas-tugas mereka?” “Mereka adalah orang-orang yang keras hati. Sampai saat ini mereka masih belum mau mengatakan apa-apa. Tetapi para prajurit di Jati Anom masih bersabar. Mungkin besok atau lusa orang itu mau mengatakan sesuatu tentang tugas-tugas mereka” “Selain dari Jati Anom, apakah pernah ada laporan dari Sangkal Putung?” “Belum, Ki Lurah. Tetapi menurut dugaanku, tentu juga ada petugas sandi yang berkeliaran di Sangkal Putung, karena mereka tahu bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu berasal dari Sangkal Putung. Mereka pun tahu bahwa di Kademangan Sangkal Putung juga tersimpan kekuatan yang cukup besar. Bahkan sejak Sangkal Putung menjadi sasaran kekuatan Jipang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan, yang juga salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati.” Agung Sedayu mengangguk sambil berkata, “Apakah Adi Swandaru perlu mendapat peringatan khusus tentang hal ini, Ki Patih?” “Aku kira masih belum perlu, Ki Lurah. Jika hal itu diperlukan, biarlah Ki Tumenggung Untara mengambil langkah-langkah seperlunya, agar ada kesatuan sikap antara para prajurit di Jati Anom dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung.” “Jadi apakah itu berarti bahwa Kakang Untara-lah yang akan mendapat perintah untuk tugas itu?” “Ya. Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung pada kesempatan lain.” Dengan demikian maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran, bahwa jaringan sandi dari orang-orang yang berniat untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati itu sangat luas. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun yakin bahwa Ki Saba Lintang bukanlah orang yang mampu mengendalikan kekuatan yang besar itu. Seandainya pada suatu saat Ki Saba Lintang berhasil mendapatkan sepasang tongkat baja putih, sehingga bersama dengan Nyi Dwani menjadi pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun, maka keduanya tentu akan kecewa. Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani harus melihat kenyataan, bahwa mereka hanyalah sebagian kecil saja dari gerakan yang sedang berputar, yang justru berada di luar kemampuannya untuk mengendalikannya. Ketika kemudian Agung Sedayu kembali ke baraknya, maka ia pun telah memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menjadi semakin berhati-hati. “Ternyata kita berhadapan dengan kekuatan yang besar, yang telah membuka jaringan pengawasan yang luas,” berkata Agung Sedayu kepada beberapa orang pemimpin baraknya. Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan bahwa para prajurit di Jati Anom juga sudah menangkap petugas sandi dari kekuatan yang masih belum menampakkan dirinya dengan jelas itu. Dengan demikian berarti bahwa pengamatan mereka terhadap Mataram telah mereka lakukan dari banyak sisi. Bahkan mungkin mereka sedang membuat perhitungan, manakah yang lebih menguntungkan, apakah mereka akan meloncat ke Mataram dari barat atau dari timur. “Tetapi agaknya mereka akan tetap memilih untuk membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Jati Anom dan sekitarnya, serta Sangkal Putung dan kademangan-kademangan di sebelah-menyebelahnya adalah daerah yang subur, namun mereka akan memperhitungkan bahwa pasukan Untara dan pengawal Kademangan Sangkal Putung terlalu kuat untuk mereka hadapi.” “Mereka menganggap kita di sini lebih lemah?” bertanya salah seorang pembantu Agung Sedayu. “Agaknya memang demikian. Dasar perhitungan mereka adalah bahwa jumlah prajurit di Jati Anom berlipat ganda dari jumlah kita di sini.” “Tetapi itu bukan ukuran,” jawab yang lain. “Aku tahu. Bahkan kemampuan para prajurit secara pribadi juga harus diperhitungkan. Tetapi apakah orang-orang, katakanlah semuanya yang menyatu dalam lingkaran perguruan Kedung Jati itu, sempat membuat perhitungan sampai sekian jauh? Mereka tentu hanya memperhitungkan jumlah. Kita tahu bahwa kesatuan yang berada di Jati Anom adalah kesatuan yang besar. Sedangkan jumlah para pengawal Kademangan Sangkal Putung juga cukup besar.” “Jika demikian, maka bahaya yang membayangi Tanah Perdikan Menoreh adalah benar-benar bahaya yang diperhitungkan dengan sungguh-sungguh.” “Ya. Itulah sebabnya maka kita akan terlibat langsung, jika rencana itu benar-benar mereka laksanakan.” “Bukankah Ki Patih tetap tidak berkeberatan?” “Berkeberatan untuk kita langsung terjun ke arena?” “Ya.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Tentu saja Ki Patih tidak akan berkeberatan. Ancaman ini akhirnya akan tertuju ke Mataram. Bahkan Ki Patih akan memberikan bantuan sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukan.” Para pemimpin dari barak Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami sudah siap, kapanpun kami harus terjun.” “Mulai besok, perkuat kelompok prajurit yang meronda berkeliling. Demikian pula gelombang perondaannya pun harus ditambah.” Hari itu Agung Sedayu pun terlambat pulang. Tetapi Sekar Mirah tahu, bahwa Agung Sedayu hari itu telah pergi ke Mataram. Malam itu Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede bersama Sekar Mirah. Agung Sedayu telah memberitahukan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Ki Patih. Sambil mendengarkan laporan Agung Sedayu, Ki Gede mengangguk-angguk. Ia pun membayangkan, bahwa kekuatan dari orang-orang yang akan menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan untuk bergerak ke Mataram adalah kekuatan yang besar. Mereka terdiri dari para prajurit Pati yang dapat dihimpun dan dikelabui oleh para perwira yang mendendam kepada Mataram. Kemudian kekuatan yang tersisih dari Pajang dan harus kembali ke Demak, sedangkan yang lain adalah sisa-sisa kekuatan Jipang, atau keturunan mereka yang merasa wajib membalas dendam. Mereka telah bergabung dengan Ki Saba Lintang yang ingin membangun kembali perguruan Kedung Jati, bekerja bersama dengan orang-orang yang mempunyai pamrihnya masing-masing. Karena itulah, maka Ki Gede pun telah memerintahkan kepada Prastawa untuk menghimpun semua kekuatan. Bukan hanya para pengawal, tetapi setiap orang mempunyai kewajiban untuk membela dan mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh menurut kemampuan masing-masing. “Jika laki-laki harus menghadapi lawan di medan perang, maka biarlah perempuan-perempuan menyiapkan makan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Latihan-latihan perlu diselenggarakan di semua padukuhan. Jika terpaksa sedikit menimbulkan keresahan, hal itu tidak dapat kita hindari.” Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun mohon diri untuk pulang. Ketika mereka memasuki regol halaman rumah mereka, terasa suasana yang berbeda. Mereka merasakan getar yang aneh di dalam jantung mereka. “Agaknya sesuatu telah terjadi Mirah,” desis Agung Sedayu. “Ya,” sahut Sekar Mirah. Dengan hati-hati mereka memasuki halaman rumah. Ketika mereka pergi ke rumah Ki Gede, penghuni rumah itu lengkap ada di rumah. Mungkin Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi. Seandainya demikian, Ki Wijil, Nyi Wijil, Ki Jayaraga dan Rara Wulan ada di rumah. Ternyata bagian depan rumah itu menjadi lengang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kemudian melingkari rumah mereka dan langsung pergi ke halaman belakang. Sebelum mereka sampai di halaman belakang, mereka justru terhenti, Mereka mendengar pertengkaran di halaman belakang. “Suara Nyi Dwani,” desis Sekar Mirah. Mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Di sudut rumah yang gelap mereka bergeser ke halaman belakang. “Kakang,” desis Sekar Mirah. Sekar Mirah itu pun melihat Nyi Dwani di bawah cahaya oncor di sebelah pintu dapur, berdiri tegak sambil menggenggam tongkat baja putih Sekar Mirah. Di sekitarnya berdiri Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil, Glagah Putih, Sabungsari, Sayoga dan Empu Wisanata. Yang membuat darah Sekar Mirah seakan-akan berhenti mengalir adalah, bahwa Nyi Dwani sudah menguasai Rara Wulan. Tongkat baja putih itu menekan leher Rara Wulan, sementara dengan tangannya yang kuat, Nyi Dwani menggenggam tongkat itu hampir di ujung dan pangkalnya. “Bagaimana mungkin ia dapat menemukan tongkatku,” desis Sekar Mirah. “Ternyata Nyi Dwani adalah seorang yang sangat pandai berpura-pura. Selama ini seakan-akan ia sudah menjadi baik. Beberapa kali kejujurannya nampaknya teruji. Ayahnya pun selalu memberikan petunjuk-petunjuk dan didengarkannya dengan patuh.” “Salahku, Kakang. Aku selalu mudah percaya kepadanya.” “Ternyata ayahnya pun seorang yang licik. Kepura-puraan selalu menasihatinya dan Nyi Dwani pun berpura-pura mendengarkannya dengan patuh. Tetapi inilah akhirnya.” “Aku akan berbicara dengan Nyi Dwani. Aku sudah tidak mungkin mengampuninya lagi,” geram Sekar Mirah. Keduanya pun kemudian telah mendekat dengan hati-hati. Demikian Nyi Dwani melihat keduanya, maka tongkat baja putih itu semakin menekan leher Rara Wulan. Dengan garang Nyi Dwani itu pun berkata, “Jangan mendekat. Jika kalian mencoba mendekat, anak ini akan mati.” “Inikah akhir dari ketulusan yang nampak pada dirimu itu, Nyi Dwani?” bertanya Sekar Mirah. “Aku tidak peduli. Aku memerlukan tongkat baja putih ini. Karena itu, minggirlah, atau Rara Wulan akan mati.” Sekar Mirah justru melangkah maju. Sementara Nyi Dwani berteriak, “Jangan maju lagi! Atau aku membunuh anak ini!” “Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah dengan suara bergetar, “sudah dua kali kita bertempur. Aku tidak benar-benar berusaha membunuhmu. Tetapi sekali ini, aku tantang kau bertempur. Pergunakan tongkat baja putih. Kita akan mengetahui, siapakah yang akan memenangkan perang tanding ini. Jika kau berhasil membunuhku, kau dapat membawa tongkat baja putih itu tanpa diganggu. Tetapi jika kau kalah, maka kali ini kau akan mati.” “Persetan dengan perang tanding!” jawab Nyi Dwani lantang, “Aku tahu bahwa kau mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmuku. Karena itu, aku tidak terlalu bodoh untuk menerima tantanganmu.” “Kau licik sekali.” “Aku tidak berkeberatan kau anggap licik. Tetapi aku memerlukan tongkat baja putihmu ini.” “Nyi Dwani,” Sekar Mirah menjadi semakin marah, “kau kira kau mampu meloloskan dirimu? Tanah Perdikan Menoreh tidak hanya selembar daun jati. Mungkin kau dapat keluar dari halaman ini. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat keluar dari Tanah Perdikan ini.” “Agung Sedayu,” geram Nyi Dwani, “sediakan aku seekor kuda. Aku memerlukan kuda Glagah Putih yang tegar. Aku akan pergi sambil membawa Rara Wulan. Jika kalian tidak menurut perintahku, maka yang akan kalian temui hanyalah mayatnya saja.” Semuanya jadi terdiam. Tidak seorang pun tahu, apa yang sebaiknya harus mereka lakukan. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari tanpa berjanji telah berdiri di sisi yang saling berseberangan. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Salah seorang dari mereka yang berdiri di belakang punggung Nyi Dwani harus melakukannya. Menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati, agar serangan itu tidak justru melukai Rara Wulan sendiri. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Empu Wisanata melangkah maju. Wajahnya merah membara. Giginya gemeretak. Matanya bagaikan memancarkan api kemarahan di dalam dadanya. “Dwani,” Empu Wisanata itu menggeram, “jadi selama ini semua kata-kataku, semua nasihatku dan semua petunjuk ke jalan kebaikan itu kau anggap desir angin saja?” “Aku bukan anak-anak lagi, Ayah. Ayah tidak usah mengajari aku lagi. Aku sudah tahu mana yang terbaik bagiku. Selama ini Ayah selalu menyalahkan aku. mencela, melarang, marah dan menganggap aku masih saja kanak-kanak. Sekarang sebaiknya Ayah terbangun. Pandanglah aku, Ayah. Aku ternyata sudah lebih dari dewasa. Aku bukan lagi gadis remaja yang cengeng.” Orang-orang yang berdiri di seputar tempat itu mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih saja curiga. Bahkan mereka bertanya di dalam hati mereka masing-masing, “Permainan apalagi yang akan dilakukan oleh ayah dan anak perempuannya itu?” Sementara itu Nyi Dwani pun berteriak sekali lagi, “Agung Sedayu! Sediakan kuda Glagah Putih! Beri aku jalan sampai ke halaman depan. Biarkan aku naik ke punggung kuda dengan gadis ini dan meninggalkan kalian. Jika kalian tidak mengganggu aku, maka kalian akan menemukan Rara Wulan. dalam keadaan hidup. Tetapi jika ada di antara kalian atau orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berbuat macam-macam, maka Rara Wulan akan mati. Tongkat baja putih ini akan mencekiknya dan mematahkan batang lehernya.” Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu berteriak, “Jangan hiraukan aku! Ambil tongkat baja Mbokayu Sekar Mirah!” Suara Rara Wulan terputus. Ketika Nyi Dwani menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu, maka rasa-rasanya leher Rara Wulan benar-benar telah tersumbat. Ia bukan saja tidak dapat berteriak, tetapi jalur pernafasannya pun seakan-akan telah terputus, sehingga Rara Wulan itu kemudian telah terbatuk-batuk dan bahkan hampir saja ia muntah. “Jangan cengeng atau berpura-pura!” bentak Nyi Dwani, “Jika kau mencoba berbuat sesuatu, maka kau akan benar-benar mati.” Orang-orang yang berdiri mengitari Nyi Dwani itu memang menjadi bingung. Namun Empu Wisanata pun kemudian berkata, “Dwani. Meskipun kau sudah lewat dewasa, meskipun kau sudah cukup berpengalaman, tetapi aku adalah ayahmu. Sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun aku adalah ayahmu. Karena itu, dengarlah nasehatku.” “Dahulu aku anak Ayah. Sekarang aku sudah mampu tegak di atas kaki sendiri. Karena itu, aku bukan lagi anak Ayah yang masih harus mendengarkan nasihat-nasihat, larangan-larangan, ancaman dan segala macam peraturan yang memuakkan. Itulah sebabnya saudara-saudaraku telah melarikan diri dari sisi Ayah.” “Dwani. Jadi kau menganggap dirimu sudah bukan anakku lagi, sehingga hubungan keluarga di antara kita sudah terputus?” “Ya,” jawab Nyi Dwani singkat. “Bagus. Jika demikian kita sekarang adalah orang lain. Kau bukan anakku lagi. Karena itu, maka aku akan mengambil sikap.” Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara itu Empu Wisanata melangkah mendekatinya sambil berkata, “Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku. Kau tidak berhak memilikinya. Aku akan mengembalikannya kepada pemiliknya.” Dengan nada tinggi Nyi Dwani pun kemudian menyahut, “Aku memerlukannya! Tongkat baja putih ini akan menjadi milikku!” “Tidak!” suara Empu Wisanata pun meninggi pula, “Serahkan kepadaku!” “Tidak!” “Kau tahu, aku akan dapat membunuhmu. Seberapa pun tinggi ilmumu, namun ilmumu masih belum sehitamnya kuku dibanding dengan ilmuku. Kau tahu itu.” “Jangan maju lagi.” “Kau sendiri yang telah memutuskan hubungan di antara kita. Karena itu, maka aku tidak akan pernah menyesal jika aku membunuhmu, karena aku tidak membunuh anakku.” “Jika kau maju lagi, Rara Wulan akan mati.” “Aku tidak peduli dengan Rara Wulan. Ia bukan sanak dan bukan kandangku. Yang penting bagiku, aku harus dapat membunuhmu. Membunuh mimpi-mimpi burukmu. Membunuh orang yang telah menghinaku dan mencampakkan aku ke dalam kesendirian di dunia ini.” Suara Empu Wisanata menggelepar bagaikan mengguncang langit. Dedaunan pun telah bergoyang-goyang seperti diputar oleh angin pusaran. Bumi tempat berpijak pun rasa-rasanya bagaikan bergetar. “Ayah,” Nyi Dwani menjadi cemas. Ternyata Empu Wisanata benar-benar menjadi sangat marah. Sementara itu Empu Wisanata berkata, “Nah, bersiaplah Dwani. Apapun yang akan kau lakukan terhadap gadis itu, aku tidak peduli. Aku memang merasa lebih baik bahwa kau benar-benar tidak ada lagi di muka bumi, daripada kau masih hidup tetapi aku sudah tidak lagi mempunyai anak seorangpun. Pada kesempatan lain, aku bersumpah untuk memburu dan membunuh Ki Saba Lintang sampai di ujung bumi sekali pun. Kau tahu bahwa aku mampu melakukannya.” Nyi Dwani benar-benar menjadi gemetar. Ia tidak pernah melihat ayahnya marah seperti itu. Ia tahu bahwa ayahnya memang seorang yang keras. Tetapi ayahnya jarang sekali marah, apalagi marah sampai ke puncak. Sementara itu, Nyi Dwani pun tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Sejak ayahnya terlibat dalam pertempuran melawan Ki Jayaraga di Tanah Perdikan itu, ia merasa bahwa ayahnya memang belum sampai ke puncak ilmunya. Namun sekarang untuk menghadapinya, agaknya ayahnya benar-benar akan melumatkannya menjadi debu. Dalam kebingungan itu, Nyi Dwani tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berdiri saja termangu-mangu. Namun terasa bahwa jantungnya berdegup semakin cepat dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi Empu Wisanata yang tidak dimengertinya itu. Jika Empu Wisanata itu justru sedang berada dalam puncak permainannya, maka ia akan menjadi sangat berbahaya. Dengan tiba-tiba saja ia dapat menyerang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga dalam sekejap ia akan dapat membinasakan dua atau tiga orang sekaligus, sementara orang-orang itu masih belum siap. Perhatian orang-orang yang berdiri mengitari tempat itu lebih banyak ditujukan kepada Nyi Dwani daripada kepada Empu Wisanata yang marah. Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu pun tidak akan menduga, seandainya tiba-tiba saja Empu Wisanata itu menebarkan ilmu pamungkasnya. Namun Agung Sedayu itu pun sadar, bahwa jika hal itu terjadi, sasaran pertama adalah dirinya. Jika Empu Wisanata itu berniat buruk dan mampu membinasakan Agung Sedayu, maka pengaruh jiwani terhadap yang lain pun tentu akan sangat besar sekali. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Jika serangan itu tiba-tiba datang, maka Agung Sedayu pun siap melawan dengan puncak ilmunya. Justru karena itu, maka Agung Sedayu sengaja tidak mendekati Sekar Mirah. Ia justru berdiri terpisah, sehingga jika Empu Wisanata itu menyerangnya, serangan itu tidak akan menyentuh orang lain. Namun dalam pada itu, selagi Nyi Dwani dicengkam oleh kebimbangan untuk menentukan sikap, tiba-tiba saja Rara Wulan berusaha memanfaatkan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaganya, Rara Wulan menyerang ulu hati Nyi Dwani dengan sikunya. Nyi Dwani yang berdiri di belakang Rara Wulan sambil menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu terkejut. Ulu hatinya yang menjadi sasaran serangan Rara Wulan itu bagaikan dihentak dengan ujung penumbuk padi. Nyi Dwani itu mengaduh perlahan. Ia tidak siap mengalami serangan itu. Karena itu, perhatiannya atas tongkat baja putihnya yang menekan leher Rara Wulan itu mengendur sesaat. Dengan tangkasnya Rara Wulan pun mengangkat tongkat baja putih itu sambil merendah, sehingga lehernya terlepas dari tekanan tongkat baja putih itu. Dengan cepat Rara Wulan meloncat berlari menjauhi Nyi Dwani. Ketika Nyi Dwani menyadari keadaan itu, maka dengan tangkasnya pun ia berusaha memburu Rara Wulan. Bahkan tongkat baja putih di tangannya itu sudah siap diayunkannya. Namun tiba-tiba saja Nyi Dwani itu terkejut. Sebelum ia sempat menyusul Rara Wulan, maka sepercik api seakan-akan telah menyembur dari dalam tanah. Nyi Dwani tidak dapat dengan serta-merta berhenti. Ia terdorong selangkah, lalu tubuhnya pun kemudian terpelanting jatuh terbanting di tanah. Namun tubuh itu pun kemudian berguling-guling beberapa kail. Terdengar jerit Nyi Dwani yang kesakitan. Ternyata bukan saja pakaian Nyi Dwani yang terbakar, tetapi kulitnya pun telah mengalami luka-luka bakar pula. Semua orang terkejut menyaksikan peristiwa itu. Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari, Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil dan anak laki-lakinya tidak merasa menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Semula mereka memang menduga bahwa serangan itu dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Namun ternyata Nyi Dwani itu pun mengaduh kesakitan, “Ampuh Ayah. Kenapa Ayah sampai hati membunuhku?” Empu Wisanata berdiri termangu-mangu. Namun ia pun segera berlari mendekati anak perempuannya yang mengalami luka-luka parah di seluruh tubuhnya. “Dwani, Dwani.” Terdengar Nyi Dwani mengerang kesakitan. “Maafkan aku, Dwani. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat melihat kau berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Aku mencoba untuk mencegahmu. Tetapi inilah yang terjadi.” “Sakit, Ayah. Panas sekali.” Beberapa orang telah berloncatan mendekat. Sementara itu Rara Wulan telah berada di dalam dekapan Sekar Mirah. “Air. Aku memerlukan air.” Glagah Putih dan Sabungsari-lah yang kemudian berlari ke sumur, disusul oleh Sayoga. Sesaat kemudian, Glagah Putih telah berlari-lari membawa sekelenting air. Empu Wisanata pun kemudian menaburkan serbuk dari sebuah bumbung kecil yang nampaknya selalu dibawanya, ke dalam air itu. Setelah diaduknya, maka air itu pun diguyurkan ke seluruh tubuh Nyi Dwani yang mengalami luka-luka bakar itu. Air yang sudah diaduk dengan serbuk obat itu nampaknya dapat mengurangi rasa sakit. Karena itu, Nyi Dwani itu pun tidak berteriak-teriak lagi. Meskipun demikian, ketika ia diangkat dan dibawa masuk ke ruang dalam, terdengar Nyi Dwani itu masih merintih. Nyi Dwani pun kemudian telah dibaringkan di pembaringan, di dalam bilik yang diperuntukkan baginya. Hampir semua benang pada pakaiannya telah terbakar. Karena itu, maka Nyi Dwani itu pun kemudian diselimuti dengan kain panjang, karena ia tidak dapat mengenakan pakaian. Api yang memercik karena ilmu Empu Wisanata itu telah melukai hampir seluruh tubuh Nyi Dwani. “Sakit, Ayah,” rintih Nyi Dwani. “Kau akan segera menjadi baik, Dwani,” desis ayahnya dengan suara yang bergetar. Malam itu semua orang yang berada di rumah Agung Sedayu itu hampir tidak dapat tidur sama sekali. Mereka seakan-akan ikut merasakan betapa panasnya tubuh Nyi Dwani yang dipenuhi dengan luka-luka bakar. Dengan tekun Empu Wisanata menunggui, dengan setiap kali mengusapkan air yang telah dibubuhi serbuk obat. Namun obat Empu Wisanata itu adalah obat yang ternyata sesuai bagi luka-luka di tubuh Nyi Dwani. Di keesokan harinya Nyi Dwani sudah mau ditinggalkan oleh ayahnya yang letih lahir dan batinnya. Ia tidak lagi selalu merintih kesakitan. Hanya sekali-kali terdengar Nyi Dwani itu berdesah. Berganti-ganti Sekar Mirah dan Nyi Wijil menungguinya. Rara Wulan masih dibayangi oleh ketakutan mendekati Nyi Dwani, yang telah mencekiknya dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah yang berhasil diambil oleh Nyi Dwani. Di hari berikutnya, keadaan Nyi Dwani menjadi semakin baik, meskipun ia masih belum dapat bangkit dari pembaringan. Nyi Dwani sudah mau minum air putih dan makan bubur tepung beras. “Ayah,” berkata Nyi Dwani dengan suara yang masih sendat. “Ada apa Dwani?” bertanya ayahnya. “Apakah Rara Wulan ada di rumah?” “Ada, Dwani.” “Aku ingin bertemu dengan gadis itu, Ayah.” “Kau telah membuatnya ketakutan, Dwani.” “Aku ingin minta maaf kepadanya.” Empu Wisanata pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menemui Sekar Mirah untuk menyatakan keinginan Nyi Dwani bertemu dengan Rara Wulan.. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menyampaikannya, Empu.” “Terima kasih. Nyi Lurah.” Ketika Sekar Mirah kemudian menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun menyatakan keseganannya. Dengan terus terang Rara Wulan berkata, “Hatiku masih terasa sakit sekali, Mbokayu. Aku memang masih juga dibayangi ketakutan. Tetapi jika aku mendekatinya bersama Mbokayu, aku sama sekali tidak merasa takut. Apalagi Nyi Dwani kini dalam keadaan sakit. Tetapi hatiku masih belum dapat diajak berdamai.” “Kau harus berjiwa besar, Rara,” berkata Sekar Mirah, “ia ingin minta maaf kepadamu.” “Nyi Dwani dapat saja minta maaf kepadaku, kepada Mbokayu dan kepada siapapun, setelah ia gagal. Tetapi jika ia berhasil?” “Ia tidak akan berhasil, Rara. Bukankah ayahnya sendiri tidak setuju dengan perbuatannya?” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan menemuinya bersama Mbokayu.” “Ya. Aku akan menemanimu. Empu Wisanata juga akan berada di dalam bilik itu.” Meskipun demikian, ketika akan memasuki bilik Nyi Dwani, Rara Wulan nampak sangat ragu. Tetapi Sekar Mirah pun kemudian melangkah di depan sambil berdesis, “Empu Wisanata ada di dalam.” Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian berdiri sebelah pembaringan Nyi Dwani bersama Sekar Mirah. Empu Wisanata-lah yang berbisik di telinga Nyi Dwani, “Dwani, Rara Wulan telah berada di sini.” Nyi Dwani membuka matanya. Ketika ia melihat Rara Wulan, maka Nyi Dwani tidak dapat menahan air matanya. Dengan suara yang bergetar serta tertahan-tahan ia pun berkata, “Rara. Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melakukannya. Bahkan ketika kita pulang dari pasar, aku sudah berniat untuk melibatkan diri ikut melindungi Rara. Tetapi akhir-akhir ini iblis itu datang lagi kepadaku, dan membujukku untuk mengambil tongkat baja putih itu. Tidak ada cara lain yang dapat aku lakukan, kecuali mempergunakan Rara sebagai taruhan. Aku mohon maaf, Rara.” Rara Wulan berdiri bagaikan membeku. Pedih di hatinya rasa-rasanya masih membekas. Apalagi ketika ia mengingat tongkat baja putih itu telah menekan lehernya sehingga ia hampir saja menjadi muntah-muntah. Nafasnya terasa terputus, dan seakan ia sudah berada di ujung hidupnya. “Rara. Kau mau memaafkan aku?” Namun sebelum Rara Wulan menjawab, Empu Wisanata pun bertanya. “Siapakah yang telah datang kepadamu itu, Dwani?” “Ki Saba Lintang.” “Kapan?” “Beberapa kali ia datang, Ayah. Ia menyamar. Kadang-kadang ia berhenti dengan pikulan dawetnya di depan regol rumah ini. Ia berbicara tanpa berpaling dan aku mendengarkannya dari dalam regol. Lain kali ia datang dalam ujud yang lain.” “Ia membujukmu untuk mengambil tongkat baja putih itu?” “Ya, Ayah.” “Dan kau terpengaruh lagi?” “Ya, Ayah,” terdengar Nyi Dwani itu terisak. Katanya kemudian, “Hatiku memang rapuh, Ayah.” “Kau harus mengingatnya Dwani. Kau tidak boleh kehilangan penalaran lagi,” Empu Wisanata berhenti sejenak. Lalu ia pun bertanya pula, “Apakah pada malam kau mengambil tongkat baja putih itu, ia berada di sekitar rumah ini pula?” “Ya, Ayah.” “Kau yakin?” desak Empu Wisanata. “Aku sudah mendengar isyaratnya.” Empu Wisanata mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berkata, “ Jika demikian, apakah kira-kira Ki Saba Lintang tahu apa yang terjadi?” “Agaknya ia mengetahuinya, Ayah.” “Tetapi ada baiknya juga, Dwani. Mereka langsung dapat melihat kegagalanmu.” “Ya, Ayah.” “Kau tidak usah menghiraukannya lagi. Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang, kau tidak usah ikut campur. Kau pun harus melupakan mimpimu tentang tongkat baja putih itu,” berkata Empu Wisanata. Bahkan kemudian katanya, “Dwani. Seandainya kau mencobanya lagi, maka aku pun tidak akan jera untuk memberi peringatan kepadamu. Jika karena itu maka kau benar-benar terbunuh, itu adalah satu akibat yang dapat saja terjadi, meskipun tidak aku inginkan.” “Ya, Ayah,” jawab Nyi Dwani. “Nah, berbicaralah dengan Rara Wulan sekarang.” “Rara,” berkata Nyi Dwani kemudian, “aku telah khilaf. Pada saat-saat aku dalam keragu-raguan, Ki Saba Lintang itu datang. Ia telah memberikan perintah-perintah yang disertai dengan janji dan harapan-harapan, sehingga jantungku telah terguncang lagi.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk. “Aku ingin mendengar kesediaanmu memaafkan aku, Rara.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun mengangguk kecil. Dengan demikian, maka Rara Wulan itu pun kemudian berkata, “Aku maafkan kau, Nyi Dwani.” Nyi Dwani memandang Rara Wulan dengan mata yang bersinar. Rara Wulan pun melihat wajah Nyi Dwani menjadi cerah. Dengan tangannya yang lemah, Nyi Dwani menggapai tangan Rara Wulan. Kemudian diciumnya sambil berdesis, “Bukan hanya wajahmu saja yang cantik, Rara Wulan. Tetapi hatimu juga cantik.” Rara Wulan justru tersipu-sipu. Katanya, “Terima kasih, Nyi Dwani.” “Aku tidak ingin menyakitimu. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain. Ki Saba Lintang itu pun minta aku melakukan hal itu atasmu.” “Sudahlah. Lupakan saja Nyi Dwani.” Nyi Dwani mengangguk kecil. Tetapi matanya menjadi basah. Beberapa saat Rara Wulan bersama Sekar Mirah berada di bilik Nyi Dwani. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan Nyi Dwani yang terbaring lemah. Sambil melangkah keluar Sekar Mirah berdesis, “Beristirahatlah dengan baik.” Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. Dalam pada itu, setelah Rara Wulan menyatakan kesediaannya memberi maaf, maka terasa beban di dada Nyi Dwani menjadi berkurang. Kepada ayahnya ia berkata, “Apapun yang akan terjadi atas diriku, Ayah, aku tidak akan menyesal lagi. Rara Wulan sudah bersedia memaafkan aku.” “Untuk selanjurnya berhati-hatilah mengambil langkah.” Nyi Dwani mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya, Ayah.” Dari hari ke hari keadaan Nyi Dwani semakin berangsur baik. Luka-luka bakar di tubuhnya mulai menjadi kering. Tidak ada bagian-bagian dari lukanya yang basah dan bernanah. Meskipun demikian, penghuni rumah itu masih tetap berhati-hati. Hati Nyi Dwani memang rapuh, sehingga dapat berubah setiap saat. Tetapi peristiwa terakhir itu agaknya benar-benar telah membuatnya jera. Empu Wisanata sudah mengatakan kepada Nyi Dwani bahwa ia tidak dapat berbuat lain, karena ia tidak mau melihat Nyi Dwani berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Namun dalam pada itu, di sore hari ketika Empu Wisanata sedang duduk di serambi gandok bersama Ki Jayaraga, dua orang berkuda telah memasuki regol halaman tanpa turun dari kudanya. Empu Wisanata yang melihat kedua orang itu terkejut. Dengan serta-merta ia bangkit dan melangkah turun ke halaman. “Suranata,” desis Empu Wisanata. “Selamat sore, Ayah,” berkata salah seorang dari mereka. “Marilah, naiklah. Mimpi apakah yang membawamu kemari?” “Mimpi buruk, Ayah.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, kedua orang berkuda itu telah duduk di pendapa, setelah mengikat kuda mereka di patok-patok yang memang tersedia di sebelah pendapa. Empu Wisanata telah minta Ki Jayaraga untuk ikut menemui anak laki-lakinya. “Ini adalah anakku laki-laki, Ki Jayaraga,” berkata Empu Wisanata. Namun Empu itu pun bertanya kepada anaknya, “Siapakah kawanmu itu?” “Ia saudara seperguruanku, Ayah. Seorang yang berilmu sangat tinggi.” “Namanya?” “Wira Aran.” “Aku ayah Suranata, Ki Sanak.” “Aku tahu,” jawab Wira Aran sambil mengangkat wajahnya, “Suranata banyak bercerita tentang ayahnya yang tidak disukainya, sehingga ia akhirnya lari.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Dengan ragu ia bertanya kepada anaknya, “Kau bercerita seperti itu, Suranata?” Suranata memandang ayahnya dengan tajamnya Kemudian ia pun menjawab, “Jadi apa yang harus aku katakan kepadanya? Aku memang tidak senang kepada Ayah. Maksudku, cara Ayah memperlakukan aku dan adik-adikku. Ayah selalu memaksakan kehendak Ayah. Kami sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaan kami, sehingga kami merasa bahwa kami tidak lebih dari sekedar benda-benda mati sebagai alat permainan Ayah saja” “Akhirnya kau dan seorang adikmu lari dariku.” “Ya.” “Setelah itu kau mendapatkan kebebasan untuk menentukan pilihan.” “Ya.” “Apa yang kau dapatkan dengan kebebasanmu? Arti dari hidupmu? Nilai-nilai kemanusiaan bagi banyak orang? Atau apa?” Wajah Suranata menjadi tegang. Dipandanginya wajah ayahnya dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Apa yang aku dapatkan tidak penting bagi orang lain. Yang penting bagiku, aku dapat menentukan langkahku sendiri. Aku berkuasa atas diriku, atas kehendakku dan kemauanku sendiri.” “Meskipun yang kau lakukan itu bertentangan dengan kepentingan orang banyak? Meskipun keputusan atas kehendak dan kemauanmu itu merugikan orang lain?” “Aku tidak peduli.” “Jika demikian, bukan hanya aku ayahmu saja-lah yang akan melarangmu. Tetapi orang lain pun akan menentangmu.” “Aku lebih senang berhadapan dengan orang lain daripada dengan Ayah.” “Apakah sikap itu masih berlaku sampai sekarang?” “Ya.” “Kenapa kau sekarang datang kepadaku?” “Ayah sekarang bagiku sudah menjadi orang lain. Dahulu aku memang anak Ayah. Tetapi aku telah melepaskan diri dari ikatan keluarga, sehingga aku tidak lagi harus tunduk kepada kemauan Ayah. Jika aku masih memanggil Ayah, bagiku Ayah sekarang adalah sebuah nama. Tidak ada sangkut paut kekeluargaan sama sekali.” “Yang kau katakan sama seperti apa yang dikatakan oleh Dwani. He, apakah kau datang bersama Saba Lintang saat Dwani mencuri tongkat baja putih? Atau kau dan Saba Lintang pernah menemuinya sebelumnya, dan mempengaruhinya agar Dwani mencuri tongkat baja putih itu?” “Sebaiknya aku tidak ingkar. Aku memang mempengaruhi agar Dwani tidak berhati lumpur. Hatinya harus sekokoh batu karang. Ia tidak boleh bergeser dari tujuan semula, sejak ia mulai bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang.” Empu Wisanata mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jadi selama ini kau berhasil menemui Dwani beberapa kali? Mungkin pada saat-saat rumah ini sepi. Saat Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke barak. Saat Angger Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi ke banjar. Saat aku, Ki Jayaraga dan Ki Wijil dan Rara Wulan berada di dapur.” “Sebut apa saja untuk menutupi kelengahan seisi rumah ini, atau karena tidak cukup kemampuan untuk menjaga tawanannya” “Dwani tidak dianggap tawanan di sini, sehingga ia mempunyai keleluasaan untuk berbuat sesuatu.” “Omong kosong!” geram Suranata, “Bahkan Ayah sendiri sudah berusaha membunuhnya” “Kau kira aku akan membunuh Dwani?” “Aku datang untuk berbicara dengan Ayah tentang Dwani.” “Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Empu Wisanata. “Ayah. Aku datang untuk mengambil Dwani. Nyawanya di sini terancam. Bahkan Ayah sendiri telah berusaha membunuhnya. Serangan Ayah telah membuatnya luka parah.” “Dwani sudah menjadi berangsur baik.” “Tetapi lain kali Ayah tentu benar-benar akan membunuhnya” “Tidak. Suranata. Aku tidak akan menyerahkan Dwani kepada siapa pun juga. Ia adalah anakku.” “Dahulu, Ayah. Selagi Dwani masih kanak-kanak. Tetapi sekarang ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah bukan anak Ayah. Bukankah Dwani sendiri sudah mengatakannya?” “Tidak. Dwani tetap anakku.” “Itu menurut Ayah.” “Juga menurut Dwani” “Aku tidak percaya.” “Itu urusanmu.” “Jika Ayah jujur, beri kesempatan aku untuk berbicara dengan Dwani, jika benar Dwani tidak mati.” “Dwani tidak mati. Ia masih hidup. Keadaannya kini sudah membaik. Karena itu, kau tidak usah mengganggunya.” “Aku ingin bertemu.” “Untuk apa?” “Jika Ayah yakin, biarlah Dwani sendiri yang menjawab. Apakah ia akan tetap bersama Ayah, atau ia akan pergi bersamaku. Jika ia bukan tawanan di sini, maka ia tentu mempunyai keleluasaan untuk pergi.” “Sejak ia mencuri tongkat baja putih, ia memang menjadi tawanan. Aku adalah salah seorang petugas yang menjaganya agar ia tidak akan lepas.” Wajah Suranata itu pun menjadi merah. Dengan nada tinggi Suranata itu pun berkata, “Ayah. Beri kesempatan aku bertemu dengan Dwani.” “Ia tidak memerlukanmu, Suranata. Perasaannya sudah mulai mengendap. Kau tidak perlu mengaduknya lagi.” “Apakah Ayah takut bahwa aku akan mengetahui perasaan Dwani yang sebenarnya? Atau Ayah takut bahwa aku akan mengetahui bahwa Ayah berbohong?” “Tidak.” “Jadi apa keberatan Ayah jika aku menemui Dwani?” “Dwani seorang tawanan di sini.” “Persetan,” geram Suranata, “aku akan menemuinya.” “Kau menantang aku? Jika kau menganggap aku orang lain sebagaimana pernah dikatakan oleh Dwani, maka aku dapat memperlakukan kau lebih dari Dwani, karena kau-lah yang telah membujuk Dwani.” “Tetapi aku bukan Dwani, Ayah.” “Kau merasa bahwa ilmumu mampu menandingi aku?” Wajah Suranata menjadi tegang. Namun katanya kemudian, “Aku tidak sendiri.” “Kau kira aku sendiri di sini? Telingamu tentu tidak tuli. Matamu tentu tidak buta. Siapa saja yang ada di rumah ini. Jika kau memaksakan kehendakmu di sini, maka kau akan benar-benar hancur.” “Persoalannya adalah persoalanku dengan Ayah.” “Dwani adalah tawanan di sini. Aku salah seorang petugas yang menjaganya. Dengan demikian persoalannya bukan persoalanmu dengan aku, ayahmu yang kau sebut orang lain itu. Tetapi persoalanmu adalah persoalan seseorang yang memaksa diri untuk menemui seorang tawanan.” “Ayah sekarang menjadi sangat licik dan pengecut.” “Apakah kau baru tahu sekarang bahwa aku licik dan pengecut, sebagaimana orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Saba Lintang, termasuk kau?” Kemarahan telah membakar ubun-ubun Suranata. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu bahwa beberapa orang yang tinggal di rumah itu adalah orang berilmu tinggi sebagaimana ayahnya. Karena itu, maka Suranata itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi aku akan kembali mengambil Dwani. Kasihan anak itu. Ia berada di tangan seorang yang hatinya mengeras seperti batu hitam, tetapi jantungnya berbulu seperti jantung serigala yang sangat licik.” “Katakan apa yang ingin kau katakan,” sahut Empu Wisanata. Namun Suranata tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus meninggalkan tempat itu tanpa dapat menemui adik perempuannya. Karena itu, maka Suranata itu pun kemudian berkata, “Salamku buat Dwani.” Sebelum Suranata beringsut, saudara seperguruannya itu pun sempat berkata, “Aku sekarang percaya atas apa yang kau katakan tentang ayahmu. Aku tahu bahwa kau membenci ayahmu, tetapi aku tidak membayangkan bahwa ia adalah seorang yang sangat licik dan pengecut seperti itu.” Namun tiba-tiba saja orang itu terpelanting jatuh. Hampir saja ia terlempar ke halaman. Wajah orang itu bagaikan tersentuh api. Ketika ia meloncat bangkit, maka Empu Wisanata pun sudah tegak berdiri.. Sementara itu Suranata pun telah berdiri pula. Tetapi Ki Jayaraga pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Dengan marah orang itu menggeram, “Aku tidak akan pernah melupakannya, Empu.” “Datanglah kepadaku pada kesempatan lain, jika kau merasa sudah waktunya untuk mati.” Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Justru pada saat yang demikian, Empu Wisanata itu pun berkata kepada anak laki-lakinya, “Jika masih ingin bertemu dengan Dwani, aku beri kau waktu sebentar.” Suranata menjadi heran. Ia tidak tahu kenapa ayahnya tiba-tiba berubah pikiran. Sementara itu, Empu Wisanata itu pun berkata kepada Ki Jayaraga, “Tolonglah Ki Jayaraga, amati tikus tanah yang satu itu. Jika ia berbuat yang aneh-aneh, jangan segan-segan. Ia akan dapat lumat dengan sekali sentuh ilmu pamungkasmu.” Ki Jayaraga mengangguk. Katanya kepada saudara seperguruan Suranata, “Duduklah, Ki Sanak.” “Tidak,” jawab orang itu. “Duduklah,” ulang Ki Jayaraga. Dengan tajamnya ia memandang langsung ke pusat mata orang itu. Ternyata wibawa Ki Jayaraga yang tua itu masih cukup tinggi. Orang itu pun kemudian telah duduk. Empu Wisanata pun kemudian telah membawa anak laki-lakinya masuk ke ruang dalam. Jantung Suranata bergetar ketika ayahnya berkata kepada orang-orang yang duduk di ruang dalam. “Ini adalah anakku laki-laki,” berkata Empu Wisanata, “tetapi ia sangat membenci ayahnya. Ia menganggap bahwa aku adalah orang lain sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Dwani. Tetapi ternyata Dwani telah dipengaruhi oleh orang ini.” Suranata sama sekali tidak menyahut. Sementara Empu Wisanata berkata kepada anaknya, “Mereka adalah Ki Wijil dan Nyi Wijil. Suami istri yang akan sanggup melumatkan gunung.” Ki Wijil dan Nyi Wijil tertawa kecil. Dengan nada tinggi Ki Wijil pun tertawa, “Ayahmu memang senang bergurau, Ngger. Tetapi aku senang mendengar pujian itu, karena jarang ada orang yang memuji kami.” Suranata menggeretakkan giginya. Ia merasa diperlakukan sebagai seorang anak kecil. Tetapi ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Suranata itu pun sadar, bahwa kedua orang itu tentu mendengar apa yang dibicarakannya dengan ayahnya di pendapa sebelumnya. Demikianlah, Empu Wisanata itu pun membawa anaknya ke dalam bilik tempat Nyi Dwani berbaring. Di dalam bilik itu Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk menunggui Nyi Dwani yang sudah berangsur baik. Meskipun luka-lukanya masih belum sembuh benar, tetapi Nyi Dwani sudah tidak mengaduh lagi. Nyi Dwani terkejut ketika ia melihat ayahnya dan kakaknya memasuki bilik itu. Hampir saja ia bangkit untuk duduk di pembaringannya. Namun dengan cepat Sekar Mirah mencegahnya. Sambil memegangi bahunya, Sekar Mirah itu pun berkata, “Jangan bangun dahulu Nyi. Berbaring sajalah sampai segala-galanya memungkinkan.” “Berbaring sajalah Dwani,” desis ayahnya. Nyi Dwani berbaring lagi. Tetapi dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip ia memandang kakaknya yang tiba-tiba saja hadir di dalam biliknya. “Dwani,” desis Suranata. Nyi Dwani tidak menyahut. “Bagaimana keadaanmu?” Sambil menarik nafas dalam-dalam Nyi Dwani itu pun baru menyahut, “Aku sudah baik, Kakang.” “Ayah telah sampai hati berusaha membunuhmu.” “Salahku sendiri, Kakang.” “Kau tidak bersalah, Dwani.” “Aku bersalah. Aku tidak mau mendengar nasihat Ayah. Aku justru menganggapnya orang lain, sehingga Ayah pun berhak memperlakukan aku seperti terhadap orang lain.” “Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika kau sembuh, maka aku akan datang lagi untuk mengambilmu. Jika perlu dengan kekerasan. Ayah benar-benar telah menganggap kita sebagai orang lain, sehingga kita pun tidak terikat lagi dengan hubungan apapun.” “Tidak, Kakang. Kita tidak akan dapat menghapus darah yang mengalir di dalam tubuh kita. Titik-titik darah yang ada di dalam pembuluh darah kita adalah tetesan darah Ayah.” “Apa artinya tetesan darah yang mengalir di dalam tubuh kita, jika Ayah sendiri sudah tidak mengakuinya?” “Bukan Ayah yang tidak mengakuinya Kakang. Tetapi aku dan kau. Kita-lah yang telah mencoba untuk ingkar.” “Dwani,” potong Suranata, “apa yang telah terjadi di dalam dirimu? Bukankah kita sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan?” “Aku menyesalinya Kakang.” “Apa artinya itu?” “Aku telah memutuskan untuk meninggalkan impian buruk itu. Aku akan kembali kepada ayahku. Di saat aku berbaring dalam keadaan sakit, aku mempunyai banyak kesempatan untuk merenung, sehingga aku telah menemukan diriku sendiri.” “Dwani. Sudah aku katakan. Hatimu jangan lemah seperti batang ilalang yang merunduk ke mana arah angin bertiup.” “Aku mengerti Kakang. Sekarang hatiku akan sekokoh batu karang. Aku tidak lagi akan hanyut dalam mimpi-mimpi buruk itu. Tongkat baja putih, kepemimpinan dari sebuah perguruan yang akan dibangun di atas reruntuhan nama perguruan Kedung Jati.” “Dwani. Kau sudah dipengaruhi oleh sikap orang yang tidak mempunyai pendirian.” “Justru aku sekarang mulai bersikap di atas satu pendirian yang kokoh, Kakang.” “Tidak Dwani. Kau telah terbius oleh bujukan iblis yang licik.” “Kakang, tinggalkan saja aku di sini. Keikutsertaanmu ke dalam rencana Ki Saba Lintang sempat mengguncang pendirianku. Tetapi aku sekarang sudah berkeyakinan, bahwa aku tidak akan dapat menyertai Ki Saba Lintang lagi.” “Dwani,” sahut kakaknya, “jika aku kemudian bergabung dengan Ki Saba Lintang, itu karena aku menaruh harapan kepadamu. Kau akan memimpin perguruan ini bersama-sama dengan Ki Saba Lintang. Tetapi kenapa tiba-tiba kau berpaling hanya karena Ayah juga berpaling?” “Aku menyadari kebenaran sikap Ayah.” “Tidak Dwani. Kau tidak boleh mengkhianati Ki Saba Lintang. Kepada kalian berdua banyak orang menggantungkan harapannya.” “Kakang, aku sudah terlanjur berdiri di tempat yang paling buruk. Apapun yang aku lakukan akan merupakan pengkhianatan. Jika aku meninggalkan Ki Saba Lintang, berarti mengkhianatinya. Tetapi jika aku tetap bersamanya, maka aku telah mengkhianati kebenaran dan budi baik, serta berkhianat pula kepada orang tuaku sendiri.” “Kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng?” “Apakah ini terjadi tiba-tiba? Bukankah di masa kecil Kakang selalu mengatakan bahwa aku adalah anak cengeng yang manja?” Wajah Suranata menjadi panas. Ia memang tidak mengira bahwa adiknya telah menemukan satu sikap yang mapan di dalam hatinya Meskipun demikian, Suranata masih mempunyai pertimbangan, bahwa Dwani tidak dapat berkata lain karena di tempat itu ada ayahnya. Apalagi ada Nyi Lurah Agung Sedayu pula. Karena itu, maka Suranata pun merasa tidak akan ada artinya untuk berbicara lebih panjang. Pada kesempatan lain, ia ingin bertemu dan berbicara dengan adiknya itu. “Baiklah, Dwani,” berkata Suranata kemudian, “aku akan minta diri.” “Maaf Kakang. Aku sudah mengambil sikap. Jika Kakang masih berada bersama Ki Saba Lintang, maka kita akan berdiri berseberangan.” Suranata menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. “Apakah kau sudah puas, Suranata?” bertanya Empu Wisanata. Suranata memandang ayahnya dengan sorot mata penuh kebencian. Tetapi ia pun kemudian melangkah keluar dari bilik itu. Namun Suranata sempat memandang Rara Wulan sekilas. Tetapi yang sekilas itu telah membuat jantung Rara Wulan berdebaran. Sejenak kemudian Suranata itu sudah duduk lagi di pendapa bersama ayahnya, Ki Jayaraga dan saudara seperguruannya. Tetapi tidak terlalu lama. Suranata yang nampak sangat gelisah itu pun kemudian telah minta diri kepada ayahnya dan kepada Ki Jayaraga. Bahkan Suranata sempat mengancam ayahnya. “Aku akan kembali Ayah,” berkata Suranata, “apapun yang terjadi, aku akan mengambil Dwani. Ia harus dibebaskan dari tekanan batin. Sikap Ayah tentu sangat menyiksanya.” “Kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh Dwani, Suranata.” “Dwani tentu saja tidak dapat berbicara dengan bebas. Ayah menunggui pembicaraan kami. Demikian pula kedua orang perempuan itu.” “Jika aku biarkan kau berbicara tanpa ditunggui orang lain, kau akan membunuh adikmu.” “Aku tidak gila, Ayah!” Suranata hampir berteriak, “Aku datang untuk membebaskan adikku. Bukan untuk membunuhnya.” “Jika ia tidak mau menuruti kemauanmu, maka kau tentu akan membunuhnya pula. Jika kau sudah menganggap ayahmu orang lain, apalagi adikmu.” “Aku mengasihinya, Ayah, lebih dari saudaraku yang lain.” “Kau mengasihinya jika ia mau menuruti kemauanmu. Tentu demikian pula terhadap saudaramu yang lain.” Wajah Suranata menjadi tegang. Katanya kemudian, “Apapun yang Ayah katakan, aku tidak peduli. Aku sudah bertekad, untuk berkumpul bersama kedua saudaraku. Terserah Ayah akan berdiri di sisi yang mana. Apakah Ayah akan memusuhi kami, atau Ayah akan berdiri bersama kami.” “Aku-lah yang berhak berkata seperti itu. Aku berdiri di sini sekarang bersama Dwani. Terserah kepadamu, Di sisi mana kau akan berdiri.” Suranata menghentakkan tangannya. Kepada saudara seperguruannya ia berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Jika aku terlalu lama berada di sini, maka aku akan dapat menjadi gila.” “Kau sudah gila, Suranata,” sahut ayahnya. “Tidak!” Suranata berteriak, “Ayah-lah yang sudah gila!” Tetapi Empu Wisanata justru tersenyum. Katanya, “Aku akan berdoa untukmu, semoga kau mendapat terang di hatimu.” “Cukup!” bentak Suranata yang tiba-tiba saja bangkit, dan berkata kepada saudara seperguruannya, “Marilah kita pergi!” Saudara seperguruan Suranata itu pun segera bangkit pula. Tanpa minta diri ia pun kemudian melangkah pergi meninggalkan pendapa rumah Agung Sedayu itu. Empu Wisanata dan Ki Jayaraga mengikuti mereka sampai di pintu regol. Tetapi keduanya sama sekali tidak berpaling. “Ayahmu memang gila,” geram saudara seperguruan Suranata, “jika saja ia bukan ayahmu.” “Tetapi sebaiknya kau memang tidak membalas,” berkata Suranata, “Ayah memang berilmu sangat tinggi. Tetapi aku yakin, Ayah tidak akan dapat mengalahkan kita berdua. Kita hanya memerlukan kesempatan. Aku benar-benar akan mengambil Dwani.” “Tugas yang dibebankan kepada adik perempuanmu itu telah gagal. Jika saja kau dan Ki Saba Lintang malam itu membantunya.” “Ki Saba Lintang mencegahkan. Apalagi setelah Ki Lurah dan Nyi Lurah pulang.” Saudara seperguruan Suranata itu mengangguk-angguk. Ia pun sudah mendengar tentang beberapa orang yang berilmu tinggi yang tinggal di rumah itu. Masih belum terhitung kemungkinan hadirnya para pengawal yang jumlahnya tentu sangat banyak. Meskipun demikian, Suranata masih berpengharapan untuk mengambil adik perempuannya itu. Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga masih berdiri di regol halaman rumah Agung Sedayu. Wajah Empu Wisanata nampak muram. Dengan nada rendah ia berkata, “Ternyata Suranata juga bergabung dengan Saba Lintang.” Katanya selanjutnya, “Agaknya ia juga berharap Dwani mampu memimpin perguruan Kedung jati yang akan disusun kembali itu.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ketika aku melihat Nyi Dwani pertama kali, aku terkejut. Gambaranku tentang Nyi Dwani sangat berbeda dengan kenyataannya.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya, Dipandanginya Ki Jayaraga dengan tajamnya. “Apa yang tidak sesuai.?” “Maaf Empu. Semula aku kira Nyi Dwani itu seorang yang sedikit lebih tua. Namun yang penting, aku mengira bahwa Nyi Dwani adalah seorang perempuan yang sudah matang di dalam sikap dan pendirian. Ternyata Nyi Dwani masih belum menemukan dirinya.” “Ki Jayaraga benar,“ Empu Wisanata mengangguk-angguk, “Dwani memang belum menemukan dirinya. Tetapi mudah-mudahan pengalaman yang keras ini akan dapat membantu mematangkan jiwanya, sehingga Dwani akan merupakan satu pribadi yang masak.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi mungkin justru karena itu, beberapa orang mendukungnya untuk bersama-sama Ki Saba Lintang memegang pimpinan dalam perguruan yang akan disusun kembali itu.” “Kenapa?” “Dengan sikapnya yang masih belum masak itu, maka Nyi Dwani akan dapat dikendalikan oleh beberapa orang untuk kepentingan mereka. Bahkan aku juga menjadi curiga bahwa Ki Saba Lintang juga masih mentah, sehingga ia pun tidak mampu menentukan sikap sendiri.” “Ya aku tahu Saba Lintang adalah orang yang licik. Ia akan dapat menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Ya. Agaknya memang demikian. Karena itu maka ia tidak segan-segan menculik Rara Wulan.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku adalah ayah yang malang. Tetapi aku tidak dapat hanya menyalahkan anak-anakku. Mungkin aku memang meletakkan dasar yang salah pada saat anak-anakku mulai tumbuh dan berkembang. Atau bahkan sebaliknya, aku sama sekali tidak mempedulikan anak-anakku. Aku terlalu tekun menempa diri. Aku berhasil menguasai ilmu yang aku inginkan sebagaimana aku miliki sekarang. Tetapi aku justru tidak berhasil memiliki hati anak-anakku. Satu-satu mereka terlepas. Aku hanya berharap mudah-mudahan Dwani masih dapat aku kejar dan aku tangkap kembali.” Ki Jayaraga memandang wajah Empu Wisanata yang menjadi. sayu. “Sudahlah, marilah duduk di pringgitan.” Keduanya kemudian naik ke pendapa. Sementara itu Ki Wijil dan Nyi Wijil keluar pula dari ruang dalam dan duduk bersama mereka di pringgitan. “Aku mendengar derap kaki kuda mereka,” desis Nyi Wijil, “nampaknya mereka tidak turun dari punggung kudanya hingga di halaman rumah ini. Bukankah ketika mereka datang, mereka tidak mau turun dari kudanya sampai ke tangga pendapanya?” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku-lah yang harus minta maaf, karena mereka adalah tamuku.” “Bukan itu yang aku maksud, Empu. Tetapi sudah demikian jauhnya kedua orang itu meninggalkan adat kebiasaan kita. Tentu bukan Empu yang mengajarinya. Tetapi sifat seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan rumah dan keluarganya, lingkungan perguruan dan padepokannya, serta lingkungan pergaulannya.” Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, Aku sependapat Nyi Wijil. Anakku itu sudah tidak lagi mau mendengar kata-kataku. Bahkan saudara seperguruannya itu telah menghina aku pula.” “Anak Empu itu sudah direnggut oleh lingkungan pergaulannya dari tangan Empu.” “Dan aku tidak mampu mempertahankannya,“ Empu Wisanata itu menundukkan kepalanya. Suaranya menjadi semakin rendah, “Dwani-lah kini yang tersisa.” Ki Wijil dan Nyi Wijil tidak membicarakan kedua orang itu lebih jauh. Mereka tahu bahwa hati Empu Wisanata telah terluka karena tingkah laku anak-anaknya. Namun ketika seisi rumah itu kemudian duduk di ruang dalam di saat makan malam, mereka telah membicarakan kehadiran kedua orang itu lagi. Agung Sedayu yang ada di antara mereka mendengarkan dengan seksama cerita kehadiran anak Empu Wisanata itu. “Agaknya anak Empu Wisanata itu bersungguh-sungguh. Tetapi Empu Wisanata juga harus memikirkan keselamatan Nyi Dwani. Jika Nyi Dwani itu sudah memantapkan tekadnya dan dengan sungguh-sungguh tidak mau bekerja sama lagi dengan Ki Saba Lintang dan saudara laki-lakinya itu, maka nyawanya terancam. Dia mengetahui tentang gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, meskipun sampai sekarang Nyi Dwani masih belum banyak bercerita.” Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya Suranata akan sampai hati melakukannya, sebagaimana ia memperlakukan aku. Ia dapat menganggap aku orang lain. Tentu ia dapat pula menganggap Dwani orang lain yang harus dimusnahkan.” “Satu tugas khusus bagi Empu Wisanata.” Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak saja ditinggalkan oleh anak-anakku. Tetapi anak-anakku itu akan saling bermusuhan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang Ki Jayaraga yang juga merasa gagal mengasuh murid-muridnya. Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang memenuhi harapannya. Karena itulah ia telah memungut Glagah Putih menjadi muridnya. Ki Jayaraga sengaja mengambil murid seseorang yang pribadinya sudah terbentuk. Dengan demikian maka Ki Jayaraga dapat mempercayainya, bahwa muridnya yang baru itu tidak akan menempuh jalan yang sesat. Justru karena itu, Ki Jayaraga telah mewariskan puncak ilmunya kepada Glagah Putih itu. Untuk beberapa lama mereka masih berbincang tentang Suranata dan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Gerakan yang nampaknya mempunyai sayap yang sangat luas. “Tetapi apakah Empu Wisanata yakin, bahwa Ki Saba Lintang adalah benar-benar orang yang memegang pimpinan tertinggi dalam gerakan itu?” bertanya Agung Sedayu. “Menurut gelar lahiriahnya memang demikian, Ki Lurah. Tetapi aku tidak yakin, apakah tidak ada orang yang mempunyai pengaruh lebih besar dari Saba Lintang. Bahkan orang yang mempunyai pengaruh sangat besar atas Saba Lintang, sehingga Saba Lintang sendiri tidak lebih dari sekeping wayang yang digerakkan oleh seorang dalang.” “Bukankah untuk beberapa lama Empu bersama dengan Nyi Dwani dan Ki Saba Lintang?” “Ya,” jawab Empu Wisanata, “tetapi aku adalah orang yang seakan-akan berdiri di luar lingkaran.” “Meskipun demikian, Empu tentu dapat melihat serba sedikit.” “Ya. Justru karena yang sedikit itulah aku dapat mengatakan, bahwa Saba Lintang agaknya tidak lebih dari sekeping wayang kulit yang digerakkan oleh seorang dalang. Di dalam gerakan itu, banyak terdapat orang-orang yang berilmu lebih tinggi dari Saba Lintang. Tetapi karena Saba Lintang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati, maka orang-orang itu telah menempatkan Saba Lintang pada pimpinan tertinggi. Apalagi jika Saba Lintang mampu mendapatkan tongkat yang satu lagi. Maka berdua dengan Dwani, ia akan diakui sebagai pimpinan tertinggi mereka.” “Apakah Ki Saba Lintang sendiri tidak menyadari, bahwa ia pada saatnya akan menjadi semacam benda permainan dari orang-orang berilmu tinggi itu?” “Tetapi Saba Lintang adalah orang yang cerdik, licik dan menganggap semua cara dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Ia menyadari bahwa pada saatnya dirinya akan terinjak. Tetapi sejak sekarang ia sudah mempersiapkan kemungkinan adanya pertentangan yang setiap saat akan dapat membakar hubungan yang seorang dengan yang lain. Jika satu demi satu mereka bertengkar dan saling membunuh di antara orang-orang yang berilmu sangat tinggi itu, maka akhirnya ia sendiri-lah yang akan tinggal.” “Mengadu domba?” “Itu adalah rencana yang dipersiapkan. Aku tidak tahu apakah ia akan berhasil atau tidak.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata yang dihadapinya adalah suatu gerakan yang luas, yang mempunyai banyak kepentingan yang untuk sementara dapat dipersatukan. Bagi Tanah Perdikan Menoreh, mempertahankan diri dari serangan kekuatan dari luar lingkungannya bukan baru akan dihadapi untuk yang pertama kali. Bahkan gejolak dari dalam yang membakar Tanah Perdikan itu pun pernah terjadi. Selama ini Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mengatasi segala macam kesulitan yang timbul dari luar maupun dari dalam itu. Meskipun demikian, bahaya yang dihadapi Tanah Perdikan pada waktu itu adalah bahaya yang sungguh-sungguh. Karena itu, maka tanah perdikan pun harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Sejak hari itu, Tanah Perdikan Menoreh benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Empu Wisanata pun tidak lagi berani terlalu lama meninggalkan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. Bahkan Nyi Dwani sudah dapat bangkit dari pembaringannya dan duduk di ruang dalam. Dari hari ke hari, Empu Wisanata tidak henti-hentinya memberi petunjuk-petunjuk kepada anak perempuannya yang masih dapat diharapkannya. Dengan terus terang Empu Wisanata itu pun berkata, “Kau adalah satu-satunya anak yang masih dapat aku harapkan, Dwani.” Nyi Dwani mengangguk kecil. “Kakakmu Suranata, sama sekali sudah tidak dapat aku harapkan lagi. Ia benar-benar sudah menganggap aku orang lain. Selama ia masih dapat mengharap kau bersedia bekerja bersamanya, maka ia masih dapat mengatakan bahwa kakakmu itu sangat mengasihimu. Tetapi jika kau tidak lagi bersedia memenuhi keinginannya, maka persoalannya akan bergeser. Kau tidak akan berarti lagi baginya. Mungkin ia tidak lagi memedulikanmu. Tetapi mungkin ia dapat berbuat lebih buruk dari itu.” “Aku mengerti Ayah,” sahut Nyi Dwani. “Karena itu, kau harus berhati-hati, Dwani. Satu ketika Rara Wulan telah mereka culik. Pada saat lain, kakakmu dan Ki Saba Lintang akan dapat menjemputmu dengan paksa.” “Ya, Ayah.” “Karena itu, kita harus menjadi semakin berhati-hati. Kita adalah orang-orang khusus di rumah ini. Sementara itu, kita pun selalu dibidik oleh para pengikut Saba Lintang, dan bahkan oleh kakakmu sendiri. Aku tidak tahu, apakah kakak perempuanmu juga berada di lingkungan para pengikut Saba Lintang atau tidak. Jika ia ada di antara mereka, maka pada satu saat ia tentu juga akan datang menemui aku dan kau.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Terbayang wajah kakak perempuannya, yang sejak kecil seakan-akan memusuhinya. Jika keduanya mendapat sepotong makanan yang sama, maka kakak perempuannya itu selalu minta sedikit dari bagiannya itu. Jika ia keberatan, maka kakak perempuannya itu mencubitnya. Jika mereka berdua bermain-main, maka Dwani tidak lebih dari seorang budak yang harus melayani kakak perempuannya itu. Dwani sendiri tidak sempat ikut bermain. Tetapi menurut pengetahuan Nyi Dwani, kakak perempuannya tidak bergabung dengan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Tetapi itu belum menjamin bahwa kakak perempuannya memang tidak melibatkan diri. Sebagaimana kakak laki-lakinya, ternyata Nyi Dwani juga tidak mengetahui bahwa ia berada di dalam lingkungan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu pula. Bahkan tidak mustahil bahwa Suranata akan menghubungi kakak perempuan Nyi Dwani untuk membujuknya. Dalam pada itu, Sekar Mirah pun menjadi gelisah pula. Bukan karena ia menjadi ngeri terhadap ancaman yang setiap saat seperti banjir bandang melanda Tanah Perdikan itu. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa kehadirannya di Tanah Perdikan itu merupakan salah satu sebab dari kemelut yang terjadi di Tanah Perdikan itu. “Bukan karena tongkat baja putihmu,” desis Agung Sedayu setiap kali. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat melepaskan perasaannya itu. ”Mereka memburu tongkat baja itu, Kakang.” “Ada atau tidak ada, mereka akan menyerang Tanah Perdikan ini sebagaimana Macan Kepatihan menyerang Sangkal Putung waktu itu. Soalnya bukan tongkat baja putih itu. Tetapi tanah ini akan menjadi landasan yang baik bagi mereka.” Sekar Mirah memang mencoba untuk mengerti. Tetapi bayangan-bayangan buram tentang tongkat baja putihnya itu sulit untuk disisihkannya. “Kakang, apakah tongkat itu sangat berharga untuk dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa sekian banyak orang?” “Tongkat itu bagi mereka adalah lambang kepemimpinan,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi bagiku tongkat itu tidak lebih dari senjata biasa. Senjata itu memang begitu akrab dengan ilmuku. Tetapi menurut pendapatku, aku akan dapat mempergunakan senjata lain yang bagiku akan mempunyai nilai yang sama dengan tongkat baja putih itu. Karena menurut pendapatku, kemampuanku sama sekali tidak tergantung pada senjata itu.” “Aku mengerti, Mirah. Tetapi senjata itu tidak boleh lepas dari tanganmu. Bukan karena tuahnya. Tetapi segala-galanya tongkat itu sudah mapan dan sangat sesuai dengan ilmumu. Kau mengenal tongkat itu seperti kau mengenali anggota tubuhmu sendiri. Panjangnya, beratnya, besarnya sudah mapan. Tidak ada senjata yang lebih sesuai dari tongkat baja itu bagimu, Mirah.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia memang harus mengakui, bahwa tongkat itu rasa-rasanya sudah seperti bagian dari tangannya sebagaimana jari-jarinya. “Lebih dari itu Mirah, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai tongkat baja putih itu, maka ia akan menjadi semakin kokoh. Itu akan sangat berbahaya bagi kita semuanya,” berkata Agung Sedayu selanjutnya. Sekar Mirah itu mengangguk-angguk. “Kecuali jika ada jaminan bahwa setelah tongkat baja putih itu berada di tangannya ia tidak akan mengancam Tanah Perdikan ini, kita baru dapat mempertimbangkannya. Sekali lagi, mempertimbangkannya. Sedangkan keputusannya pun ada beberapa kemungkinan yang satu sama lain dapat bertentangan.” Sekar Mirah masih mengangguk-angguk. “Baiklah Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “lupakan beban itu. Kau tidak perlu memikulnya, karena kau memang tidak seharusnya mendapat beban itu.” “Aku akan mencoba, Kakang.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau tidak hanya harus mencoba. Tetapi kau harus melakukannya.” “Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang prajurit.” Agung Sedayu tertawa sambil bertanya, “Kenapa dengan seorang prajurit?” Sekar Mirah tidak menjawab.. Tetapi ia pun tertawa pula. Dalam pada itu, semua peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu selalu dilaporkan langsung kepada Ki Patih Mandaraka. Agung Sedayu setiap kali pergi menghadap sebagaimana diperintahkan oleh Ki Patih sendiri. Jika bukan Agung Sedayu yang memberikan laporan, maka Ki Patih-lah yang telah memberikan beberapa keterangan berdasarkan laporan para petugas sandi. “Dendam yang masih tersimpan di Jipang, Demak dan Pati seakan-akan telah terungkit dalam waktu yang bersamaan,” berkata Ki Patih. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran bahwa gerakan itu adalah gerakan yang besar. Namun ia pun menjadi semakin yakin, bahwa Ki Saba Lintang tidak akan mampu menguasai gerak itu sepenuhnya. Meskipun demikian, Ki Saba Lintang itu memiliki bekal kecerdikan, tetapi juga kelicikan. Agaknya ia sudah mempunyai rencana, apa yang akan dilakukannya setelah gerombolan itu berhasil membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh, atau justru setelah selangkah lebih maju lagi. Ketika pada suatu kali Agung Sedayu menghadap Ki Patih, maka Ki Patih itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut pendapatku, Ki Saba Lintang tidak sejak semula mempunyai rencana yang demikian besar. Agaknya niat Ki Saba Lintang memang hanya ingin menyusun kembali sebuah perguruan yang beralaskan pecahan perguruan Kedung Jati. Ki Saba Lintang itu semula tidak bermimpi untuk sampai ke Mataram, meskipun ia tentu sudah mempersiapkan perlawanan jika rencananya akan membentur kekuasaan Mataram. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, beberapa unsur yang lain telah bergabung dengan mengemban niat masing-masing, sehingga akhirnya gerakan itu menjadi luas. Namun warnanya tidak lagi senada. Meskipun demikian, mula-mula mereka akan dapat bekerja bersama-sama.” Agung Sedayu mengangguk mengiakan. “Agung Sedayu,” berkata Ki Patih kemudian, “satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa para petugas sandi yang tersebar di sekitar Pegunungan Kendeng melihat gerak kelompok besar dan kecil ke arah barat. Mereka agaknya akan melingkari Gunung Merbabu. Mereka agaknya akan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dari arah barat dari utara. Karena itu, awasi arah itu lebih cermat dari arah yang lain.” “Kami akan melakukannya, Ki Patih.” “Kelompok-kelompok yang bergerak ke barat dari Pegunungan Kendeng dan sekitarnya itu, akan merupakan kekuatan yang sangat besar. Di antara mereka tentu orang-orang yang menyimpan dendam di dalam hati. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menyesuaikan diri dengan gerak jamannya yang berubah.” “Ya, Ki Patih.” “Tetapi di atas mereka adalah orang-orang yang tamak, yang mempunyai nafsu yang sangat besar untuk mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi.” Masih banyak lagi pesan yang diberikan kepada Agung Sedayu untuk menghadapi gerakan yang semakin lama menjadi semakin besar itu. Sementara itu kecurigaan terhadap istri Agung Sedayu telah menyusut, dan bahkan telah larut. Meskipun Nyi Lurah Agung Sedayu itu memiliki. satu dari sepasang lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati, namun nampaknya Nyi Lurah itu sama sekali tidak tertarik untuk memanfaatkannya lewat jalur yang tidak sewajarnya. Ketika Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan, maka ia pun telah menugaskan beberapa orang prajurit-prajurit pilihan untuk melakukan tugas sandi, mengamati lingkungan di sebelah barat dan utara Tanah Perdikan Menoreh. “Kau dapat melakukan tugas kalian di luar Tanah Perdikan. Berhati-hatilah,” pesan Agung Sedayu, “kita menghadapi kekuatan yang besar dan sebarannya luas sekali. Sedangkan sebagian dari mereka diduga terdiri dari bekas-bekas prajurit Pati, Demak dan Jipang, yang kecewa terhadap perkembangan keadaan sejak gugurnya Arya Penangsang, tersingkirnya pemerintahan Demak di Pajang, serta pecahnya Kadipaten Pati.” Dengan demikian, maka beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah menyebar. Mereka bergerak ke sebelah barat pegunungan, dan yang lain bergerak ke utara. Sementara itu, persiapan di Tanah Perdikan Menoreh pun menjadi semakin matang. Para pengawal telah memanfaatkan waktu yang ada untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan hampir setiap laki-laki di Tanah Perdikan yang masih merasa mampu untuk bertempur, telah mempersiapkan diri pula. Dalam pada itu, para penghuni Tanah Perdikan itu telah memperkokoh dinding-dinding padukuhan serta pintu-pintu gerbang. Kentongan pun tergantung di mana-mana. Setiap padukuhan mempunyai pertanda isyaratnya masing-masing, sehingga jika terdengar suara kentongan, akan segera diketahui sumbernya. Senjata yang dipersiapkan bukan hanya pedang dan tombak. Tentu juga busur, anak panah dan lembing. Beberapa hari kemudian, Agung Sedayu pun telah menerima laporan dari salah seorang prajuritnya yang ditugaskannya mengamati keadaan di sebelah barat pegunungan. “Kami melihat ada gerakan di daerah Pucang Kerep. Nampaknya ada gejolak di permukaan. Meskipun masih belum jelas, tetapi ada kekuatan yang tersusun di daerah itu. Bahkan sebagian dari mereka berhasil menyusup di antara orang-orang yang menghuni daerah itu.” “Maksudmu?” “Dengan uang dan harapan-harapan, mereka dapat tinggal di rumah-rumah penduduk. Agaknya mereka masih sedang bersiap-siap untuk menyusun satu kekuatan yang akan bergerak ke timur, melintasi pegunungan dan memasuki Tanah Perdikan.” “Mereka cukup berhati-hati,” berkata Agung Sedayu kemudian, “mereka mengambil ancang-ancang di tempat yang cukup jauh. Tetapi justru karena itu, arus serangan mereka akan menjadi sangat berbahaya.” “Kekuatan yang ada di Pucang Kerep itu nampaknya memang berbahaya, Ki Lurah,” petugas sandi itu menjelaskan. “Baiklah. Awasi mereka. Kita masih menunggu laporan dari utara.” Berbeda dengan segerombolan orang yang berada di sisi barat, maka segerombolan orang yang berada di sisi utara telah membuat perkemahan di hutan kecil di tempuran Kali Elo dan Kali Praga. Tetapi menurut laporan petugas sandi, gerombolan yang ada di sebelah utara itu tidak kalah berbahayanya. Mereka seolah-olah sedang menimbun kekuatan air di bendungan. Jika bendungan itu pecah, maka arus airnya akan menyapu apa saja yang menghalanginya. Selain laporan dari petugas sandi tentang kekuatan yang sedang disusun di Pucang Kerep, ternyata di Krendetan juga terdapat sekelompok orang, yang nampaknya juga bagian dari gerombolan yang sama dengan gerombolan yang berada di Pucang Kerep. “Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “para peronda di perbatasan agar menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak ke dalam perangkap gerombolan itu.” Dengan demikian, Tanah Perdikan itu pun telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Demikian pula para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan. Bahkan Ki Patih telah memerintahkan sebagian prajurit Mataram yang berada di Ganjur untuk bergabung dengan pasukan yang berada di Tanah Perdikan Menoreh di bawah pimpinan Agung Sedayu. Demikianlah, dari hari ke hari kekuatan yang bertimbun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di hutan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga menjadi semakin besar jumlahnya. Laporan yang disampaikan ke Mataram pun menjadi semakin sering, sehingga Ki Patih Mandaraka tidak ketinggalan dengan perkembangan keadaan. Dalam gejolak yang semakin panas itu, Ki Tumenggung Wirayuda telah datang ke barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu untuk bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu. “Dalam tiga hari ini akan datang berturut-turut lima belas orang prajurit sandi terpilih. Mereka akan menyebar di sekitar Tanah Perdikan ini untuk menilai kekuatan lawan,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda. “Terima kasih Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu. “Aku sendiri akan berada di sini.” Sebenarnyalah dalam waktu tiga hari, lima belas orang prajurit dari pasukan sandi telah berada di Tanah Perdikan. Mereka memperkuat pasukan sandi yang sudah ada di Tanah Perdikan. Bahkan mereka adalah prajurit dari pasukan sandi yang dilatih secara khusus untuk menjalankan tugasnya. Dari para petugas sandi, baik yang berasal dari para pengawal Tanah Perdikan, dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, maupun para petugas yang datang kemudian setelah Ki Tumenggung Wirayuda berada di Tanah Perdikan, telah memberikan laporan bahwa persiapan dari gerombolan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga, telah meningkatkan kesiagaan mereka. Agaknya tidak lama lagi mereka akan segera menyerang. Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi gelisah mendengar kemungkinan itu. Banyak kemungkinan dapat terjadi atas diri mereka. Jika orang-orang Tanah Perdikan itu kurang ikhlas menerima kehadiran mereka, maka nasib mereka akan menjadi kurang baik. Sebaliknya, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai Tanah Perdikan, nasib mereka pun akan tidak menentu. Dalam kegelisahan itu, ternyata yang dicemaskan Empu Wisanata itu pun terjadi. Menjelang tengah hari, dua ekor kuda berhenti di depan regol halaman rumah Agung Sedayu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan turun dari kuda mereka dan menuntun kuda mereka memasuki halaman. Sukra berdiri di pintu seketheng melihat keadaan kedua orang itu. Dengan tergesa-gesa ia pun mendekatinya sambil bertanya, “Siapakah yang kalian cari?” Perempuan yang datang itu dengan ramah menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Empu Wisanata. Apakah Empu ada di rumah?” “Ada. Marilah. Silakan naik.” “Terima kasih,” jawab perempuan itu.. Sukra pun kemudian telah masuk kembali melalui butulan, untuk menemui Empu Wisanata yang duduk di serambi bersama Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. “Ada tamu, Empu.” “Siapa, Sukra?” “Aku belum mengenal mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang perempuan berpakaian rapi dan berhias seperti akan pergi menghadiri upacara pernikahan. Yang laki-laki agaknya pernah datang kemari, tetapi entahlah.” Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi berdebar-debar. Namun kemudian Empu Wisanata itu pun bangkit berdiri sambil berkata kepada Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani, “Marilah. Kita temui mereka.” Keempat orang itu pun kemudian telah keluar lewat pintu pringgitan untuk menemui tamu yang duduk di pendapa. Demikian mereka keluar dari pintu pringgitan. Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun terkejut. Laki-laki dan perempuan itu adalah Ki Saba Lintang sendiri, serta Nyi Yatni. Dalam pada itu, dengan serta-merta Nyi Yatni itu pun langsung berjongkok di depan Empu Wisanata sambil memeluk kakinya. Dengan sendat Nyi Yatni itu berdesis, “Ampuni aku, Ayah.” Jantung Empu Wisanata rasa-rasanya menjadi semakin cepat berdetak. Diangkatnya bahu anak perempuannya agar Nyi Yatni itu berdiri. “Kenapa kau minta ampun kepada ayahmu?” bertanya Empu Wisanata. “Aku telah meninggalkan Ayah begitu saja.” “Kenapa kau meninggalkan aku, Yatni?” bertanya Empu Wisanata pula. “Hatiku gelap pada waktu itu, Ayah.” “Sekarang kau mendapat terang di hatimu?” “Ya. Aku mohon Ayah mengampuniku.” “Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandangnya Ki Saba Lintang yang berdiri tegak seperti tiang-tiang pendapa itu. Namun kemudian meskipun dengan bimbang dan ragu Empu Wisanata itu pun berkata, “Aku ampuni kau, Yatni.” “Terima kasih Ayah. Terima kasih.” Nyi Yatni pun kemudian berlari mendapatkan adiknya. Dipeluknya Nyi Dwani sambil berkata, “Senang sekali melihat keadaanmu, Dwani. Agaknya kau sudah sembuh.” “Ya, Mbokayu,” jawab Nyi Dwani. Nyi Yatni pun kemudian melepaskan Nyi Dwani. Ditatapnya perempuan itu sambil memegangi kedua lengannya. Katanya, “Syukurlah, Dwani. Jika kau sudah sembuh, maka kita akan dapat pergi bersama-sama. Bahkan bersama-sama dengan Ayah.” “Pergi ke mana, Mbokayu?” bertanya Nyi Dwani. “Terserah kepada Ayah. Aku sudah bertekad untuk kembali kepada Ayah.” Tetapi Empu Wisanata pun berkata, “Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Yatni.” Nyi Yatni tersenyum. Katanya, “Ayah memang suka bergurau sejak mudanya. Bukankah kau ingat itu Dwani?” “Tetapi kali ini aku sama sekali tidak bergurau, Yatni. Aku berkata dengan sungguh-sungguh. Biarlah Ki Saba Lintang mendengarnya Aku sudah tidak lagi ingin bergabung dengan Ki Saba Lintang. Demikian pula Dwani. Terserah kepadamu dan kepada Suranata. Bukankah kalian sudah dapat mengambil sikap sendiri?” “Ah, Ayah. Aku datang untuk mohon maaf.” Empu Wisanata termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak perempuannya itu. Wajahnya nampak cerah. Senyumnya tidak lepas dari bibirnya. “Duduklah,” berkata Empu Wisanata kemudian. Nyi Yatni pun kemudian berpaling kepada Ki Saba Lintang. Ditariknya tangan Ki Saba Lintang untuk duduk bersamanya. Dengan manja Nyi Yatni itu pun berkata, “Marilah duduk Kakang.” Ki Saba Lintang tersenyum. Ia pun kemudian duduk di sebelah Nyi Yatni. “Ayah,” berkata Nyi Yatni kemudian, “aku telah mendengar bahwa Ayah dan Dwani telah bergabung dengan Kakang Saba Lintang. Demikian pula Kakang Suranata. Karena itu, maka aku datang menemui Ayah. Aku menyesali tingkah laku-ku selama ini karena aku telah meninggalkan Ayah. Ayah tentu selalu cemas dan bahkan mungkin bersedih. Nah, karena itulah, maka sekarang aku kembali kepada Ayah, dan ingin bersama-sama Ayah berada di dalam satu perjuangan, dalam kesatuan yang dipimpin oleh Kakang Saba Lintang.” “Yatni, jangan mengigau seperti itu. Kau tahu di mana aku sekarang ini berada. Kau tentu sudah tahu pula, di mana aku sekarang berdiri.” Sambil memandang Ki Wijil dan Nyi Wijil, Nyi Yatni itu pun berkata, “Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak tidak akan berkeberatan untuk membiarkan Ayah dan Dwani pergi?” Ki Wijil itu pun menjawab, “Tentu tidak Ngger. Jika Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan pergi, aku sama sekali tidak merasa berkeberatan.” Jawaban itu terdengar aneh di telinga Nyi Yatni. Ia mengira bahwa jawaban yang akan didengarnya adalah berlawanan dengan jawaban itu. Namun Nyi Yatni itu pun berkata, “Nah, bukankah Ayah dapat pergi ke mana saja Ayah inginkan? Ayah di sini bukan tawanan. Bukan pula orang hukuman.” Empu Wisanata justru tersenyum mendengar jawaban Ki Wijil. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tidak seorang pun akan berkeberatan jika aku pergi. Tetapi aku memang tidak ingin pergi. Aku ingin tetap tinggal di sini, karena aku dan Dwani kerasan tinggal di sini.” Kening Nyi Yatni berkerut. Tetapi kemudian senyumnya nampak lagi di bibirnya, “Ayah. Jika Ayah dan Dwani bersedia pergi bersama kami, maka masa depan kita sekeluarga akan menjadi cerah. Aku akan menemui Kakang Suranata dan memanggilnya untuk menyatu kembali. Keluarga kita akan utuh, sementara itu kita masing-masing akan mendapat tempat yang baik di dalam lingkungan kesatuan Kakang Saba Lintang.” Kemudian sambil berpaling kepada Ki Saba Lintang, Nyi Yatni itu berkata sambil tersenyum, “Bukankah begitu, Kakang? Kenapa kau hanya diam saja? Bantulah aku meyakinkan Ayah dan Dwani.” Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah kami sangat mengharap kehadiran Empu Wisanata dan Nyi Dwani.” “Nah, Ayah dengar? Kita akan dapat menjadi pemimpin yang baik di dalam kesatuan Kakang Saba Lintang. Apalagi jika Dwani berhasil mendapatkan tongkat baja putih, pasangan tongkat baja putih yang sudah dimiliki Kakang Saba Lintang, yang akan diberikan kepadaku. Aku dan Kakang Saba Lintang akan menjadi pasangan yang paling serasi untuk memimpin kesatuan yang besar, yang kelak akan menggulung Tanah Perdikan ini.” Wajah Nyi Dwani menjadi merah. Jantungnya serasa disuluti dengan api. Namun Empu Wisanata pun kemudian tertawa. Katanya, “Ki Saba Lintang tidak akan dapat berkata apa-apa di sini. Aku tahu betapa liciknya orang yang memiliki tongkat baja putih yang menjadi lambang kepemimpinan perguruan Kedung jati.” “Ayah jangan berprasangka buruk. Kakang Saba Lintang yakin bahwa aku dapat mendampinginya. Apalagi jika tongkat baja putih yang satu lagi sudah ada di tanganku.” “Jadi kau ingin Dwani mengambil tongkat itu untukmu?” “Ya. Tetapi Dwani sudah gagal. Bahkan Ayah sampai hati untuk berusaha membunuhnya. Namun ternyata nyawa Dwani memang liat.” “Cukup!” bentak Nyi Dwani, “Aku muak mendengar dan melihat permainan yang kotor ini.” “Dwani. Kenapa kau?” “Aku tidak mau mendengar bualanmu lagi Mbokayu. Pergilah bersama Kakang Saba Lintang, sebelum aku memukul isyarat. Dengan isyarat itu, kalian tidak akan dapat lolos dari tangan para pengawal Tanah Perdikan ini.” “Aku yakin bahwa orang-orang Tanah Perdikan tidak akan berbuat selicik itu,” berkata Nyi Yatni, “kami hanya berdua. Kami tidak datang menyerang Tanah Perdikan ini. Kami justru datang untuk menemui ayah dan kau, Dwani.” “Pergilah! Semakin cepat semakin baik.” “Kenapa aku harus segera pergi? Sedangkan kedua orang tua suami istri ini, yang agaknya termasuk orang penting di Tanah Perdikan ini saja tidak mengusirku.” “Permainan kalian sangat kasar. Kalian tidak berhasil menyakiti hatiku. Tetapi kalian membuat aku muak.” “Dwani, apa yang terjadi?” Namun Ki Wijil-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kami memang tidak mengusir kalian. Kami jarang sekali mendapat kesempatan melihat tontonan yang begitu menarik. Permainan yang sulit dibedakan dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi.” Wajah Nyi Yatni menjadi tegang. Katanya, “Kami tidak sedang bermain. Kami juga bukan tontonan.” “Jangan marah. Mungkin kau menganggap dirimu bukan tontonan. Tetapi ternyata Ki Saba Lintang adalah seorang pemain yang sangat baik dalam satu pertunjukan yang sangat jenaka.” Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Apa yang kau maksudkan?” Nyi Wijil dan Empu Wisanata yang tanggap akan maksud Ki Wijil pun tertawa pula. Hanya wajah Nyi Dwani sajalah yang masih tetap tegang. “Permainanmu sangat meyakinkan,” berkata Ki Wijil. “Aku tidak senang bermain-main,” sahut Ki Saba Lintang. “Jika demikian, tontonan ini semakin mengasyikkan,” Ki Wijil tertawa semakin keras, “jika kalian tidak sedang bermain, maka kalian adalah badut-badut yang sesungguhnya.” “Cukup!” teriak Nyi Yatni. Lalu katanya kepada Ki Saba Lintang, “Kau biarkan orang tua ini mengigau seperti itu?” “Ya,” sahut Empu Wisanata, “Ki Saba Lintang harus membiarkannya berbicara apa saja. Ki Saba Lintang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menghentikannya.” “Kakang!” jantung Ki Yatni bagaikan akan meledak. “Biarkan mulut yang sudah rusak itu berbunyi apa saja,” geram Ki Saba Lintang, “yang penting bagimu Nyi Yatni, usahakan agar keluargamu utuh kembali.” “Satu lawakan yang menarik,” sahut Empu Wisanata. “Ayah,” potong Nyi Yatni. “Yatni, jangan berpura-pura. Aku minta segera tinggalkan tempat ini. Kau tidak akan berhasil untuk mengajak kami. Jika cara ini ditempuh oleh Ki Saba Lintang untuk menyakiti hati Dwani, ia pun tidak berhasil. Aku tidak tahu, apakah Yatni mengerti atau tidak bahwa ia sudah menjadi alat Ki Saba Lintang.” “Alat apa?” “Sudah. Jangan hiraukan. Marilah kita tinggalkan sarang iblis ini. Semakin lama kita di sini, maka semakin kabur penalaran kita atas persoalan-persoalan yang kita hadapi.” “Kita tidak berjantung tanah liat, Kakang.” Tetapi Ki Saba Lintang itu pun segera bangkit sambil berkata, “Kita berhadapan dengan orang-orang licik yang pandai memutar balikkan keadaan. Nyi Yatni, kita memang tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa membiarkan Empu Wisanata dan adikmu Nyi Dwani ikut lumat bersama Tanah Perdikan ini, sebagaimana dikatakan oleh Suranata.” Nyi Yatni pun kemudian bangkit pula. Demikian pula Empu Wisanata, Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani. “Jadi Ayah menolak untuk memulihkan keutuhan keluarga kita?” bertanya Nyi Yatni kemudian. “Tentu tidak, Yatni. Tetapi aku harus memperhitungkan maksud yang sesungguhnya dari niatmu untuk memulihkan keutuhan keluarga kita itu. Aku pun harus memperhitungkan, siapakah yang telah menggerakkan kau datang kepadaku.” “Jadi apakah artinya kesediaan Ayah memaafkan aku?” “Aku telah memaafkan semua kesalahan yang pernah kau lakukan Yatni. Aku tidak pernah mendendammu. Tetapi sudah tentu aku pun tidak akan dapat kau bawa menerjuni lubang sumur berapi.” “Baik. Baik Ayah. Jika Ayah kokoh pada sikap dan pendirian Ayah itu, apa boleh buat. Agaknya Dwani pun telah terpengaruh pula oleh sikap Ayah, sehingga ia telah meninggalkan kesetiaannya kepada perguruan Kedung Jati, meskipun Ayah pernah mencoba untuk membunuhnya.” “Cukup, Mbokayu!” sahut Nyi Dwani, “Aku masih dapat berpikir waras. Karena itu, sebaiknya Mbokayu segera meninggalkan tempat ini” Nyi Yatni tertawa pendek. Katanya, “Kau bagiku adalah seorang adik kebanggaan, Dwani.” “Terima kasih Mbokayu. Tetapi kita adalah saudara kandung yang saling mengenal sejak masa kanak-kanak kita. Mbokayu mengenal aku, sifat-sifat dan watakku, sedangkan aku mengenal Mbokayu dengan sifat-sifat dan watak Mbokayu.” Wajah Nyi Yatni menjadi semakin tegang. Sementara itu Ki Saba Lintang telah menarik tangannya sambil berkata, “Marilah. Kita jangan terlalu lama di sini. Jika semula aku yakin bahwa tidak akan ada kelicikan di Tanah Perdikan ini, akhirnya aku menjadi ragu-ragu.” “Baiklah,” sahut Nyi Yatni. Lalu ia pun berkata kepada ayahnya, “Ayah, Aku mohon diri. Terima kasih bahwa Ayah telah memaafkan segala kesalahanku. Bagaimanapun juga aku masih ingin membalas segala kebaikan budi Ayah, sehingga aku ingin pada suatu ketika aku dapat membahagiakan Ayah, serta menempatkan Dwani di jenjang kedudukan yang terhormat sesuai dengan kemampuannya yang tinggi.” “Terima kasih, Mbokayu,” sahut Nyi Dwani. “Aku mohon diri, Ayah.” “Hati-hati-lah menempuh jalan kehidupan, Yatni,” desis Empu Wisanata. Nyi Yatni mengerutkan dahinya. Bagaimanapun juga masih terasa nada bicara seorang ayah yang mencemaskan keadaan anaknya. Namun Nyi Yatni tidak sempat berbicara lebih banyak lagi. Ki Saba Lintang pun kemudian menariknya. Tidak lagi memegangi pergelangan tangannya, tetapi justru memegangi pinggangnya. Demikian mereka turun dari pendapa, Nyi Yatni pun justru seakan-akan melekat di tubuh Ki Saba Lintang, dan berjalan bersama-sama menuju ke kuda mereka. Darah Nyi Dwani rasa-rasanya memang telah mendidih. Terbayang di masa kanak-kanak mereka. Permainan apapun yang dipegangnya, jika kakak perempuannya itu mengingini, selalu dirampasnya. Yatni sama sekali tidak peduli, apakah Dwani akan menangis atau tidak. Hal itu seakan-akan kini telah terulang. Nyi Yatni itu telah merampas Ki Saba Lintang dari sampingnya. Namun terdengar Empu Wisanata itu berbisik di telinganya, “Jangan mengulangi kesalahan yang sama karena perasaan cemburumu itu.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Ia telah kehilangan kendali sehingga ia telah berusaha membebaskan Rara Wulan, karena jantungnya telah dibakar oleh perasaan cemburu. Sementara itu ayahnya berbisik pula, “Kau sekarang tidak membutuhkan lagi Ki Saba Lintang.” Nyi Dwani itu mengangguk kecil. Sedangkan Empu Wisanata berkata selanjurnya, “Kasihan Yatni. Ia tidak lebih dari alat bagi Ki Saba Lintang.” Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi bagaimanapun juga, jantungnya terasa bergetar semakin cepat ketika ia melihat bagaimana Ki Saba Lintang membantu Nyi Yatni naik ke atas punggung kudanya, meskipun sebenarnya hal itu dapat dilakukannya sendiri. Demikianlah, sejenak kemudian kedua ekor kuda itu telah keluar dari regol halaman, sementara Empu Wisanata dan Nyi Dwani berdiri saja di tangga pendapa. Namun di regol Nyi Yatni itu masih sempat melambaikan tangannya sambil berkata, “Ingat Ayah, pada suatu saat aku akan membahagiakan Ayah.” Empu Wisanata tidak menjawab. Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda yang berlari semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya hilang dari pendengaran mereka. Dalam pada itu, Nyi Dwani pun segera berlari melintasi pendapa dan masuk ke dalam biliknya. Dengan serta-merta Nyi Dwani telah menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringannya. Ketika Empu Wisanata memasuki bilik itu, dilihatnya Nyi Dwani menangis terisak-isak. Sambil duduk di bibir pembaringan, Empu Wisanata itu pun bertanya, “Kenapa kau menangis, Dwani?” Nyi Dwani itu pun bangkit dan duduk di sisi ayahnya. Dengan sendat Dwani itu pun menjawab, “Aku merasa kesal sekali Ayah.” “Kau merasa cemburu?” “Tidak,” jawab Nyi Dwani tegas. “Jadi?” “Aku hanya ingin mengurangi beban yang menggelantung di hatiku. Aku ingin meyakinkan diriku, bahwa aku tidak lagi bergayut kepada siapa pun.” “Dengan menangis?” “Ya. Dengan menangis.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Dwani. Jika dengan menangis kau dapat mengurangi beban di hatimu, bahkan meyakinkan dirimu sendiri tentang kemandirianmu, lakukanlah.” Dwani tidak menjawab. Namun Nyi Dwani justru sudah tidak menangis lagi. Namun sebenarnyalah Nyi Dwani seakan-akan telah benar-benar berubah. Ia menjadi semakin yakin akan dirinya. Kepercayaannya kepada keyakinannya pun menjadi bertambah. Di malam hari, ketika seisi rumah itu duduk di ruang dalam untuk makan malam, kedatangan Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni telah menjadi bahan pembicaraan. “Kedatangan mereka menjadi satu isyarat,” berkata Agung Sedayu. “Isyarat apa?” bertanya Sekar Mirah. “Isyarat bahwa Ki Saba Lintang sudah siap untuk menyerang Tanah Perdikan ini.” “Dari mana Kakang mengetahuinya?” bertanya Glagah Putih. “Ki Saba Lintang sudah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Nampaknya memang demikian. Kita memang harus tanggap.” “Sebaiknya pasukan pengawal Tanah Perdikan segera ditempatkan sesuai dengan rencana pembagian kekuatan. Besok aku juga akan mengatur pasukanku dan akan langsung ditempatkan. Karena itu, besok pagi-pagi aku akan bertemu dengan Ki Gede dan Prastawa. Aku minta Glagah Putih ikut bersamaku.” “Baik, Kakang.” “Mungkin kita akan berada di tempat yang terpisah yang satu dengan yang lain,” berkata Agung Sedayu pula, “setiap pasukan akan disertai oleh satu atau dua orang di antara kita.” Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Agung Sedayu. Yang akan mereka hadapi adalah serangan-serangan yang tidak saja datang dari satu arah. Sedikit-sedikitnya mereka harus bersiap menghadapi pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep, dan dari sisi utara, yang berkemah di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga. Demikianlah, seperti yang direncanakan, pagi-pagi sebelum Agung Sedayu pergi ke barak pasukannya bersama Glagah Putih, ia pergi menemui Ki Gede. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu dan Glagah Putih berbincang dengan Ki Gede dan Prastawa, apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk menghadapi serangan yang nampaknya akan segera terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Ki Gede pun sependapat bahwa para pemimpin Tanah Perdikan serta orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan itu akan berpencar. “Nanti sore aku akan menghadap lagi, Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “siang ini barangkali aku akan mendapat bahan-bahan baru dari para petugas sandi.” “Aku menunggu, Ki Lurah. Sementara itu, aku minta Angger Glagah Putih siang nanti dapat bersama-sama dengan Prastawa menentukan kedudukan para pengawal, sesuai dengan perkembangan keadaan serta kesiagaan orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan ini.” Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri, sedangkan Glagah Putih masih akan memanggil Sabungsari untuk diajak menemui Prastawa. Dari rumah Ki Gede, Agung Sedayu singgah di rumahnya sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu pun segera berangkat ke baraknya. Hari itu, segala sesuatunya harus sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan bagi Tanah Perdikan Menoreh. Di baraknya Agung Sedayu telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang, bersama Ki Tumenggung Wirayuda. Beberapa laporan petugas sandi telah melengkapi penilaian mereka terhadap kekuatan lawan yang berada di beberapa tempat di luar Tanah Perdikan. Bersama Ki Tumenggung Wirayuda, Agung Sedayu pun telah membagi kekuatannya. Selain Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, di barak itu juga sudah datang, berangsur-angsur sehingga tidak menarik perhatian, prajurit Mataram dari Ganjur. Menghadapi serangan dari pasukan yang kuat, sebagian prajurit yang berada di Ganjur telah diperbantukan kepada Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, untuk memantapkan pertahanan di seluruh Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu pun telah menyelenggarakan satu pertemuan dari semua unsur yang ada di Tanah Perdikan. Untuk menghadapi kemungkinan yang dapat datang setiap saat, malam itu juga Agung Sedayu telah mempertemukan Ki Gede Menoreh, Ki Tumenggung Wirayuda, para pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur, serta orang-orang berilmu tinggi yang berada di rumah Agung Sedayu. Untuk menjaga segala kemungkinan, Agung Sedayu telah minta Ki Wijil dan Nyi Wijil untuk tinggal di rumah bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Sambil tertawa Ki Wijil pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan tinggal di rumah.” “Biarlah Sayoga ikut bersama kami, Ki Wijil.” “Aku akan menunggu tugas apa yang dapat aku lakukan menghadapi keadaan yang gawat di Tanah Perdikan ini.” Dalam pada itu, Ki Lurah itu pun berkata, “Jangan tersinggung Empu. Bagaimanapun juga kami harus berhati-hati.” “Aku mengerti Ki Lurah. Kami tidak merasa tersinggung sama sekali.” Malam itu segala sesuatunya telah ditentukan. Semua pihak telah mendapat tugasnya masing-masing. Mereka terbagi dalam daerah-daerah pertahanan, untuk menghadapi pemusatan tenaga kekuatan dari pasukan yang siap menerkam Tanah Perdikan itu. Untuk memimpin pertahanan itu, semua pihak telah menunjuk Ki Gede Menoreh. “Kemampuanku bukan apa-apa dibanding dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata Ki Gede. “Tetapi pengalaman dan. pengetahuan Ki Gede adalah yang paling luas di antara kita,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “aku tidak lebih dari seekor katak yang bersembunyi di bawah tempurung.” Ki Tumenggung Wirayuda-lah yang menyahut, “Kita tahu, apa yang pernah Ki Gede lakukan semasa Ki Gede masih terhitung muda dahulu.” Ki Gede akhirnya tidak dapat menolak. Ia akan memimpin pertahanan menghadapi kekuatan yang cukup besar yang mengancam Tanah Perdikannya. Tetapi hal itu adalah wajar sekali, karena Ki Gede adalah pemimpin Tanah Perdikan itu. Malam itu, pertemuan itu pun telah menentukan kekuatan yang akan berpencar di sepanjang perbatasan. Tetapi kekuatan itu akan berpusat pada tiga induk pertahanan ,menghadapi kekuatan lawan yang sedang dihimpun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di sisi utara. Dari para petugas sandi didapat laporan, bahwa kekuatan yang ada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga di sisi utara, hampir seimbang, sehingga rencana pertahanannya pun dibuat seimbang pula. Namun demikian, Ki Gede Menoreh juga memerintahkan untuk memperkokoh dinding padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin sekali akan terjadi bahwa di antara pasukan yang datang menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu, akan ada kelompok-kelompok yang ditugaskan untuk menyusup menusuk langsung ke padukuhan induk. Mereka akan memperhitungkan bahwa padukuhan induk mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi rakyat dan para pengawal Tanah Perdikan. Jika padukuhan induk itu berhasil direbut, maka ketahanan jiwani terutama para pengawal Tanah Perdikan akan berkerut. Mereka seakan-akan merasa kehilangan tempat untuk bertumpu. Jika hal itu terjadi, maka pertahanan di Tanah Perdikan itu akan segera menjadi goyah. Di samping pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi serangan lawan dari ketiga arah itu, maka di Tanah Perdikan pun telah disiapkan pula sekelompok pasukan berkuda, yang terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus, para petugas sandi, serta penghubung yang akan menghubungkan medan yang satu dengan medan yang lain. Mungkin mereka harus menyampaikan laporan secepatnya kepada Ki Gede atau kepada para pemimpin yang berada di medan. Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Gede telah memanggil adiknya, Ki Argajaya yang agak lama memilih hidup di dalam satu lingkungan kecil. Sejak saat ia gagal merebut kekuasaan di Tanah Perdikan itu, yang kemudian mendapat pengampunan sehingga ia tidak dijatuhi hukuman yang berat, apalagi hukuman mati, Ki Argajaya merasa lebih baik menyisihkan diri. Tetapi ia seakan-akan telah diwakili oleh anak laki-lakinya, Prastawa, yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. “Argajaya,” berkata Ki Gede, “sudah waktunya kau bangun.” “Aku sudah tua, Kakang,” jawab Ki Argajaya, “biarlah yang muda-muda itulah yang tampil di medan perang.” “Ya. Yang muda-muda akan tampil di medan perang. Tetapi aku minta kau bantu aku mengendalikan pertahanan ini. Aku telah ditunjuk untuk memimpin pertahanan di Tanah Perdikan ini. Aku tidak dapat mengelak, karena aku-lah Kepala Tanah Perdikan ini.” Ki Argajaya ternyata juga tidak dapat mengelak. Karena itu, maka ia pun berkata, “Jika Kakang masih mempunyai sisa-sisa kepercayaan kepadaku, aku akan melakukan perintah-perintah Ki Gede.” Ki Gede itu pun kemudian berkata, “Kita akan mengendalikan pertempuran dari padukuhan induk. Kita akan mengamati pertempuran lewat para penghubung yang akan hilir mudik ke medan. Tetapi kita pun bersiap menghadapi kemungkinan penyusupan lawan untuk langsung menyerang induk ini.” “Di mana Ki Lurah Agung Sedayu akan berada?” bertanya Ki Argajaya. “Ia akan berada di medan. Ia akan memimpin pasukan untuk menghadapi lawan yang sekarang menimbun kekuatan di Pucang Kerep, dan yang sudah ancang-ancang untuk menyerang.” “Siapa yang akan memimpin pasukan yang berada di sisi selatan, menghadapi kemungkinan serangan dari kekuatan yang berada di Krendetan?” “Ki Lurah Sura Panggah, pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur. Sedangkan Ki Tumenggung Wirayuda akan berkedudukan di barak Pasukan Khusus. Namun mungkin ia akan berada di medan yang dipilihnya sendiri.” “Yang akan memimpin perlawanan di sisi utara untuk menghadapi kekuatan yang ada di sekitar tempuran Kali Elo dan Kali Praga?” “Pimpinan pasukan itu dipercayakan kepada Prastawa.” “Bukankah di antara pasukan itu juga akan terdapat prajurit dari Pasukan Khusus, atau dari antara prajurit yang datang dari Ganjur?” “Ya, Pasukan Khusus dan para prajurit yang datang dari Ganjur akan dibagi di tiga pemusatan pasukan Tanah Perdikan.” “Sebaliknya para pengawal Tanah Perdikan juga akan berada di ketiga tempat itu?” bertanya Ki Argajaya. “Ya,” jawab Ki Gede, “sementara kita akan berada di padukuhan induk ini untuk mengendalikan pertempuran dalam keseluruhan.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku siap untuk melakukannya, Kakang.” “Tetapi tidak mustahil bahwa kita harus bertempur, jika sekelompok lawan berhasil menyusup sampai ke padukuhan induk ini.” “Ya. Aku akan mempersiapkan diriku.” “Menurut pengalaman, hal seperti itu pernah terjadi, sehingga tidak mustahil bahwa hal seperti itu akan terjadi lagi.” “Baik Kakang. Aku akan mempersiapkan diri di rumahku.” “Pintu gerbang padukuhan induk yang sudah diperkuat itu akan ditutup setiap hari. Orang yang masuk dan keluar akan mendapat pengawasan yang ketat. Sementara itu, lalu lintas di Tanah Perdikan ini, kecuali di padukuhan induk, masih dapat berlangsung seperti sebelumnya. Maksudku, jalan-jalan di Tanah Perdikan ini tidak akan ditutup. Mereka yang melintas dari timur ke barat, atau dari barat ke timur atau ke utara, tidak akan dihambat. Sebaiknya kau tinggal di rumah ini.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Mulai besok aku akan berada di rumah ini.” Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah ditetapkan menjadi landasan pertahanan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, yang akan bergabung dengan para prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, serta para prajurit yang datang dari Ganjur. Masing-masing pada dasarnya dibagi menjadi empat. Tiga kelompok pasukan akan berada di tiga landasan pertahanan, sementara satu bagian merupakan pasukan cadangan, yang akan turun ke medan setiap saat jika diperlukan. Tidak termasuk pasukan berkuda, pasukan yang bergerak ke mana saja mereka diperlukan. Dalam pada itu, orang-orang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan Menoreh akan dibagi pula untuk berada di tiga landasan utama pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Beberapa padukuhan yang telah dipersiapkan untuk menjadi landasan pertahanan telah diperkuat. Dinding padukuhan pun telah diperkuat pula. Demikian pula pintu gerbangnya. Beberapa panggungan telah dibangun untuk mengawasi keadaan. Tetapi pasukan gabungan Tanah Perdikan Menoreh itu tidak akan sekedar bertahan di padukuhan-padukuhan itu. Mereka akan membuat garis pertahanan di luar padukuhan, langsung menghadapi gerak para penyerang, yang ternyata mengambil ancang-ancang cukup panjang. Hanya dalam keadaan yang terpaksa mereka akan memanfaatkan dinding-dinding padukuhan, sementara para penghubung akan memberikan laporan kepada Ki Gede, sehingga Ki Gede akan dapat mengambil kebijaksanaan. Sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan, para prajurit dari Pasukan Khusus, maupun para prajurit yang diperbantukan dari Ganjur, telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika perintah itu datang, maka dengan cepat mereka bergerak. Sementara itu para petugas sandi pun telah memberikan laporan, bahwa kegiatan pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga pun telah meningkatkan persiapan mereka. Namun ternyata bahwa pasukan yang siap untuk menyerang Tanah Perdikan itu bekerja cukup cermat. Mereka tidak langsung menyerang dari landasan ancang-ancang mereka. Tetapi mereka telah membuat anak-anak landasan di tempat yang lebih dekat. Para petugas sandi mengikuti perkembangan persiapan orang-orang yang siap menyerang Tanah Perdikan itu. Mereka mengamati kelompok-kelompok yang bertugas untuk berada beberapa ratus patok di hadapan pasukan induk. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bukan baru untuk pertama kali menghadapi kekuatan yang mengancam Tanah Perdikan mereka. Mereka pun pernah menghadapi sepasukan orang-orang yang garang, yang membuat kemah di balik bukit. Mereka juga pernah menghadapi kekuatan yang menyusup sampai ke padukuhan induk. Mereka pun pernah menghadapi berbagai macam lawan. Di luar Tanah Perdikan, sebagian dari mereka pernah bertempur dalam gelar pasukan yang luas. Bahkan terakhir sebagian dari mereka telah ikut pergi ke Pati. Karena itu, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan itu telah mempunyai pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam sifat dan watak lawan. Dari yang kasar, liar dan bahkan buas, sampai mereka yang bertempur dengan mapan dalam gelar yang utuh, serta menganut segala macam pranatan perang, serta mereka yang bertempur dengan licik dan mengesahkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Beberapa hari kemudian, mulai terjadi benturan-benturan antara para peronda dari kedua belah pihak. Para peronda dari Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang memang berpapasan dengan para peronda dari pasukan yang sedang menyusun kekuatan mereka di luar Tanah Perdikan itu. Sementara itu, beberapa kademangan yang berada di garis lurus yang menghubungkan kedua kekuatan yang akan beradu di medan perang itu, harus menentukan kebijaksanaan mereka. Ternyata orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu telah memberi peringatan agar mereka tidak ikut campur, agar mereka tidak ikut terlibat dalam pertempuran yang akan banyak menelan korban. Sebaliknya Tanah Perdikan Menoreh pun telah memperingatkan mereka untuk menghindarkan diri dari kemungkinan buruk itu pula. “Sebaiknya kalian menghindar. Jauhi medan pertempuran yang akan terjadi di perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami minta maaf, bahwa pasukan kami mungkin akan merembet keluar garis batas Tanah Perdikan untuk menghancurkan lawan.” Kademangan-kademangan kecil di luar Tanah Perdikan itu menyadari, bahwa mereka memang lebih baik menghindar. Jika dua ekor gajah bertarung, maka mereka lebih baik menyingkir daripada terinjak-injak. Persiapan kedua belah pihak pun menjadi semakin matang. Benturan-benturan kecil semakin sering terjadi. Namun benturan-benturan itu justru dapat dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan untuk menjajaki kemampuan lawan. Dalam pada itu, dalam puncak persiapan dari kedua belah pihak, sekelompok kecil orang telah menyeberangi pegunungan dan turun ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika sekelompok peronda melihat mereka, maka para peronda itu pun segera memotong jalan mereka. “Aku bukan petugas yang sedang meronda,” berkata orang yang berdiri di paling depan. Lalu katanya pula, “Aku adalah Ki Saba Lintang.” “Apakah maksud Ki Saba Lintang?” “Aku ingin bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” “Atau Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya peronda itu. “Tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan berbicara dengan Ki Gede Menoreh.” Para peronda itu menjadi ragu-ragu. Namun mereka tidak akan dapat menghambat keinginan sekelompok kecil orang-orang yang akan menemui Ki Gede Menoreh itu. Yang dapat mereka lakukan justru mengawal mereka sampai ke padukuhan induk. Namun dua orang di antara mereka telah memisahkan diri dan pergi ke rumah Agung Sedayu, memberitahukan kehadiran sekelompok kecil orang yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang untuk menemui Ki Gede Menoreh. Karena Agung Sedayu masih berada di barak, maka Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga-lah yang kemudian pergi ke rumah Ki Gede. Ki Gede menerima Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari gerakannya itu di pendapa bersama Ki Argajaya dan Prastawa. Sementara itu, para pengawal masih tetap berada di halaman rumah itu, bergabung dengan para pengawal yang sedang bertugas. Namun sebelum mereka mulai berbincang, maka Putih, Sabungsari dan Sayoga telah datang dan dipersilakan naik ke pendapa pula. Ki Saba Lintang memandang Glagah Putih sekilas. Namun kemudian ia tidak memperhatikannya lagi. Meskipun demikian, nampak bahwa Ki Saba Lintang tidak senang melihat kehadiran anak muda itu. Ki Saba Lintang pun kemudian telah memperkenalkan diri bersama kawan-kawannya. Dengan tegas Ki Saba Lintang berkata bahwa mereka adalah para pemimpin dari gerakan yang akan membangun kembali perguruan Kedung Jati. “Apakah maksud kalian menemui aku?” bertanya Ki Gede Menoreh. “Ada yang ingin aku bicarakan dengan Ki Gede,” jawab Ki Saba Lintang. Ki Gede termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut Ki Gede itu pun bertanya, “Apakah ada yang dapat kita bicarakan?” “Banyak, Ki Gede. Kita dapat berbicara tentang banyak hal untuk kepentingan kita bersama.” “Katakan, Ki Saba Lintang. Persoalan apa yang dapat kita bicarakan itu.” “Ki Gede,” berkata Ki Saba Lintang, “dalam tahap akhir dari perjuanganku, aku ingin menawarkan kerja sama kepada Ki Gede.” “Kerja sama apakah yang kau maksudkan itu?” “Aku telah mempersiapkan kekuatan yang besar sekali, Ki Gede. Kekuatan yang tidak dapat diperbandingkan dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Meskipun demikian, aku menawarkan kesempatan kepada Ki Gede. Jika Ki Gede mau bekerja bersama kami, maka Ki Gede akan mendapat kesempatan yang lebih luas di masa datang.” “Tegaskan bentuk dari kerja sama itu, Ki Saba Lintang.” “Kami minta Ki Gede menyediakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan perjuanganku menggapai Mataram. Ki Gede tidak usah membantu dalam arti kekuatan. Ki Gede tidak usah menyerahkan kelompok-kelompok pengawal kepada kami. Yang perlu Ki Gede lakukan hanyalah menyediakan pangan dan kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari selama perjuangan kami. Mataram tidak akan dapat bertahan lama. Hanya dalam keadaan memaksa kami minta bantuan kekuatan kepada Ki Gede.” “Tegasnya, Ki Saba Lintang ingin melibatkan kami dalam pemberontakan ini?” “Siapakah yang sebenarnya berontak? Ki Gede tentu tahu, siapakah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Ki Gede tentu tahu bahwa yang sekarang memegang tampuk pimpinan adalah anak Pemanahan. Ki Gede pun tentu tahu, bagaimana Sutawijaya yang sekarang bergelar Panembahan Senapati itu mendapatkan kedudukannya yang sekarang.” “Ya. Aku tahu. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati berusaha mempersatukan Mataram. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati bangkit ketika Pajang kehilangan nafas perjuangannya menyongsong masa depan. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, yang terjadi di Pajang adalah bencana, jika saat itu Panembahan Senapati masih belum menegakkan panji-panji pemerintahannya di Mataram.” “Apakah Ki Gede tidak tahu, siapakah yang telah membunuh Kanjeng Sultan, langsung atau tidak langsung?” “Kanjeng Sultan sudah tidak berdaya waktu itu. Perang di Prambanan sekedar satu langkah untuk satu kepastian. Seandainya tidak terjadi perang, seandainya Panembahan Senapati tidak berpijak di Mataram, dan kemudian Kangjeng Sultan wafat, tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi di Pajang.” “Khayalan seorang yang tersisih pada waktu itu,” berkata Ki Saba Lintang, “tanpa Panembahan Senapati, pemerintah Pajang akan berlangsung dengan baik. Kekuasaan akan mengalir tanpa gejolak sama sekali.” “Kau tentu dapat membayangkan apa yang terjadi antara Kanjeng Adipati Demak dan Pangeran Benawa pada saat itu.” “Riak yang kemudian menjadi gelombang yang melanda Pajang waktu itu, timbul karena prahara yang dihembuskan oleh Panembahan Senapati, yang telah lebih dahulu memberontak dan menguasai Mataram.” “Jika demikian, kau-lah yang tidak tahu apa yang telah terjadi. Apa katamu bahwa Pangeran Benawa justru telah disingkirkan ke Jipang?” “Sudahlah,” berkata Ki Saba Lintang, “kita tidak sedang menilai aliran kekuasaan di Pajang. Yang penting sekarang, anak Pemanahan itu akan kami singkirkan. Kami telah mempunyai seorang yang pantas untuk menduduki tahta. Seorang keturunan Prabu Brawijaya.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Aku juga keturunan Prabu Brawijaya. Kau percaya?” “Jangan bergurau, Ki Gede. Aku berkata sebenarnya.” “Terserah tanggapanmu. Jika kau tidak percaya, aku hargai sikapmu, sebagaimana aku tidak percaya kepada orang yang kau sebut keturunan Brawijaya itu.” Wajah Ki Saba Lintang menjadi merah. Namun ia masih mengendalikan dirinya. Sementara itu, seorang yang berwajah keras dengan janggut pendek yang mulai memutih berkata, “Ki Gede. Jika kami datang kemari, sebenarnyalah kami membawa niat yang baik. Jika kita dapat bekerja bersama, kita akan bersama-sama mendapat keuntungan. Kami tidak akan kehilangan kekuatan, karena bagaimanapun juga pertempuran di Tanah Perdikan ini tentu akan menelan korban. Sementara Ki Gede pun tidak akan kehilangan Tanah Perdikan ini.” “Kenapa aku akan kehilangan Tanah Perdikan ini?” “Jika kami harus merebut tanah perdikan ini dengan kekuatan, maka kami tidak akan melepaskannya lagi meskipun kepada Ki Gede. Kami akan memiliki Tanah Perdikan ini dan memanfaatkan segala isinya, termasuk orang-orangnya.” Jantung Ki Gede berdegup semakin cepat. Tetapi Ki Gede bukan seorang yang mudah hanyut dalam arus perasaannya. Karena itu, maka Ki Gede itu justru tersenyum. Dengan nada berat Ki Gede itu pun berkata, “Ki Sanak. Kau ingin bekerja sama dengan Tanah Perdikan ini? Tetapi belum lagi terdapat kesepakatan, kau sudah mengancam. Apakah dengan demikian kita akan mendapatkan satu persetujuan?” Sebelum orang itu menjawab, seorang yang lain yang bertubuh gemuk dan perutnya bagaikan menggelembung, menyahut, “Aku tidak telaten. Ki Saba Lintang, kenapa kau tidak langsung berterus terang saja? Katakan bahwa Ki Gede harus tunduk kepadamu. Jika kau terlalu baik hati, dengan sopan santun yang tinggi serta unggah-ungguh yang lengkap, maka tiga hari tiga malam kita belum selesai bicara.” Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun yang darahnya telah mendidih adalah Prastawa. Karena itu, maka ia pun menyahut, “Pergilah selagi masih mungkin. Jika isyarat perang sudah berbunyi, maka kalian akan terjebak di Tanah Perdikan ini, dan tidak mungkin untuk keluar lagi.” Tetapi orang yang perutnya besar itu tertawa. Katanya, “Meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, mereka tidak akan dapat menahan kami.” “Biarlah Ki Saba Lintang menjawab,” tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “apakah benar kata orang yang perutnya buncit itu? Apakah benar bahwa meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, tidak akan dapat menangkapnya?” Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Ia mengenal beberapa orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu, termasuk Glagah Putih itu sendiri. Karena itu untuk beberapa lamanya ia justru terdiam. “Jawablah, Ki Saba Lintang,” desak Glagah Putih. Tetapi Ki Saba Lintang itu pun mengeram. Katanya kemudian, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita hanya membuang-buang waktu saja. Agaknya otak Ki Gede sudah membeku, sehingga ia tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang baik.” “Aku belum yakin,” berkata orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu, “agaknya Ki Gede belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan.” Lalu katanya kepada Ki Gede, “Ki Gede. Ki Gede tentu tidak senang melihat Tanah Perdikan ini menjadi karang abang. Kehancuran, kematian dan bencana lain yang tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, pertimbangkanlah kemungkinan yang lain. Bekerja sama dengan kami.” “Sudahlah. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.” “Aku tahu, bahwa Ki Gede takut, atau katakan saja segan, kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi jangan cemas. Jika Ki Gede bersedia, biarlah kami yang mengurus Agung Sedayu itu.” Ternyata bukan hanya Prastawa yang tidak dapat menahan diri. Glagah Putih pun kemudian berkata, “Apa yang dapat kau lakukan terhadap Ki Lurah Agung Sedayu?” Orang yang berjanggut pendek yang sudah mulai memutih itu berkata, “Kau kira Ki Lurah Agung Sedayu tidak terkalahkan, sehingga seluruh dunia harus tunduk kepadanya?” “Katakan, siapa yang akan mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu itu.” “Untuk apa?” “Jika yang dimaksud adalah kau sendiri, maka aku tantang kau sekarang bertempur dengan jujur. Tidak usah langsung berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” geram Glagah Putih yang menjadi semakin marah. Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Kita tidak akan melayani gejolak perasaan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Kami datang untuk menawarkan satu bentuk kerja sama bagi Ki Gede. Tetapi Ki Gede tidak mampu melihat jauh ke depan.” Tetapi Ki Gede itu pun berkata, “Pergilah selagi kau sempat, seperti yang dikatakan oleh pimpinan pengawal Tanah Perdikan ini. Jangan bermimpi bahwa aku akan menerima tawaran kerja sama itu, karena aku tahu bahwa yang kau tawarkan itu tidak lebih dari suatu muslihat yang licik.” “Apa yang pernah Ki Gede lakukan, dan apa yang selalu bergetar di jantung Ki Gede, itulah yang Ki Gede bayangkan dilakukan oleh orang lain.” “Cukup!” bentak Prastawa. “Jangan menyesal,” berkata orang yang berjanggut pendek, “kirimkan petugas sandi kalian untuk melihat persiapan kami. Kami akan menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kemudian kami akan meloncati Kali Praga dan menghancurkan Mataram.” Ki Gede tertawa pula. Katanya, “Mataram bukan sekelompok anak-anak yang bermain keraton-keratonan. Tetapi kau tahu bahwa Mataram memiliki pasukan yang kuat.” “Omong kosong,” geram orang yang perutnya buncit, “jika Mataram mampu menguasai daerah di sebelah timur, karena Mataram mendapat bantuan dari Pati, Demak, Grobogan dan Pajang. Ketika Mataram mengalahkan Pati, Mataram mempengaruhi rakyat di sebelah utara Gunung Kendeng, yang dengan resmi sudah diserahkan kepada Pati. Meskipun Pati telah membantu Mataram menyusuri daerah timur, tetapi akhirnya Pati dihancurkan pula oleh Panembahan Senapati. Tanpa bantuan dari daerah-daerah itu, Mataram bukan apa-apa lagi.” Glagah Putih-lah yang menyahut, “Khayalanmu ternyata menarik sekali, Ki Sanak. Tetapi sayang, bahwa kau berkhayal di hadapan orang-orang yang ikut mengalami sebagian besar dari peristiwa yang kau gubah di dalam khayalanmu menurut seleramu itu. Karena itu bagi kami, yang kau ceritakan itu tidak lebih dari sebuah khayalan yang menggelikan.” “Anak setan!” “Jangan hanya mengumpat. Jika kau menantangku, aku layani kau dengan jujur di hadapan saksi-saksi, termasuk Ki Saba Lintang dan kawan-kawanmu itu.” Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Sudah aku katakan. Jangan terpancing oleh mulut anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Mereka memancing persoalan. Namun mereka tidak akan benar-benar jujur. Mereka dapat membuat cerita apa saja untuk memberikan kesan bahwa mereka berhak berbuat curang.” “Tetapi kata-katanya membuat telingaku menjadi merah.” “Kita tinggalkan tempat ini. Jika terjadi sesuatu, Ki Gede akan menyesal. Tetapi tentu bukan salah kita. Kita sudah menunjukkan niat baik kita dengan menawarkan kerja sama kepadanya. Jika ia menolak, itu salahnya sendiri.” Orang yang perutnya buncit, yang berjanggut tipis keputih-putihan, dan orang-orang yang menyertai Ki Saba Lintang itu pun kemudian telah bangkit. Dengan nada berat Ki Saba Lintang pun berkata, “Kami minta diri, Ki Gede. Kami masih memberi kesempatan Ki Gede untuk berpikir selama tiga hari. Selama itu, Ki Gede aku persilakan untuk mengirimkan orang-orang Ki Gede untuk melihat persiapan kami. Mungkin penglihatan mereka akan dapat membantu Ki Gede untuk mengambil keputusan.” “Aku sudah mendapat laporan tentang orang-orangmu yang sedang kau persiapkan untuk menyerang Tanah Perdikan ini.” “Kami menempatkan orang-orang kami Ki Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga.” “Aku sudah tahu,” jawab Ki Gede. “Bagus. Tetapi Ki Gede tentu belum tahu kekuatan kami yang sesungguhnya. Jika Ki Gede menghendaki, kirimlah beberapa orang untuk melihat keadaan yang sesungguhnya. Asal mereka membawa kelebet putih, maka kami tidak akan mengganggu mereka.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Satu tawaran yang menarik, Ki Saba Lintang. Biarlah pada saatnya pasukan Tanah Perdikan datang untuk melihat kekuatan yang Ki Saba Lintang siapkan. Tetapi kami tidak akan membawa kelebet putih. Kami justru akan membawa pedang dan tombak serta perisai.” Ki Saba Lintang menggertakkan giginya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Yang penting, ia sudah mencoba untuk menggetarkan ketahanan jiwani pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun di hadapannya para pemimpin itu tidak menunjukkan kecemasan dan bahkan seakan-akan menertawakannya, tetapi Ki Saba Lintang berharap bahwa Ki Gede akan merenungkannya kemudian. Bahkan kemudian benar-benar mengirimkan petugas sandinya untuk melihat persiapan pasukannya yang akan menyerang Tanah Perdikan. Ki Saba Lintang yakin, jika para petugas sandi Tanah Perdikan melihat pasukan yang disiapkan, maka Ki Gede akan berpikir dua kali untuk menolak kerja sama dengan Ki Saba Lintang. Ketika kemudian Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya meninggalkan padukuhan induk, maka sekelompok peronda telah mengawalnya. Pemimpin peronda itu berkata kepada Ki Saba Lintang, “Kami akan mengantar Ki Saba Lintang sampai ke perbatasan.” “Terserah kalian,” jawab Ki Saba Lintang, “kami tidak memerlukan pengawalan.” “Hanya untuk menjaga kesalah-pahaman,” berkata pemimpin kelompok pengawal itu. “Kami tidak takut seandainya terjadi salah paham.” “Kami percaya. Yang kami tidak percaya adalah, bahwa kalian tidak akan mempergunakan kesempatan ini untuk mengamati keadaan Tanah Perdikan.” “Kami tidak ingkar,” jawab Ki Saba Lintang, “ternyata bahwa persiapan Tanah Perdikan ini sama sekali tidak memadai bagi sebuah pertahanan. Kalian harus tahu, bahwa jika Ki Gede dalam tiga hari ini tidak menyatakan kesediaannya untuk bekerja bersama, maka medan perang yang akan terjadi tidak hanya di sepanjang perbatasan. Tidak pula sekedar di depan Krendetan, Pucang Kerep dan sisi utara Tanah Perdikan. Tetapi di atas setiap jengkal Tanah Perdikan ini akan terjadi perang. Darah orang-orang Tanah Perdikan akan tertumpah. Di dalam perang yang sengit, kami tidak akan dapat membedakan lagi, pengawal Tanah Perdikan, laki-laki tua, perempuan dan kanak-kanak. Jika tanah di atas Tanah Perdikan kemudian ditutup oleh warna darah, itu bukan salah kami.” “Alangkah dahsyatnya,” desis pemimpin pengawal itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi pertempuran yang sedahsyat apapun tidak akan menggetarkan kami. Perang di atas Tanah Perdikan ini bukan baru pertama kali ini terjadi.” “Persetan!” geram Ki Saba Lintang. Namun ia tidak berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat diikuti oleh kawan-kawannya. Sepeninggal Ki Saba Lintang, Ki Gede pun kemudian berbicara dengan orang-orang yang ada di pendapa. Ki Argajaya, Prastawa, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga. Dengan nada dalam, Ki Gede itu pun berkata, “Agaknya Ki Saba Lintang bersungguh-sungguh. Ia ingin menunjukkan bahwa pasukannya sangat kuat, sehingga yakin akan dapat merebut Tanah Perdikan ini. Bahkan ia ingin memamerkan kekuatannya, dengan memberi kesempatan kepada petugas sandi kita untuk melihat persiapannya di perkemahannya.” “Satu gerakan yang nampaknya meyakinkan. Tetapi menurut pendapatku, Ki Saba Lintang hanya ingin mengguncang ketahanan jiwa kita.” bersambung Posted in Buku 311 - 320 ♦ Seri IV Tagged Agung Sedayu, Empu Wisanata, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Ki Juru Martani / Ki Patih Mandaraka, Ki Saba Lintang, Nyi Dwani, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra TentangKelanjutan Api di Bukit Menoreh. by kibanjarasman 16/10/2017 6 13783. Kisah silat legendaris dengan tokoh utama Agung Sedayu ini benar-benar karya luar biasa dari almarhum Ki Mintardja yang wafat tahun 2002. Kisah ini berakhir pada jilid 396 dan tidak ada kelanjutannya lagi semenjak beliau wafat. Kisah ini saya baca sejak duduk di

♦ 15 Juli 2010 Dengan darah yang bergelora mereka telah bertekad untuk merebut padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka harus merebut kembali pusat pemerintahan yang selama ini telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Bagaimanapun juga, agaknya tempat itu berpengaruh pula bagi rakyat Menoreh yang berada agak jauh dari padukuhan induk itu. Ki Argapati ternyata benar-benar ingin ikut pula di dalam barisan, meskipun ia harus berada di atas punggung kuda. Pada saat terakhir ia menolak untuk duduk di atas sebuah tandu. “Aku sudah menjadi semakin baik,” katanya. “Adalah lebih baik bagiku berada di atas punggung kuda daripada di atas tandu seperti seorang perempuan.” “Tetapi bagi luka Ayah, aku kira lebih baik Ayah berada di dalam tandu,” berkata Pandan Wangi. Ki Argapati menggeleng, “Aku akan duduk di atas punggung kuda. Tetapi aku minta satu dua orang memegang kendali kudaku, supaya aku tidak bernafsu untuk memacunya.” Gembala tua yang mengobati luka-lukanya pun tidak dapat merubah pendiriannya, sehingga karena itu, maka ia berpesan, “Tetapi hati-hatilah, Ki Gede. Luka itu pernah kambuh dan bahkan agak parah. Jangan sampai luka itu kambuh kembali. Ki Gede harus selalu ingat akan hal itu.” “Ya, ya. Aku akan selalu ingat.” Demikanlah ketika gelap malam mulai meraba Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah ujung dari pasukan Menoreh keluar dari regol induk, didahului oleh beberapa orang petugas sandi yang harus mengamat-amati jalan. Maka merayaplah sebuah pasukan seperti seekor ular raksasa yang keluar dari lubang persembunyiannya, menjalar di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk. Setiap hati dari setiap orang yang berada di dalam pasukan itu telah bertekad untuk memilih satu di antara dua. Merebut kembali padukuhan induk itu atau mati di peperangan. Bagi mereka sudah tidak akan ada pilihan lain. Kalau mereka gagal merebut padukuhan induk, maka kekalahan itu akan mencerminkan kehancuran yang bakal mereka alami di saat-saat mendatang. Seandainya mereka terpaksa mundur dan bertahan di belakang pring ori itu pula, maka pada saatnya Ki Tambak Wedi pun akan menjadikan padukuhan itu perapian raksasa yang akan membakar mereka. Karena itu, maka pertempuran kali ini adalah pertempuran yang menentukan. Kekalahan yang terjadi pasti akan semakin menghapus kepercayaan rakyat Menoreh terhadap kemampuan para pengawalnya. Dengan demikian maka hari-hari yang mendatang sama sekali tidak akan berarti apa-apa lagi. Namun demikian, masih juga ada di antara mereka yang sempat berkelakar meskipun sambil berbisik. Tetapi ada juga di antara mereka yang memandang setiap bayangan di sekitarnya dengan wajah yang tegang. “Paman,” berkata Wrahasta kepada Kerti, “supaya pasukan ini tidak segera diketahui lawan, maka sebaiknya beberapa orang harus mendahului di samping petugas-petugas sandi. Mereka harus membungkam setiap gardu perondan di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk itu.” “Ya, pasukan itu memang sudah tersedia. Samekta juga telah memerintahkan beberapa orang mempersiapkan diri.” “Kapan mereka akan kita lepaskan?” “Kalau kita telah melampaui bulak di depan kita itu.” “Aku sendiri akan memimpin mereka.” “Kenapa kau?” “Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang berat. Aku kurang percaya kepada anak-anak itu. Kalau tugas ini gagal, maka pasukan lawan akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Dengan demikian maka korban akan menjadi semakin banyak berjatuhan.” “Sebaiknya bukan kau, Wrahasta.” “Perang kali ini harus menentukan. Kita pun harus berbuat dengan sesungguh hati. Apakah artinya segala usaha yang pernah kita lakukan kalau pada saat terakhir kita akan gagal?” Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari pentingnya tugas itu. Tetapi kenapa Wrahasta sendiri yang harus pergi mendahului? “Bagaimana, Paman?” desak Wrahasta. “Kau sudah cukup banyak berbuat.” “Belum, Paman. Aku harus menunjukkan bahwa kehadiranku di atas Tanah ini ada gunanya. Bukan sekedar hanya memperbanyak jumlah jiwa saja.” “Tugas kita masih banyak.” “Aku sangsi, apakah aku akan dapat ikut seterusnya.” “He?” Kerti terbelalak. “Jangan berkata begitu.” Tetapi Wrahasta justru tersenyum. Katanya, “Ah, sebaiknya kita tidak berbicara tentang hal-hal yang kita ketahui. Yang pasti, para peronda itu jangan mendapat kesempatan memberikan tanda apa pun juga. Aku akan membawa kelompok yang sudah tersusun itu.” Kerti menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Berkatalah kepada Samekta. Samekta yang dapat mengambil keputusan.” “Ya,” sahut Wrahasta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku akan menemuinya. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepada Tanah ini. Aku adalah putra Tanah Perdikan Menoreh.” Wrahasta pun kemudian meninggalkan Kerti. Beberapa langkah ia mendahului sekelompok pengawal, kemudian ditemuinya Samekta sedang berjalan bersama gembala tua itu. “Aku akan mendahului pasukan,” berkata Wrahasta. “He?” Samekta mengerutkan keningnya. “Aku akan memimpin langsung kelompok yang sudah tersusun untuk membungkam setiap gardu perondan yang akan kita lalui.” “Ah,” desah Samekta, “bukan kau. Kau masih nnempunyai tugas-tugas lain yang lebih penting.” “Aku tahu, tetapi sebelum sampai saatnya pasukan ini menebar dalam gelar, aku akan sudah berada kembali di tempatku.” “Tetapi itu terlampau berbahaya bagimu.” “Aku tidak mau gagal. Aku minta ijin.” Samekta mengerutkan keningnya. Agaknya Wrahasta berkeras untuk melakukan tugas itu. Sehingga karena itu, Samekta tidak dapat mencegahnya lagi. “Tetapi kau harus berhati-hati.” “Tentu, tetapi apabila maut memang sudah merabaku, apa boleh buat.” “Hus,” desis Samekta. “Jangan mengigau.” Wrahasta tertawa. Adalah sesuatu yang jarang dilakukannya. Tetapi kali ini memang benar-benar tertawa. “Aku akan pergi. Berapa orang yang sudah siap di dalam kelompok itu?” “Sepuluh,” jawab Samekta. “Bagus, berapa orang petugas sandi jang menyertai kami?” “Tiga.” “Terima kasih. Di ujung bulak itu kita akan berpisah. Aku akan mendahului, menengok setiap gardu yang mungkin ada di sepanjang jalan ini.” Wrahasta tidak menunggu jawaban Samekta. Langsung ia meninggalkannya, menemui sekelompok pengawal pilihan yang akan mendahului pasukan ini, bersama beberapa orang petugas sandi. “Kemana raksasa itu?” bertanya Gupala sambil berbisik kepada Gupita. Gupita mengerutkan keningnya. Ia mendengar serba sedikit pembicaraan Wrahasta dengan Samekta yang berjalan beberapa langkah di depannya bersama gurunya. “Ke gardu-gardu. Supaya pasukan ini sama sekali tidak diketahui oleh induk pasukan Ki Tambak Wedi.” “Sulit. Aku yakin bahwa salah seorang dari mereka akan sempat menyentuh tanda bahaya. Apa pun caranya. Dengan demikian kita malah memberitahukan kehadiran kita sebelumnya.” Gupita tidak segera menyahut. Sekilas dilihatnya Wrahasta yang seakan-akan terbenam ke dalam gelapnya. Hilang. Gupita tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Wrahasta termasuk salah seorang pemimpin dari pasukan pengawal Menoreh. Sebaiknya ia tidak usah pergi melakukan tugas yang berbahaya itu. Ia dapat menugaskan seseorang yang mempunyai kelebihan dan orang lain, namun tidak perlu seorang pemimpin. “Gupala,” berkata Gupita, “Wrahasta seharusnya tetap berada di dekat Samekta dan Kerti sebelum gelar ini menebar di muka padukuhan induk itu. Karena itu, biarlah orang lain saja yang melakukan tugasnya sekarang, mendahului menyergap gardu-gardu peronda. Gupala mengerutkan keningnya, “Biarlah mereka mengurusinya.” “Hus,” desis Gupita, “kita ikut bertanggung jawab atas keselamatan seluruh pasukan.” “Lalu, apakah kita akan melarangnya?” “Bukan begitu maksudku. Sebaiknya kita berdua sajalah yang pergi.” “Malas.” “He?” Gupita membelalakkan matanya. “Kenapa malas? Kalau kau malas berbuat sesuatu, tidur saja di gardu itu.” Gupala menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya gelap malam yang membayang di hadapannya. Wrahasta telah tidak tampak lagi, hilang ditelan malam, di antara bayangan-bayangan hitam yang bergerak-gerak di sepanjang jalan. “Bagaimana dengan guru?” berkata Gupala. “Kita akan minta ijin.” “Baiklah,” jawab Gupala kemudian. “Biarlah kita orang-orang buangan ini sajalah yang diumpankan kepada para peronda itu.” “Jangan mengingau.” Gupala tidak menjawab. Keduanya pun kemudian mendekati gurunya. Dengan berbisik Gupita kemudian menyatakan maksudnya, menyusul Wrahasta. Mereka berdualah yang akan menggantikan pekerjaannya mendahului pasukan ini bersama beberapa orang untuk menyergap gardu-gardu peronda. Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Kalau pimpinan pasukan pengawal tidak berkeberatan dan mempercayai kalian, aku pun tidak berkeberatan. Tetapi hati-hatilah. Tidak saja dalam tugas itu, tetapi juga caramu menyampaikan maksud itu kepada Wrahasta.” “Guru sajalah yang mengatakannya kepada Ki Samekta.” Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah.” Gembala tua itu pun kemudian bergeser beberapa langkah mendekati Samekta dan menyampaikan maksud kedua anak-anaknya. “Aku berterima kasih,” berkata Samekta, “tetapi kalian kurang mengenal daerah ini. Tugas yang dilakukan oleh kelompok ini adalah tugas yang berat, yang harus didasari atas pengenalan yang sempurna atas daerah yang akan dilaluinya. Mereka akan menyusup lewat jalan-jalan yang bukan seharusnya.” “Tetapi bukankah anak-anak itu tidak sendiri?” “Dalam keadaan yang memaksa, mungkin mereka harus menebar.” “Tetapi anak-anakku adalah gembala yang sudah terlampau sering menyusur tempat-tempat yang tersembunyi. Apalagi kedua anak-anakku tidak terikat di dalam pasukan dan apalagi pimpinan.” Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi mungkin sekali Wrahasta tidak mau menarik dirinya. Jika demikian biarlah ia pergi. Agaknya hatinya sedang dirisaukan oleh sesuatu. Karena itu sebaiknya ia tidak diganggu. Namun kedua anak-anakmu harus berusaha memperingatkannya, bahwa apabila gelar telah dibuka, ia harus sudah berada di dalam barisan.” Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun di dalam hati ia bertanya, “Bagaimana kalau Wrahasta tidak berhasil?” Tetapi gembala itu tidak mengucapkannya. “Nah, suruhlah anak-anakmu itu pergi bersama Wrahasta. Tetapi jangan berselisih di depan medan. Aku titip anak muda itu. Aku tahu, bahwa anak-anakmu jauh lebih baik dari raksasa yang sedang kecewa itu.” Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya, “Kenapa Angger Wrahasta kecewa?” “Tidak. Tidak apa-apa,” jawab Samekta dengan serta-merta. Orang tua itu pun tidak bertanya lagi. Gupala yang mendekatinya sudah mendengar sebagian terbesar dari pembicaraan itu, sehingga ketika gurunya mendekatinya ia berkata, “Jadi, kami diperkenankan menyusul pasukan itu?” “Pergilah. Tetapi hati-hatilah. Jangan membuat keributan yang dapat menghancurkan seluruh pasukan ini. Kesalahan yang kecil dari kalian mungkin akan dapat membunuh puluhan jiwa manusia. Dan kau harus mempertimbangkannya. Bukan hanya jiwamu sendiri.” Gupala mengerutkan keningnya. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh gurunya. Ketika kemudian ia berpaling kepada Gupita, maka anak muda itu pun sedang menatapnya. “Huh, Kakang Gupita menyalahkan aku pula agaknya,” desisnya di dalam hati. “Pergilah dan ingat, hati-hatilah dalam menghadapi setiap persoalan,” pesan gurunya. “Baik, Guru,” jawab keduanya hampir bersamaan. Maka keduanya pun kemudian melangkah di sisi barisan yang masih juga berjalan maju itu untuk menyusul Wrahasta. Mereka sadar, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit. Kalau mereka tidak dapat melakukannya dengan baik, sehingga satu atau dua orang dari para peronda itu sempat lolos, atau menyentuh alat-alat yang dapat memberikan tanda apa pun, maka justru yang terjadi akan sebaliknya. Kehadiran mereka akan segera diketahui oleh lawan. Beberapa saat kemudian mereka telah berhasil menemukan Wrahasta di antara kelompok yang memang sudah tersusun. Sepuluh orang dengan tiga orang petugas sandi. “Wrahasta,” berkata Gupita ketika mereka telah berhadapan, “aku mendapat pesan dari Ki Samekta, bahwa aku berdua ditugaskan untuk membantu kelompok ini.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam pusat jantung mereka. Gupala dan Gupita pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka menduga-duga bagaimanakah tanggapan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dan sejenak kemudian mereka mendengar Wrahasta bertanya, “Kenapa Paman Samekta mengirimkan kalian kemari?” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Perintah yang sebenarnya adalah menggantikan kau di dalam tugas kelompok ini, karena menurut pertimbangannya, kau sangat diperlukan di dalam saat-saat terakhir. Kau harus memegang pimpinan langsung. Sedang tugas ini dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak begitu diperlukan.” “O,” tiba-tiba Wrahasta tertawa, “jadi kau sangka bahwa orang yang berada di dalam kelompok ini harus mati? Dan kau menganggap bahwa aku pun pasti akan mati pula?” Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Bukan begitu. Tetapi kemungkinan untuk itu memang ada. Kemungkinan untuk hidup dan kemungkinan untuk mati sama besarnya.” “Aku sudah tahu. Dan aku pun tidak akan ingkar meskipun aku akan mati sekalipun. Mati untuk Tanah ini.” “Memang mati di dalam perjuangan dapat memberikan kebanggaan. Tetapi kau diperlukan.” “Kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku akan tetap berada di dalam kelompok ini. Sebentar lagi kita akan melampaui bulak ini, dan aku akan segera memisahkan diri, mendahului perjalanan kalian.” Gupita terdiam sejenak. Ia memang tidak melihat kemungkinan bahwa Wrahasta akan bersedia meninggalkan kelompok itu dan kembali kepada Samekta. Karena itu maka akan sia-sialah apabila ia berusaha memaksanya. Maka Gupita itu pun kemudian berkata, “Kami hanya dapat menyampaikan pesan itu. Selebihnya kami tidak mempunyai wewenang apa pun. Meskipun demikian, Ki Samekta telah menugaskan kami untuk berada di dalam kelompok ini.” “Aku tahu, aku tahu. Ki Samekta memang lebih percaya kepada kalian dari pada kepadaku. Soalnya bukan karena aku diperlukan di dalam gelar yang akan kita pergunakan, tetapi karena Ki Samekta menganggap bahwa kalian akan lebih berhasil di dalam tugas ini.” Gupala yang selama itu berusaha membatasi dirinya, untuk tidak berkata sepatah pun juga supaya ia tidak salah ucap, menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu, namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke dalam gelapnya malam. Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia memang harus berhati-hati. Ternyata anak muda yang bertubuh raksasa ini sangat perasa. Dan karena kedua anak-anak muda itu tidak menjawab, Wrahasta berkata selanjutnya, “Kemudian terserahlah kepada kalian. Aku tetap memimpin kelompok ini. Kalau kalian ingin ikut serta, maka kalian akan berada di bawah perintahku. Kalau tidak, kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku tetap berada di sini.” Gupala mengerutkan keningnya. Baginya sikap Wrahasta itu sudah merupakan pembangkangan. Seandainya ia menjadi pemimpin yang lebih tinggi, maka ia pasti akan mengambil tindakan. “Apakah dengan demikian aku akan disebut kurang bijaksana?” bertanya Gupala di dalam hatinya. Gupala mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Gupita berkata, “Kami berdua akan tetap berada di dalam kelompok ini. Kami memang ditugaskan demikian sambil menyampaikan pesan. Apakah pesan itu akan kau lakukan atau tidak, terserahlah kepadamu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun kernudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik. Kau berada di dalam pasukan kecil ini. Aku tahu, bahwa kalian mempunyai ilmu yang cukup baik. Dan itu akan sangat berguna bagi tugas ini. Kami harus melakukan penyergapan dengan tiba-tiba dan membinasakan para peronda.” “Ya. Kami akan tetap berada di dalam pasukan ini. Tetapi kami kira, kami tidak perlu berbuat terlampau kasar. Yang penting adalah melumpuhkan dan membungkam mereka. Bukan membinasakan.” “Persetan istilah yang kau pergunakan.” “Bukan sekedar istilah. Maksudku, mereka tidak perlu dibunuh.” “He?” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi bagaimana?” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya ia sudah terlibat dalam suatu pembicaraan tentang pelaksanaan tugas kelompok kecil itu. “Maksudku, mereka dapat diikat tanpa membunuhnya.” Wrahasta tertawa berkepanjangan, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. “O, kau adalah manusia yang paling baik di dunia. Kau telah menjunjung tinggi perikemanusiaan di atas kepalamu. Berbahagialah kau dan adikmu yang gemuk itu.” Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Bahkan orang-orang lain di dalam kelompok itu pun menjadi heran melihat tingkah laku Wrahasta. Meskipun mereka juga berkeberatan mendengar pendapat Gupita, namun mereka juga merasa aneh terhadap Wrahasta. Mereka belum pernah melihat raksasa itu berbuat demikian. “He, Gupita,” bertanya Wrahasta, “apakah kau belum pernah perang sebelum kau berada di atas Tanah Perdikan ini?” Gupita heran mendengar pertanyaan itu. Tanpa sesadarnya ia menjawab, “Sudah.” “O, apakah kau tidak pernah melihat, bahwa di dalam peperangan kadang-kadang kita harus membunuh lawan?” Gupita tidak menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Gupala. Wajah itu terasa aneh baginya. Dan bahkan Gupala itu berbisik, “Kaulah yang aneh Kakang.” Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. “Akulah pimpinan kelompok ini. Setiap orang harus tunduk kepada perintahku. Kalian harus menyergap setiap gardu perondan dan membinasakan semua isinya. Begitu tiba-tiba sehingga mereka tidak mendapat kesempatan.” Wrahasta berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita sudah sampai di ujung bulak. Bersiaplah. Kita akan segera memisahkan diri, mendahului pasukan ini dan melihat gardu di depan kita yang terdekat, sambil mengamati kemungkinan petugas-petugas sandi lawan di sepanjang jalan.” Gupala dan Gupita saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Kalau mereka tetap akan berada di dalam pasukan itu, mereka memang harus tunduk kepada perintah Wrahasta. Sementara itu orang-orang lain dalam kelompok kecil itu pun telah bersiap pula. Mereka telah sampai di ujung sebuah bulak. Sebentar lagi mereka akan memasuki sebuah pategalan. Di seberang pategalan yang tidak begitu luas itu terdapat sebuah padesan kecil. “Di pategalan itu terdapat gardu pengawasan,” berkata Wrahasta, “karena itu pasukan ini harus berhenti sejenak. Kita akan melihat apakah yang ada di dalamnya.” Wrahasta kemudian memerintahkan pasukan itu berhenti sambil mengirimkan seorang penghubung kepada Samekta, memberitahukan bahwa ia telah melepaskan diri mendahului seluruh pasukan. Gupala dan Gupita akhirnya turut juga bersama pasukan kecil itu. Mereka mengharap bahwa mereka berdua dapat membantu anak muda yang bertubuh raksasa itu apabila diperlukan. Kelompok itu kemudian berjalan dengan hati-hati menuju ke ujung pategalan. Menurut pengenalan mereka, di pategalan itu terdapat sebuah gardu kecil. Tetapi biasanya orang-orang Ki Tambak Wedi tidak mempergunakannya. Mereka berada di dalam gardu yang lebih besar, di seberang pategalan itu. Diantarai oleh beberapa kotak sawah yang sempit, di mulut sebuah padesan kecil. Meskipun demikian, mereka memerlukan melihat gardu kecil itu, apabila secara kebetulan ditunggui oleh dua atau tiga orang setelah pasukan Ki Tambak Wedi menderita kekalahan. Pasukan kecil itu berhenti beberapa langkah dari gardu itu, di balik gerumbul-gerumbul dan semak-semak pategalan. Seorang petugas sandi dengan sangat hati-hati merayap maju. Namun ternyata gardu kecil itu memang kosong. Agaknya Ki Tambak Wedi atau orang-orangnya, memang tidak memperhitungkan bahwa pasukan Menoreh akan menyusul mereka. Sebab menurut Ki Tambak Wedi, luka Ki Argapati menjadi agak parah. Tanpa Ki Argapati, pasukan Menoreh tidak akan mampu berbuat banyak. “Tetapi di gardu di depan pasti ada beberapa orang petugas,” desis Wrahasta. “Pasti,” jawab salah seorang petugas sandi. “Mari kita lihat.” Kemudian katanya kepada salah seorang petugas sandi itu pula., “Suruh pasukan Ki Samekta maju perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak boleh keluar dari pategalan ini, supaya tidak dapat dilihat oleh seseorang yang seandainya kebetulan berada di sawah di depan pategalan ini.” Petugas itu pun kemudian meninggalkan Wrahasta kembali ke induk pasukan, sementara kelompok kecil itu merayap semakin maju. Mereka tidak berjalan di atas jalan yang membelah beberapa kotak sawah di antara pategalan dan padesan di depan. Tetapi mereka turun ke dalam parit dan sambil membungkuk-bungkuk menyusur maju mendekati padesan. Di belakang tanggul mereka kemudian berhenti, untuk mengawasi keadaan. Mereka sudah melihat lamat-lamat beberapa berkas sinar lampu yang menerobos dari dinding-dinding rumah menyentuh dedaunan. Dan tiba-tiba saja Wrahasta menggeram, “Persetan dengan penduduk padesan itu. Mereka pun merupakan bahaya bagi pasukan ini. Dan mereka pun memang termasuk orang-orang yang sama sekali tidak kita perlukan lagi.” “Kenapa?” tanpa sesadarnya Gupita bertanya. “Mereka sama sekali tidak mempedulikan perjuangan kami. Selagi kami berprihatin di dalam sarang-sarang tikus, mereka tetap saja tinggal dengan nyamannya di rumah masing-masing dikawal oleh pasukan Sidanti. Sungguh menyakitkan hati.” Wrahasta berhenti sejenak, kemudian, “Apakah tidak sepatasnya kalau mereka dibinasakan pula?” “Berlebih-lebihan,” sahut Gupita. “Sebenarnya mereka pun telah membantu kita. Bukankah di antara mereka telah menyerahkan bahan-bahan makanan dan barang-barang lain yang kita perlukan?” “Hanya satu dua orang saja. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah pengkhianat-pengkhianat.” “Jangan dinilai begitu. Kehadiran mereka telah memberikan perlindungan kepada orang-orang yang bersedia membantu kita. Mereka merupakan tabir yang dapat dipergunakan oleh mereka yang membantu kita sebagai tempat persembunyian. Dengan mereka, maka orang-orang yang membantu kita tidak akan segera dikenal. Tetapi tanpa mereka, maka tidak ada seorang pun yang berani memberikan apa saja yang kita perlukan.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun kemudian diperintahkannya seseorang untuk mengintai gardu di ujung lorong. Seorang petugas sandi pun kemudian merangkak dengan hati-hati mendekati padesan itu. Kemudian menyusur dinding batu yang ditumbuhi lumut, mendekati gardu di mulut desa, langsung merupakan regol masuk. Ternyata mereka pun kurang berwaspada karena mereka sama sekali tidak akan menduga, bahwa pasukan lawan telah merayap semakin dekat. Meskipun mereka masih juga bangun, namun mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka. Mereka saling berbicara dan berkelakar. Tetapi, petugas sandi itu masih melihat, seorang dari mereka berjalan hilir-mudik di muka regol. Sejenak ia mencoba melihat keadaan. Dari mana kelompok kecil itu harus mendekat. Dari mana mereka akan menyergap dan bagaimana mereka dapat segera membungkam para petugas itu. Meskipun petugas sandi itu tidak dapat melihat orang-orang yang berada di dalam gardu, namun ia dapat menduga, bahwa orang-orang itu tidak lebih dari enam atau tujuh orang. Setelah ia menemukan kesimpulan, maka segera ia pun kembali ke kelompok kecil itu dan dengan beberapa petunjuk, dibawanya kelompoknya maju mendekat dengan hati-hati sekali. Kelompok itu akhirnya berhasil berada beberapa langkah saja di samping regol yang sekaligus merupakan gardu penjaga. Pintunya masih terbuka lebar, dan seorang dari mereka masih juga berjalan hilir-mudik dengan senjata telanjang di tangan. Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tampak sedang memikirkan cara yang paling baik berdasarkan pengamatan petugas sandi itu. Lamat-lamat mereka masih mendengar orang-orang di dalam regol itu bergurau. Seseorang di antara mereka telah mengumpat-umpat di sela-sela suara tertawanya. “Mereka harus dibungkam untuk selama-lamanya,” geram Wrahasta yang berjongkok melekat dinding batu. “He, kemarilah,” desis Wrahasta memanggil Gupala. Gupala memandang wajah Gupita sejenak. Ketika ia melihat Gupita menganggukkan kepalanya, maka ia pun merayap mendekat. “Tugasmu adalah menyergap orang yang berjalan hilir-mudik itu. Kami akan segera menyerbu ke dalam regol. Sebagian akan masuk meloncat dinding batu ini dan menyerang dari dalam, supaya tidak seorang pun sempat melarikan diri.” Sekali lagi Gupala memandangi wajah Gupita, dan sekali lagi Gupita menganggukkan kepalanya. “Baiklah,” jawab Gupala kemudian. “Nah kau,” berkata Wrahasta kepada Gupita, “bersama lima orang, kalian meloncat dinding ini, dan menyergap dari dalam.” “Ya,” jawab Gupita. “Aku akan berada di luar bersama Gupala. Aku akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut, kalian harus siap. Kemudian kalian akan mendengar aba-abaku untuk menyergap serentak.” Gupita menganggukkan kepalanya. “Cepatlah, bersama lima orang.” Gupita tidak menjawab lagi. Tetapi ia berdesis, “Ayo, siapakah di antara kalian yang akan mengikuti aku meloncati dinding batu ini?” Beberapa orang kemudian bergerak serentak, bergeser mendekatinya. Tetapi justru hampir semuanya. “Yang lain tinggal di sini,” perintah Wrahasta. Akhirnya Gupita mendapatkan kawan-kawannya. Dengan hati-hati mereka satu demi satu meloncati pagar batu yang cukup tinggi. Tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda yang berkemauan dan bertekad baja. Meskipun mereka mengalami sedikit kesulitan, bahkan ada di antaranya yang bagian dadanya terluka dan berdarah, namun mereka berhasil memasuki padukuhan itu. “Sakit?” bertanya Gupita kepada kawannya yang terluka di dadanya. “Ah tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit ketika kakiku terlepas dari injakan.” Gupita mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kita harus mendekat, supaya kita tidak terlambat.” Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan mereka pun kemudian mengikuti Gupita yang merangkak maju mendekati regol. Semakin dekat, suara mereka menjadi semakin jelas. Agaknya mereka mencoba mengusir kantuk mereka dengan berbicara, berbantah dan bergurau. Bahkan di bagian dalam regol itu, tampak sebuah perapian dan sebuah belanga di atasnya. Agaknya mereka merebus makanan atau menanak nasi untuk makan mereka di malam nanti, supaya mereka tidak kehabisan tenaga dan tertidur. Gupita yang merangkak semakin dekat, menjadi semakin berhati-hati karenanya. Kini ia tidak dapat memberi aba-aba lagi, sehingga karena itu ia hanya dapat memberikan tanda-tanda dengan tangannya. Di luar dinding batu, Wrahasta pun berbuat serupa. Ia merangkak semakin dekat diikuti oleh para pengawal. Sedang Gupala merayap mendahului mereka. Dengan hati-hati ia berusaha untuk mencapai jarak sedekat-dekatnya, supaya apabila Wrahasta memberikan perintah, ia langsung dapat menyergap orang itu tanpa memerlukan waktu terlampau panjang. Sejenak kemudian terdengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut. Tetapi ternyata suara cengkerik itu agak terlampau keras sehingga menumbuhkan kecurigaan pada penjaga yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol sehingga langkahnya terhenti. Dengan dahi yang berkerut-merut dipandanginya arah suara cengkerik yang aneh terdengar di telinganya itu. Wrahasta pun melihat sikap pengawal yang mendebarkan jantung itu. Apalagi ketika pengawal itu justru beberapa langkah mendekat. Gupala benar-benar berusaha menahan nafasnya. Penjaga itu hanya beberapa langkah saja berdiri di depannya dengan termangu-mangu. Sedang kawan-kawannya yang berada di dalam regol masih saja berkelakar dan berbantah tanpa ujung dan pangkal. Dalam ketegangan itulah tiba-tiba Wrahasta berdesis, “Sekarang, Gupala.” Orang yang berdiri termangu-mangu itu mendengar juga desis Wrahasta. Tetapi ia tidak sempat berpikir tentang suara itu. Ia tidak menyangka, bahwa justru dari muka hidungnya, seseorang meloncat menerkam lehernya. Penjaga itu memang tidak sempat berteriak. Tetapi sebuah dengus perlahan telah terdengar dari dalam regol, disusul oleh hentakan-hentakan kaki. Hanya sebentar, kemudian terdiam. Wrahasta menjadi tegang melihat sergapan yang hanya beberapa kejapan mata itu. Betapa pun juga ia terpaksa mengakui, bahwa Gupala memang seorang yang mempunyai kekuatan luar biasa. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Ternyata beberapa orang di dalam regol itu telah mendengar sesuatu. Suara mereka yang riuh tiba-tiba terputus dan dengan tergesa-gesa beberapa orang berloncatan sambil menggenggam senjata masing-masing. “Hampir terlambat,” desis Gupala di dalam hatinya. Tetapi ia masih menunggu perintah Wrahasta. Dan perintah itu pun menyusul beberapa saat kemudian. Wrahasta pun kemudian memberikan aba-aba untuk menyergap orang-orang yang sedang keluar dari dalam regol itu. Orang-orang itu pun terkejut bukan kepalang. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Tiba-tiba saja mereka telah diserang dari dalam dan dari luar regol bersama-sama. Apalagi di antara para penyerang itu terdapat Gupala dan Gupita. Wrahasta memang tidak memerlukan waktu terlampau banyak. Orang-orangnya segera menguasai keadaan. Orang-orang yang sesaat yang lalu masih berkelakar, kini terbaring diam tanpa bergerak sama sekali. Gupita melihat mayat-mayat yang terbujur lintang di tanah itu dengan hati yang berdebar-debar. Semua orang yang berada di dalam regol itu memang telah terbunuh mati. Agaknya Wrahasta dan orang-orangnya sama sekali tidak bermaksud untuk membiarkan mereka hidup. Ketika Gupita memandang adik seperguruannya, tampaklah anak yang gemuk itu tersenyum lucu kepadanya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang dipukulnya sehingga pingsan itu pun ternyata telah mati pula. Ia tidak tahu siapakah yang telah menusuk dadanya dengan sebilah pedang. Gupita mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara Wrahasta datar, “Terima kasih. Kalian telah melakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Kini kita akan maju lagi. Di ujung lorong ini, di mulut padukuhan, pasti ada juga beberapa orang penjaga. Mereka pun harus kita binasakan pula.” Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak kuasa untuk mencegahnya. Meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginannya, namun ia harus membiarkannya terjadi. Bahkan adik seperguruannya itu pun telah melakukannya dengan senang hati. Sementara itu seorang penghubung telah dikirimnya pula untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Kemudian bersama yang seorang lagi, yang telah dikirimnya lebih dahulu, harus menggabungkan dirinya di gardu di mulut lorong yang lain. Demikianlah mereka pun kemudian merayap maju. Di dalam gelapnya bayangan pepohonan yang rapat di jalan padukuhan, mereka mendekati gardu penjagaan di ujung lorong itu. Seorang petugas sandi yang berjalan di paling depan tiba-tiba terhenti. Beberapa langkah ia mundur mendekati Wrahasta. Kemudian dengan isyarat diberitahukannya bahwa di hadapan mereka ada seseorang yang berjalan ke arah mereka. Wrahasta pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk berhenti dan melekat dinding batu di sebelah-menyebelah jalan. Meskipun ada kemungkinan bahwa orang yang berjalan itu dapat melihat mereka, namun orang itu tidak boleh mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Agaknya orang itu memang tidak bercuriga apa pun. Ia berjalan saja sambil berlenggang. Namun tiba-tiba ia membelalakkan matanya ketika seseorang tanpa diketahui dari mana datangnya meloncat dan menerkamnya. Ia menyadari keadaannya ketika sudah terlambat. Sepasang tangan bagaikan jari-jari besi telah mencekik lehernya. Sejenak kemudian gelap malam pun menjadi semakin kelam, dan nafasnya pun putus karenanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam sambil mengibaskan tangannya. Demikian tangannya terlepas, orang itu pun kemudian terjatuh seperti sebatang kayu. “Lemparkan ke balik pagar batu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya. Gupita yang melihat mayat itu menahan gejolak di dalam dadanya. Orang itu adalah seorang tua yang sudah tidak bertenaga dan sama sekali tidak bersenjata. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Ini adalah salah satu wajah peperangan. Orang ini sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi atas dirinya. Dan kematiannya pun sama sekali tidak berarti apa-apa.” Namun yang lebih pahit lagi baginya adalah, bahwa Wrahasta sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas peristiwa itu. Dengan jantung yang berdenyut semakin cepat, Gupita menyaksikan mayat itu diangkat dan dilemparkan begitu saja ke balik pagar batu di pinggir jalan. “Kita melanjutkan perjalanan ini. Hati-hati. Mungkin kita akan bertemu dengan seseorang lagi,” berkata Wrahasta kemudian. Tanpa dapat menahan diri lagi Gupita menyahut, “Tetapi orang-orang semacam ini sama sekali tidak berbahaya.” Wrahasta memandang wajah Gupita dengan tajamnya. Kemudian jawabnya, “Kau sangka orang-orang semacam ini tidak mempunyai mulut?” “Aku menyadari. Tetapi orang setua itu tidak akan banyak dapat berbuat. Apakah tidak ada jalan lain daripada membunuhnya?” “Ah, kau.” geram Wrahasta. “Aku tidak sempat berpikir di dalam keadaan serupa ini. Kalau setiap prajurit dan pengawal berbuat seperti kau, maka peperangan yang mana pun tidak akan dapat diselesaikan.” Gupita tidak menjawab lagi. Sementara itu Gupala mendekatinya sambil berbisik, “Memang kau benar-benar aneh, Kakang.” Gupita menggigit bibirnya. Namun ia tidak dapat ingkar dari dera perasaannya. Meskipun demikian ia tidak menjawab lagi. “Cepat, kita maju ke gardu di depan. Tanpa keragu-raguan dan pertimbangan-pertimbangan yang cengeng,” perintah Wrahasta selanjutnya. Maka pasukan kecil itu pun kemudian maju lagi. Lebih cepat dari semula. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu di mulut lorong. “Lihat, apakah yang ada di dalam gardu itu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya. Orang itu pun kemudian mendekati gardu dengan sangat hati-hati. Di dalam gardu itu ada beberapa orang, tetapi berbeda dengan gardu yang pertama. Orang-orang di dalam gardu itu lebih tidak berhati-hati. Mereka menganggap bahwa penjagaan di gardu pertama cukup kuat, dan mereka sama sekali tidak bermimpi bahwa beberapa orang telah berhasil mendekat, meskipun sebagian dari mereka benar-benar telah tertidur. “Tidak lebih dari lima orang,” berkata orang itu kepada Wrahasta. “Apalagi sebagian dari mereka telah tertidur.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Cepat. Mereka harus kita selesaikan pula.” Kelompok kecil itu pun semakin mendekat. Dan tiba-tiba saja Wrahasta membawa anak-anak muda di dalam kelompok itu dengan serta-merta menyergap. Tidak seorang pun yang sempat turun dari gardunya. Bahkan yang sedang tertidur pun tidak sempat bangun untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas panjang. Pedangnya yang basah oleh darah disarungkannya. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Kita menunggu mereka yang sedang menghubungi induk pasukan. Kemudian kita akan semakin dekat dengan padukuhan induk.” Kelompok kecil itu pun sejenak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka sama sekali tidak menaruh perhatian atas mayat-mayat yang masih terbaring di dalam gardu. Sesaat kemudian maka para petugas yang menghubungi induk pasukan telah menggabungkan diri kembali. Dengan demikian maka kelompok kecil itu segera meneruskan tugas mereka mendahului untuk merambas jalan. “Pasukan induk telah maju,” lapor petugas itu. Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus,” katanya, “semakin cepat kita mulai akan menjadi semakin baik. Tetapi setiap kali pasukan induk itu harus menunggu isyarat kita.” “Ya.” Wrahasta kemudian terdiam sejenak. Mereka akan segera melalui sebuah padesan lagi. Wrahasta tahu benar, bahwa di padesan itu pasti terdapat tidak hanya dua buah gardu perondan, karena desa itu agak lebih besar. “Ada tiga jalan memasuki desa itu,” berkata salah seorang petugas sandi. “Ketiganya pasti diisi oleh pengawal-pengawal yang lebih baik dari pengawal di gardu kedua. Setidak-tidaknya mereka adalah pengawal-pengawal setingkat dengan pengawal-pengawal di gardu pertama, sehingga kita tidak akan dapat mengharapkan mereka tertidur nyenyak.” “Sebenarnya mereka tidak berbeda. Tetapi para peronda di gardu kedua agak kurang berhati-hati. Itulah kesalahannya. Bukan karena kemampuan mereka lebih rendah dari gardu pertama. Demikian juga agaknya orang-orang di gardu depan nanti.” Petugas itu berhenti sejenak. “Tetapi kita dapat mengharap bahwa mereka pun lengah.” Kelompok kecil itu merayap semakin dekat. Seperti yang sudah mereka lakukan, maka petugas sandilah yang lebih dahulu mendekati mulut lorong. Orang itu sudah cukup banyak mengenal daerah ini dan bahkan di sekitarnya. Sebagai anak Menoreh, ia sudah terlalu sering bermain-main di tempat ini. “Memang mereka tidak sedang tidur,” bisik petugas sandi itu kepada Wrahasta, “tetapi mereka tidak lebih dari lima orang.” Wrahasta menganggukkan kepalanya. Dengan isyarat dibawanya pasukannya mendekat. Kemudian seperti seekor kucing menerkam tikus mereka menyergap orang-orang di dalam gardu itu. Ternyata perhitungan Wrahasta tepat. Orang-orang ini lebih sigap dari orang-orang yang berada di gardu-gardu yang terdahulu. Tetapi karena jumlah mereka tidak lebih dari lima orang, maka mereka tidak berhasil menghindarkan diri dari terkaman maut. Apalagi sergapan itu datang begitu tiba-tiba tanpa mereka duga-duga lebih dahulu. Tanpa melepaskan korban, kelompok itu telah berhasil membinasakan tiga kelompok peronda. Dan kini mereka merayap maju lagi. Seperti seekor harimau yang sedang mengintai sarang kelinci. Berapa kali saja harimau itu menangkap kelinci, namun harimau itu tidak akan menjadi kenyang sama sekali. Ternyata di desa itu terdapat tiga gardu peronda. Dan isi dari ketiga gardu itu pun mengalami nasib serupa, meskipun di gardu ketiga, salah seorang anggota kelompok yang dipimpin oleh Wrahasta itu terluka di pundaknya. “Jalan telah terbuka,” geram Wrahasta. “Kita tinggal melintasi bulak panjang dan sebuah desa. Kemudian sebuah bulak pendek yang tidak berarti. Di bulak pendek itulah kita akan menyusun gelar.” “Terlampau dekat,” tiba-tiba salah seorang pengawal menyahut. Wrahasta menggeleng, “Tidak. Tidak terlampau dekat.” “Selama kita menyusun gelar di bulak pendek itu, ada kemungkinan, bahwa kedatangan kita diketahui oleh pengawas.” “Tetapi kita akan segera siap untuk menyerang mereka.” “Bukankah lebih baik, apabila dengan tiba-tiba saja kita menyergap seperti gardu-gardu perondan ini?” Wrahasta menggelengkan kepalanya. Sambil menengadahkan dadanya ia berkata, “Kita mempunyai banyak kelebihan dari lawan.” Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Agaknya kemenangan-kemenangan kecil di sepanjang jalan ini membuat Wrahasta terlampau berbangga. Karena itu, ia menjadi cemas pula. Gupala yang tidak pernah membuat terlampau banyak pertimbangan itu pun merasakan, bahwa Wrahasta merasa dirinya terlampau cakap untuk memimpin pasukan. Namun Gupala tidak mencoba berbuat apa pun. Kalau terjadi perselisihan di antara mereka, maka keadaan pasti akan menjadi kalut. Dan gurunya hanya dapat menyalahkannya. “Marilah kita lintasi bulak ini dengan mengangkat kepala. Kita telah membinasakan lima kelompok peronda, dalam waktu yang singkat,” berkata Wrahasta kemudian. Raksasa itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia melangkah menyusur jalan yang terbentang di tengah-tengah tanah persawahan yang luas. Gupita yang melihat tingkah laku Wrahasta merasa wajib untuk mempringatkannya demi keselamatan seluruh pasukan, tidak hanya sekedar kelompok kecil ini. Maka dengan hati-hati ia berkata, “Kita harus tetap memperhitungkan kemungkinan pengawasan di tengah-tengah bulak ini.” Wrahasta berpaling. Jawabnya, “Aku sudah tahu. Aku mempunyai pengalaman yang cukup. Aku kira jauh lebih banyak dari seorang gembala, karena aku adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan.” Jawaban itu sama sekali tidak disangka-sangka. Karena itu, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Gupita dan apalagi Gupala. Namun keduanya tidak menyahut. Mereka berjalan saja di belakang Wrahasta. Gupita menjadi berprihatin karenanya. Namun Gupala menjadi acuh tidak acuh. Suara Wrahasta dianggapnya seperti desau angin malam yang lewat menyentuh telinganya. “Kalau aku mendengarkannya, maka aku berniat untuk menjawabnya,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Dan mulut ini rasa-rasanya sudah terlampau gatal. Karena itu, lebih baik aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.” Dan kelompok itu pun merayap maju terus di antara tanah persawahan. Semakin lama semakin jauh ke tengah bulak yang panjang. Mereka dengan penuh tekad menyerahkan segenap hidup mereka kepada kewajiban yang sedang mereka lakukan. Namun dengan demikian, bukan berarti bahwa mereka sedang membunuh diri. Namun agaknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti memang tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Meskipun mereka tidak menjadi lengah, dan menempatkan para peronda di tempatnya, tetapi agaknya orang-orang yang bertugas itu tidak mendapat peringatan keras, bahwa kemungkinan itu akan dapat terjadi. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Ki Argapati pasti masih belum dapat bangkit dari pembaringannya. Meskipun Ki Tambak Wedi sudah mengambil keputusan untuk secepatnya menggempur benteng pring ori itu dan menjadikannya karang abang, namun ternyata para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh berbuat lebih cepat lagi. Mendahului hari yang telah ditentukan oleh Ki Tambak Wedi. Samekta, pemimpin tertinggi yang kali ini diserahi pasukan di samping Ki Argapati sendiri yang sedang terluka itu, tidak dapat membayangkan, apalagi memperhitungkan dengan tepat, berapakah kekuatan lawan. Sebagai gambaran dipergunakannya kekuatan Ki Tambak Wedi yang dibawa langsung menyerang pemusatan pasukannya yang terakhir. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi belum dapat menghimpun orang Menoreh yang masih bertebaran di padukuhan-padukuhan kecil. Dengan janji-janji yang membubung setinggi awan, mereka yang ragu-ragu akan menjadi mudah terpikat. Apalagi ternyata selama ini Ki Gede Menoreh hanya bersembunyi saja di balik pagar pring ori itu,” berkata Samekta di dalam haitinya. “Jika demikian, maka jumlah pasukan Ki Tambak Wedi akan segera bertambah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang terlatih baik, namun pada umumnya setiap laki-laki di Menoreh, mampu menggenggam senjata.” Samekta mengerutkan keningnya. Apa yang dilihatnya di sepanjang jalan adalah permulaan yang baik bagi pasukannya. Kelompok yang dikirimkannya mendahului induk pasukan ternyata telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. “Meskipun jumlah pasukan Ki Tambak Wedi menjadi berlipat, namun sergapan yang tiba-tiba akan membuat mereka bingung,” desis Samekta. “Mudah-mudahan kita akan segera berhasil.” Sekilas dipandanginya gembala tua yang berjalan beberapa langkah di sampingnya. Sekali-kali tumbuh keragu-raguan di dalam hatinya. “Apakah orang ini benar-benar dapat dipercaya untuk, melawan Ki Tambak Wedi?” Sementara itu induk pasukan Menoreh itu pun maju terus melintasi jalan berdebu. Langit yang kehitam-hitaman ditaburi oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Namun tiba-tiba terasa betapa Tanah Perdikan ini telah benar-benar terbakar dalam suatu pertentangan di antara keluarga sendiri. Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Wrahasta tersenyum sambil menengadahkan kepalanya. Dengan garangnya ia berkata, “Para peronda di desa itu pun akan segera binasa.” “Hati-hatilah,” desis Gupita dengan serta-merta. “Aku sudah cukup mengerti,” bentak Wrahasta, “kau tidak perlu setiap kali menggurui aku.” “Tetapi kita sudah terlampau dekat dengan padesan di depan kita. Para peronda di dalam gardu itu akan melihat bayangan kita di hadapan layar kebiruan langit yang terang,” sahut Gupita. “Persetan,” jawab Wrahasta, “kalau kau menjadi ketakutan, kembalilah.” Gupita adalah seseorang yang selama ini selalu berusaha menahan dirinya. Demikian juga pada saat itu. Betapa dadanya menjadi bergetar, namun ia tidak menanggapinya dengan perasaan. “Kita akan langsung menyergap gardu di mulut lorong itu,” geram Wrahasta. Gupita menahan geletar jantungnya. Namun agaknya sikap Wrahasta itu telah menumbuhkan keheranan, tidak saja pada Gupita dan Gupala, namun akhirnya para pengawal Menoreh sendiri pun menjadi heran. Seorang petugas sandi yang berada di dalam kelompok kecil itu segera berkata, “Tetapi dengan demikian kita telah kehilangan kewaspadaan. Sebaiknya kita melakukannya dengan hati-hati seperti yang baru saja terjadi. Bukankah kita berhasil dengan baik? Cara itu ternyata adalah cara yang sebaik-baiknya.” “Kita bukan pengecut,” jawab Wrahasta, “pengecut yang hanya berani menyergap lawan tanpa beradu dada.” “Bukan. Bukan sikap pengecut,” jawab petugas sandi itu. “Tetapi kita memang seharusnya berhati-hati di peperangan.” “Aku akan maju terus lewat jalan ini. Kemudian kita akan bertempur dengan orang-orang yang ada di dalam gardu itu. Kita baru akan dapat dikatakan berhasil dengan baik apabila dengan beradu dada kita dapat membinasakan mereka.” Gupita mengerutkan keningnya. Dan ia melihat Wrahasta menengadahkan kepalanya sambil berdesis, “Lihatlah bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Mereka akan menjadi saksi, bahwa malam ini seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Wrahasta telah berhasil menunaikan tugasnya dengan sempurna. Tugas seorang lelaki jantan. Bukan seorang pegecut. Dengan demikian apabila kita berhasil maka kita baru dapat disebut sebenarnya pahlawan.” Wrahasta berhenti sejenak. Namun tiba-tiba semua orang menahan nafasnya ketika Wrahasta itu seolah-olah berbicara kepada bintang-bintang di langit, “He, bintang gemintang. Apabila kita tidak bertemu lagi besok malam, maka kalian akan mengenangkan jasaku atas tanah perdikan ini. Kalian akan melihat bahwa aku bukan pengecut. Bukan orang yang sama sekali tidak berharga seperti yang kalian sangka selama ini.” Orang-orang yang berada di dalam kelompok itu saling berpandangan sejenak. Tetapi tidak seorang pun yang berbicara. Sementara itu Wrahasta sambil tertawa kecil berkata kepada mereka, “Nah, kita akan menyergap dari depan. Ingat. Kita adalah laki-laki.” Gupala yang terheran-heran pula mendekati Gupita sambil berbisik, “He, apakah Wrahasta menjadi gila?” “Hus,” desis Gupita. “Tetapi cara ini memang sangat berbahaya.” “Tetapi menyenangkan,” desis Gupala. “Aku sependapat.” “Ah, kau pun telah menjadi gila pula.” Gupita menjadi jengkel melihat Gupala malahan tersenyum. Dipandanginya wajah Gupita yang berkerut merut. Namun Gupala tidak berkata sesuatu. Tetapi Gupita pun menyadari, bahwa ada perbedaan tanggapan atas sikap Wrahasta dan Gupala, meskipun keduanya ingin mempergunakan cara yang sama. Wrahasta yang dimabukkan oleh kemenangan-kemenangan kecil itu merasa dirinya menjadi terlampau cakap untuk melakukan tugasnya. Sedang Gupala hanya sekedar terdorong oleh jiwanya yang kadang-kadang menggeletak tanpa dapat dikendalikan. Ia memang selalu ingin mengalami sesuatu yang dahsyat. Gupala sama sekali tidak puas melakukan penyergapan atas orang-orang yang sedang tidur atau setengah tidur. Mengejutkan mereka, dan sebelum mereka berbuat sesuatu, orang-orang di dalam pasukannya telah berebutan menghunjamkan pedangnya. “Apakah menariknya perkelahian serupa itu?” katanya di dalam hati. Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat mencegah kelompok ini berjalan terus semakin mendekati mulut padesan di depan mereka. “Wrahasta,” berkata Gupita kemudian, “bukan berarti bahwa kita takut menghadapi mereka beradu dada, tetapi apabila tiba-tiba mereka membunyikan tanda bahaya, maka seluruh tugas kita akan gagal.” Wrahasta mengerutkan keningnya. “Yang pengecut sama sekali bukan kita. Tetapi kalau orang-orang di dalam gardu itulah yang pengecut, akibatnya kitalah yang akan mengalaminya. Pimpinan tertinggi pasukan Menoreh akan menganggap bahwa kita tidak mampu melakukan tugas kita.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia menggeram, “Itulah susahnya kalau kita tidak yakin bahwa kita akan berhadapan dengan laki-laki jantan.” “Dan pengecut yang demikian akan lari sebelum kita bertemu pandang. Sebagian dari mereka akan segera memukul tanda-tanda bahaya sebelum melihat jumlah lawan yang mereka hadapi.” “Bagus,” jawab Wrahasta yang dengan demikan dapat mendengar keterangan Gupita, “sebagian dari kalian harus berlindung. Kalian akan berjalan di sepanjang parit, dan yang sebagian akan menyusup di antara batang-batang jagung. Aku akan berjalan di atas jalan ini seorang diri.” “Kenapa?” bertanya Gupita. “Aku akan datang dari depan. Dan aku kira mereka tidak akan segera memukul tanda-tanda apabila mereka hanya melihat aku seorang diri.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi itu akan jauh lebih baik dari rencana Wrahasta semula. Demikianlah ketika mereka telah menjadi semakin dekat maka Wrahasta segera memerintahkan pasukannya untuk memecah. Katanya kemudian, “Aku akan mulai dengan perkelahian. Kalian harus segera menyergap dari arah masing-masing. Jangan diberi kesempatan sama sekali untuk memberikan tanda apa pun. Kentongan atau panah api atau panah sendaren.” Para pengawal di dalam kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun para petugas sandi saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Meskipun demikian salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah tidak sebaiknya aku melihat lebih dahulu, apa saja yang terdapat di dalam gardu?” “Tidak perlu. Seandainya ada sepuluh atau lima belas orang, apakah kalian takut?” “Bukan takut.” “Nah, kalau begitu, kita akan melakukannya dengan caraku. Seandainya di dalam gardu itu ada sepuluh orang, kita masih mempunyai beberapa kelebihan. Bukanah kita semuanya lebih dari sepuluh orang. Seandainya jumlah mereka lebih banyak, bukankah kalian juga tidak akan takut seandainya satu-dua di antara kalian harus melawan lebih dari seorang?” Jawaban Wrahasta itu sama sekali bukan yang dimaksud oleh petugas sandi itu. Karena itu ia mencoba menjelaskan, “Bukan soal takut atau berani. Tetapi setiap kali kita akan kembali kepada persoalan tanda-tanda seperti yang dikatakan Gupita tadi. Kalau satu saja di antara mereka sempat membunyikan tanda-tanda itu, maka gagallah seluruh tugas kita.” “Itu akan tergantung kepada kemampuan kita,” sahut Wrahasta. “Seandainya ada di antara mereka yang sempat membunyikan atau memberikan tanda apa pun juga, itu berarti kalau kita memang tidak mampu. Dan jika demikian jangan mengharap, bahwa kalian akan disebut pahlawan.” Petugas itu sama sekali tidak puas dengan jawaban Wrahasta, seperti juga Gupita. Tetapi Wrahasta tiba-tiba sudah menjadi seorang yang keras kepala. Agaknya ia ingin benar-benar menjadi seorang pahlawan. Ia ingin menutup kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi pada dirinya. Ia harus dapat merebut perhatian Pandan Wangi, bahwa ia adalah seorang pahlawan. Bukan seorang yang sama sekali tidak berdaya melawan anak muda yang gemuk itu. Karena itu, maka tidak ada yang lebih baik dilakukan oleh para pengawal itu selain mematuhi perintah Wrahasta. Sebagian segera turun ke parit di sebelah jalan itu, parit yang mengairi tanah persawahan. Sambil terbungkuk-bungkuk mereka berjalan maju, di balik batang-batang ilalang dan pagar jarak yang tumbuh di pinggir parit. Sedang yang lain segera menyusup di antara batang-batang jagung di seberang jalan. Sedang Wrahasta, seperti yang direncanakannya sendiri, berjalan dengan dada tengadah di sepanjang jalan menuju ke mulut desa di depan. Anak muda yang bertubuh raksasa itu berjalan dengan tegapnya. Sekali-kali ditatapnya langit yang digayuti oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Dipandanginya bauran bintang di langit itu dengan seksama, seolah-olah tidak akan pernah berjumpa lagi untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia mendengar gemerisik di sebelah-menyebelah jalan. Ia sadar, bahwa ia sedang berjalan menuju ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia sudah siap, dan dengan dada terbuka akan menghadapinya. Sementara itu, di gardu di regol desa, beberapa orang penjaga sedang bercakap-cakap. Untuk mengisi waktu, mereka bercakap-cakap hilir-mudik tidak berketentuan. Dua orang di antara mereka berada di dalam regol sambil duduk di muka perapian memanasi tubuh mereka. Dingin malam menjadi semakin terasa menggigit tulang. Namun di antara mereka itu terdapat seorang yang selalu siap di depan regol, menyandang pedangnya yang telah telanjang. Ia berjalan setapak-setapak menghilangkan kejemuan dan udara dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Meskipun demikian setiap kali ia menyapu keremangan malam di depannya dengan tatapan matanya yang tajam. Tiba-tiba dadanya berdesir. Beberapa langkah di hadapannya sesosok bayangan berjalan mendekatinya. Seakan-akan begitu saja muncul dari dalam gelap. Orang itu menggosok matanya, seolah-olah ia belum percaya kepada penglihatannya. Namun bayangan itu semakin lama menjadi semakin jelas berjalan mendekatinya. Ketika bayangan itu tinggal beberapa langkah saja dari padanya, penjaga itu merundukkan pedangnya sambil bertanya, “Siapa kau, he?” Tidak segera terdengar jawaban. “Berhenti di situ!” penjaga itu mulai curiga. “Siapa kau?” Masih belum terdengar jawaban, sedang bayangan itu masih melangkah maju. Orang-orang yang berada di dalam gardu mendengar sapa itu, sehingga beberapa orang meloncat turun sambil bertanya, “Kau berbicara dengan siapa?” Penjaga itu tidak menjawab, namun orang-orang yang turun dari gardu itu pun segera melihat, bahwa seseorang melangkah mendekati gardu mereka. Karena itu, maka serentak mereka maju. Tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang di lambung masing-masing. “Siapa kau?” pertanyaan itu terdengar kembali membelah sepinya malam. Kini bayangan itu berhenti. Bayangan seorang anak muda yang bertubuh raksasa. “Berapa orang kalian?” bertanya Wrahasta yang kini berdiri sambil bersilang tangan di dada. “Siapa kau? Jawab pertanyaanku!” bentak penjaga itu. Kini orang itulah yang melangkah setapak maju. Ketika jarak kedua orang itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba penjaga itu berdesis, “Kau Wrahasta?” Mendengar desis itu, maka kawan-kawannya pun segera maju pula. Mereka mengenal Wrahasta, sebagai seorang pemimpin pengawal tanah perdikan yang tetap setia kepada Ki Argapati. Karena itu, maka serentak para penjaga itu menarik senjata masing-masing, berdiri berjajar dengan wajah-wajah yang tegang. Namun Wrahasta masih tetap berdiri sambil bersilang tangan. “Hem,” Wrahasta menggeram, “Tanda, Nala, Dipa, dan siapa lagi yang lain? Kemarilah kalian. Kau, kau dan kau? Aku mengenal kalian meskipun nama-nama kalian agaknya aku telah lupa, karena kalian adalah kelinci-kelinci yang tidak patut diingat sama sekali.” Beberapa orang segera mendesak maju. Sejenak mereka terpukau oleh sikap Wrahasta yang begitu tenang dan yakin akan dirinya sendiri. “Apa kerjamu di sini Wrahasta?” bertanya orang yang disebut Nala. “Kau masih bertanya juga?” jawab Wrahasta. “Seharusnya kau sudah tahu, bahwa aku pasti sedang mengemban tugas Kepala Tanah Perdikan Menoreh melihat-lihat pengawalnya yang telah berkhianat.” Nala mengerutkan keningnya. Namun terasa darahnya mengalir semakin cepat. Katanya, “Kau jangan asal membuka mulutmu saja Wrahasta. Kau harus menyadari, dengan siapa kau sekarang berhadapan. Meskipun kau pernah menjadi pemimpinku ketika aku masih ada di dalam pasukanmu, tetapi sekarang kau adalah orang lain. Kau tidak berhak memerintah aku lagi dengan cara apa pun juga.” “Aku memang tidak akan memerintahkan kau untuk berbuat apa pun karena kau seorang pengkhianat,” sahut Wrahasta. “Diam!” bentak Nala, “Aku telah mengenal kau. Kau bukan raksasa yang perlu ditakuti. Apakah yang telah mendorongmu untuk datang seorang diri kemari? Apakah kau sekarang telah mendapat seorang guru baru yang dapat membuat kulitmu kebal?” “Jangan banyak bicara, Nala. Kumpulkan kawan-kawanmu. Aku terpaksa membunuh kalian meskipun kita sudah lama saling mengenal. Ini bukan persoalan kawan atau bukan kawan. Ini adalah persoalan pokok bagi tegaknya Tanah Perdikan Menoreh.” “Wrahasta, ada dua kemungkinan yang terjadi atasmu sekarang. Kau sudah menjadi kebal melampaui Ki Argapati, atau kau sudah menjadi gila. Kalau kau masih waras, kau tidak akan berbuat demikian. Kau melihat kami di sini. Beberapa orang pengawal yang barangkali memang pernah kau kenal, ditambah oleh beberapa orang yang melihat kebenaran perjuangan kami yang berdiri di pihak Sidanti.” Wrahasta tertawa pendek. “Berapa orang seluruhnya.” “Tiga belas orang,” jawab Nala, “kau dengar? Tiga belas orang.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini terpaksa berpikir. Tiga belas orang. Cukup banyak. “Tetapi orang-orangku berjumlah lebih dari tiga belas orang termasuk Gupala dan Gupita,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Nah, kau dengar jumlah itu,” berkata Nala kemudian. “Apakah kau mempunyai aji-aji Bala Srewu atau Pancasona atau Narantaka?” Tetapi Wrahasta justru tertawa. Jawabnya, “Jangan berbangga karena jumlah kalian yang banyak itu. Sebentar lagi kalian akan segera kami bunuh. Benar-benar menurut arti kata itu, kami bunuh.” “Persetan. Menyerahlah.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Nala telah melangkah maju dengan senjata di tangan. “Kepung raksasa yang sedang bingung ini.” Beberapa orang segera bergerak. Mereka bermaksud mengepung Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak berdiri saja di tempatnya. Ia pun kemudian melangkah beberapa langkah surut. Dengan demikian maka orang-orang yang akan mengepungnya meloncat-loncat semakin cepat dan menebar semakin jauh, sehingga akhirnya mereka menjadi seleret garis lengkung yang sedang memburu Wrahasta yang melangkah surut. Gupita menarik nafas dalam-dalam menyaksikan hal itu. Semakin jauh mereka dari gardu, maka tugas para pengawal itu pun menjadi semakin sulit, karena sebagian dari para penjaga itu masih tetap berada di depan regol. “Hati-hati,” teriak Nala kemudian, “aku belum mengatakan kemungkinan ketiga. Justru kemungkinan yang paling dekat. Wrahasta tidak saja menjadi kebal atau gila, tetapi ia dapat membawa sepasukan pengawal yang dungu bersamanya.” Mendengar kata-kata Nala itu Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sedang para penjaga itu kini telah benar-benar melingkarinya. Karena itu, seperti pesannya kepada para pengawal, begitu ia memberikan isyarat, mereka harus segera menyergap. Dan Wrahasta yang sudah hampir terkepung rapat itu merasa, bahwa waktunya telah tiba. Dengan demikian maka tiba-tiba saja terdengar suaranya menggeletar, “Sekarang. Hancurkan seisi regol ini.” Suara itu segera disambut oleh Nala, “Benar kataku. Hati-hati. Mereka akan segera muncul dari persembunyian.” Para pengawal yang memang sudah siap itu pun segera berloncatan dari balik pohon-pohon jarak dan batang-batang jagung, langsung menyerang para peronda itu, yang telah siap menyongsong mereka. Kali ini para pegawal benar-benar harus bertempur. Mereka tidak hanya sekedar menghunjamkan senjata-senjata mereka ke dada orang-orang yang sedang tidur. “Gila kau, Wrahasta,” geram Nala. Terdengar suara tertawa Wrahasta. Kemudian jawabnya, “Sudah aku katakan, aku akan membunuh kalian satu demi satu.” Pertempuran pun segera berkobar. Setiap orang mendapat lawan masing-masing. Namun ternyata bahwa jumlah orang-orang yang dibawa oleh Wrahasta, termasuk para petugas sandi, masih lebih banyak dari tiga belas orang yang berada di regol itu. Apalagi yang datang bersama Wrahasta terdapat Gupita dan Gupala. Meskipun Gupita masih tetap berusaha mengekang dirinya, namun Gupalalah yang seakan-akan mendapat sejumlah permainan yang menyenangkan. Karena itu, maka seperti orang yang sedang menari ia berloncatan mempermainkan pedangnya. Dan adegan-adegan maut dari tarian anak muda yang gemuk itu benar-benar telah mencemaskan lawan-lawannya. Para penjaga regol itu segera merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan kekuatan Wrahasta bersama kawan-kawannya. Karena itu salah seorang dari mereka, segera merayap di dalam kegelapan, mendekati tanda bahaya yang tergantung di emper regolnya. Dengan tangan gemetar diraihnya pemukul kentongan yang berada di sudut regol. Wrahasta yang melihat orang itu menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan serta-merta ia berteriak, “ He, orang itu. Orang itu.” Tetapi jarak mereka tidak cukup dekat dengan kentongan itu. Dalam keremangan api perapian yang masih menyala di dalam regol, tampaklah orang itu telah berhasil menggenggam pemukul kentongan dan dengan serta-merta meloncat siap untuk membunyikan tanda. “Tahan orang itu!” terak Wrahasta. Tidak akan ada seorang pun yang mampu meloncat sejauh itu. Sehingga dengan demikian tidak akan ada seorang pun yang dapat menghalanginya mengangkat tangannya untuk mengayunkan pemukul itu. Namun tiba-tiba orang itu menyeringai kesakitan. Pemukul itu terlepas dari tangannya ketika terasa sesuatu menyengat lengan dan sekejap kemudian pergelangan tangannya. Belum lagi ia mengerti apa yang terjadi, maka terasa tengkuknya telah dikenai oleh sebongkah batu, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa langkah dan jatuh tertelungkup. Sejenak kemudian matanya menjadi semakin gelap, sehingga akhirnya ia pun jatuh pingsan. Ternyata Gupita yang menjadi cemas pula melihat orang yang hampir berhasil membunyikan tanda bahaya itu bertindak cepat. Diraihnya beberapa butir batu. Dengan kecakapannya membidik yang luar biasa ia berhasil menggagalkan usaha orang itu untuk menyentuh kentongannya. Melihat kawannya jatuh terjerembab, Nala menggeram. Tiba-tiba saja pedangnya telah terayun ke arah lambung Wrahasta. Namun raksasa itu cukup cepat menghindar, sehingga ujung senjata itu tidak menyentuhnya. Dalam pada itu perkelahian pun berkobar terus semakin lama semakin dahsyat. Para penjaga yang kemudian seakan-akan menjadi berputus asa, telah berkelahi membabi buta. Namun satu-satu mereka jatuh di tanah untuk tidak bangkit lagi, sehingga pada suatu saat orang yang terakhir, Nala, tidak dapat lagi menghindarkan diri dari ujung senjata Wrahasta, disaksikan oleh para pengawal. Nala masih sempat mendengar salah seorang pengawal yang pernah dikenalnya berkata kepadanya, “Hukuman yang pantas bagi seorang pengkhianat.” Nala menggeliat. Dengan nanar ia mencoba menatap para pengawal, bekas kawan-kawannya itu mengerumuninya. Namun kemudian serasa tulang-tulangnya terlepas dari tubuhnya. Matanya pun menjadi gelap, dan sebuah tarikan nafas yang patah telah menandai kematiannya. Wrahasta berdiri dekat di samping tubuh Nala yang terbujur di tanah. Ia masih sempat tertawa sambil menimang-nimang pedangnya. Namun suara tertawanya itu terputus ketika seorang pengawal mengangkat sesosok tubuh dan meletakkannya di muka Wrahasta. “He, kenapa dia?” “Ia terbunuh dalam pertempuran ini.” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi, ada juga yang mati di antara kita?” Pengawal itu mengangguk. “Gila, siapa yang membunuh?” “Salah satu dari mayat-mayat yang bergelimpangan ini.” “Gila. Sungguh-sungguh gila. Beberapa gardu sudah kita lampaui tanpa korban seorang pun. Tetapi di sini kami kehilangan seorang kawan.” “Dan tiga orang telah terluka.” Wrahasta seakan-akan membeku di tempatnya. Tangannya menggenggam pedangnya erat-erat. Terdengar giginya gemeretak dan wajahnya menjadi semerah soga. “Kita berjumlah lebih banyak. Sepuluh orang, ditambah dengan para petugas sandi, aku sendiri dan dua gembala itu. Kenapa kita harus menyerahkan korban di dalam tugas ini?” geram Wrahasta. Tidak seorang pun merasa wajib untuk menjawab. Karena itu maka para pengawal itu pun terdiam. “Kita harus menukar nyawa ini dengan sepuluh nyawa lawan.” Para pengawal itu masih belum juga menjawab. Namun di dalam kesepian yang mencekam terdengar suara Gupala, “Lebih dari sepuluh.” Wrahasta berpaling ke arah suara itu, dan ia melihat anak yang gemuk itu berdiri sambil meraba-aba perutnya, “Berapa orang yang telah kita bunuh bersama-sama? Lebih dari sepuluh, dan kita masih harus membunuh pula. Kita akan merayap ke gardu-gardu yang lain di dalam desa ini yang tentu akan di jaga oleh orang-orang Ki Tambak Wedi seperti gardu ini. Dan kita harus membinasakan mereka pula, apabila kita tidak ingin diketahui oleh lawan sebelum kita memasuki padukuhan induk itu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, lebih dari sepuluh.” “Tetapi akan lebih baik kalau kita tidak kehilangan seorang pun.” Kemudian terdengar suara Gupita, “Setidak-tidaknya kita jangan menambah korban lagi, setelah kami kehilangan seorang kawan dan beberapa orang yang lain terluka. Kecuali korban itu menjadi terasa terlampau mahal, kita juga kehilangan sejumlah tenaga dalam pertempuran-pertempuran yang mendatang apabila kita menyelesaikan para penjaga di gardu-gardu.” “Tentu. Kita tidak akan menjadi gila dengan menyerahkan korban-korban dengan sengaja. Apa yang terjadi adalah di luar kemampuan kita. Tidak seorang pun dapat disalahkan,” jawab Wrahasta. “Benar. Namun kita harus berusaha. Kita harus mengurangi hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita harus menghemat tenaga.” “Aku tidak mengerti maksudmu.” “Kita tidak perlu bersikap sebagai seorang pahlawan. Kita akan kehilangan waktu. Lebih baik kita mempergunakan cara yang terdahulu. Terbukti dengan demikian kita tidak kehilangan apa pun. Meskipun keadaan kita sekarang sudah berbeda. Kita menjadi semakin sedikit, sedang lawan yang kita hadapi akan menjadi semakin banyak. Aku yakin bahwa gardu-gardu di padesan ini, padesan yang menghadap ke padukuhan induk, akan mendapat penjagaan yang semakin kuat. Gardu yang berada di ujung lain dari lorong ini pasti berisi lebih dari tiga belas orang.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah terdorong oleh suatu kebanggaan yang tidak dapat dikendalikannya. Tetapi semuanya sudah terlanjur, sehingga karena itu ia bertanya, “Lalu, bagaimana sebaiknya?” “Kita berjalan terus. Tetapi kita harus menjadi lebih berhati-hati. Kita akan mempergunakan cara-cara yang paling aman, dengan mengendapkan perasaan yang meledak-ledak.” Wrahasta tidak segera menjawab. “Kita akan mendekati setiap gardu dengan diam-diam.” “Kemudian berkelahi melawan orang-orang yang sedang tidur,” sahut Gupala. Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Memang kita tidak perlu membunuhnya. Kita dapat membuat mereka pingsan. Mereka tidak akan banyak berarti lagi. Sebentar lagi kita sudah akan berada di dalam gelar, dan bertempur beradu dada. Seandainya mereka kemudian sadar, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.” “Bodoh. Terlalu bodoh,” bantah Wrahasta. “Aku sependapat dengan kau tentang cara yang akan kita pakai untuk membungkam setiap gardu di depan kita. Tetapi tidak begitu cengeng seperti yang kau maksudkan.” Gupita tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia mendengar Gupala berbisik di telinganya, “Kau memang aneh, Kakang.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tidak hanya satu-dua kali adik seperguruannya itu membisikkan kalimat-kalimat itu. “Baiklah, kita akan maju lagi. Semua orang ikut bersama kami. Setelah tugas kami di dalam padesan ini selesai, barulah kita akan memberi laporan terakhir kepada pasukan induk.” Setelah meletakkan mayat seorang kawannya di dalam gardu, maka pasukan kecil itu berjalan lagi. Tiga orang yang terluka telah mendapat pertolongan sementara. Tetapi ternyata bahwa luka itu tidak terlampau berat, sehingga mereka masih mungkin untuk bertempur. Demikianlah ketika mereka mendekati gardu kedua di dalam padesan itu, mereka tidak lagi membiarkan Wrahasta tenggelam di dalam arus kebanggaannya yang berlebih-lebihan. Kelompok itu pun kemudian merayap dengan hati-hati mendekat. Seorang petugas sandi harus berusaha mengetahui dan mencoba untuk menilai kekuatan lawan. “Paling sedikit mereka berjumlah lima belas orang,” seorang petugas sandi menyampaikan hasil pengamatannya kepada Wrahasta. Wrahasta mengerutkan keningnya. Jumlah mereka kini sudah berkurang pula karena sudah ada beberapa orang yang terluka. “Tetapi tugas ini harus kita laksanakan,” geramnya. “Kita harus menyergap dengan tiba-tiba,” desis Gupala, “Kali ini kita tidak boleh bermain-main.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Marilah, kita mendekat.” Dengan sangat hati-hati kelompok itu pun maju mendekat. Sebagian dari para penjaga itu justru berada di luar regol. Mereka duduk-duduk di atas batu yang berserakan di tikungan jalan. “Jangan beri kesempatan mereka mencabut senjata mereka,” desis Wrahasta. Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini keningnya pun telah mulai berkerut-merut. Ia tidak akan dapat terlampau banyak berpikir lagi untuk menghindari kemungkinan, bahwa senjatanya pun akan terhunjam di dada lawan. Apalagi kini ternyata bahwa jumlah lawan agak lebih banyak, meskipun tidak berselisih terlalu jauh. Sejenak kemudian Wrahasta diam dalam ketegangan. Seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya untuk membuat ancang-ancang. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia mengangkat tangannya perlahan-lahan. Setiap orang di dalam kelompok kecil itu memperhatikan tangan itu dengan seksama. Apabila tangan itu kemudian tegak, maka setiap orang segera mempersiapkan dirinya. Wrahasta tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum salah seorang penjaga di gardu itu melihat tangannya, maka tangannya tiba-tiba telah diayunkannya. Demikian tangan itu bergerak, maka seperti digerakkan oleh satu tenaga gaib, orang-orang di dalam kelompok kecil itu meloncat dari persembunyian mereka. Satu-dua orang yang tidak dapat menahan ketegangan di dalam dadanya, tanpa disadari telah menggeram sambil menghentakkan dirinya. Orang-orang yang sedang duduk di tikungan, yang sedang berada di dalam gardu dan yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol, terkejut bukan kepalang. Namun mereka adalah orang-orang yang terlatih seperti para pengawal itu. Bahkan ada di antara mereka yang dahulu memang seorang pengawal, ditambah dengan orang-orang yang cukup berpengalaman dalam petualangan bersenjata. Karena itu, maka dengan gerak naluriah, mereka pun berloncatan sambil mencabut senjata-senjata mereka. Hanya Gupala dan Gupita sajalah yang sempat mencapai lawannya sebelum lawannya menarik senjata mereka. Gupala dengan serta-merta telah membelah dada lawannya, sedang pedang Gupita melukai pundak kanan. Orang itu terdorong surut, namun kemudian sebuah pukulan mengenai punggungnya. Meskipun ia menyadari bahwa lawannya hanya bersenjata pedang, namun ia tidak merasa punggungnya menganga karenanya. Ternyata Gupita telah memukul punggung orang yang terluka itu dengan punggung pedangnya. Ia melihat lawannya itu terhuyung-huyung, kemudian jatuh terjerembab. Sejenak orang itu mencoba merangkak, namun kemudian perasaan sakit yang tidak tertahankan lagi telah menjalari tulang-tulangnya. Bintang di langit yang bertaburan itu serasa menjadi berputaran. Dan sesaat kemudian maka ia pun terjatuh kembali. Pingsan. Barulah sekejap kemudian kawan-kawannya menyusul. Mereka menyerbu seperti badai melanda tebing. Tetapi lawan-lawan mereka pun bukan sebuah patung kayu. Untuk mendapat kesempatan mencabut senjata, mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Kemudian dengan senjata di tangan, mereka menyongsong lawan-lawan mereka. Sejenak kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Gupala dan Gupita segera menempatkan diri mereka di sekitar gardu, agar tidak seorang pun dari lawan yang sempat memukul tanda bahaya. Pemimpin penjaga itu marah bukan buatan. Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Dua orang di antara mereka telah jatuh tanpa perlawanan sama sekali. Karena itu, maka yang masih hidup merasa wajib untuk menuntut balas. Dengan demikian, maka tandang mereka pun menjadi garang. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka menjadi buas dan liar. Ternyata pekerjaan kelompok kecil itu kini terasa terlampau berat. Mereka tidak sekedar menusuk perut dan lambung orang yang sedang tidur dan setengah tidur. Kini mereka harus bertempur, melawan orang-orang yang cukup kuat dan tangguh. Bahkan dalam pertempuran yang singkat, segera tampak, bahwa ada beberapa orang pengawal yang mengalami kesulitan melawan orang-orang yang menjadi buas dan kasar. Gupita dan Gupala segera melihat kesulitan yang dialami oleh pasukan kecil itu. Di dalam hati Gupala bersyukur, bahwa pasukan ini tidak lagi datang dengan cara yang baru saja mereka pergunakan. Jika demikan, maka perlawanan ini akan menjadi terlampau berat bagi Wrahasta dan pasukannya. Kini tidak ada pilihan lain bagi keduanya untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Mereka harus mengurangi lawan secepat-cepat dapat mereka lakukan. Jika mereka terlambat, maka korban akan berjatuhan di pihaknya. Dengan demikian, maka mereka tidak dapat lagi menempatkan diri mereka seperti para pengawal yang lain. Mereka harus berbuat sejauh-jauh dapat mereka lakukan, meskipun dalam ungkapan terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Gupala dengan garangnya kemudian memutar pedangnya. Setiap sentuhan dengan pedangnya itu, berarti bahwa lawannya telah kehilangan senjatanya. Akibat berikutnya tidak akan dapat mereka hindari lagi. Pedang Gupala segera menembus dada. Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita telah melumpuhkan lawan-lawannya. Tidak dapat lagi ia menghindari kemungkinan yang paling parah bagi lawannya apabila pedangnya terpaksa menyentuh leher dan dada. Pertempuran kali ini telah benar-benar menitikkan keringat dan darah. Dengan nafas terengah-engah Wrahasta berhasil menyelesaikan lawannya. Kemudian ia melihat orang terakhir yang mencoba melarikan dirinya telah terbunuh oleh Gupala. Namun ia tidak dapat menahan kemarahan yang meluap-luap sehingga terdengar giginya gemeretak. Setelah pertempuran itu selesai, maka segera Wrahasta mengetahui, bahwa tiga orang kawannya telah terbunuh. “Gila. Benar-benar gila. Tiga orang lagi telah terbunuh, sehingga korban dari tugas ini menjadi terlampau banyak. Empat orang mati dan sejumlah yang lain luka-luka.” “Dan kita masih belum selesai,” desis Gupala. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua anak-anak muda itulah yang sebenarnya telah mengambil peranan. Bukan dirinya. Tanpa kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu, Wrahasta tidak dapat menyebutkan, apa yang telah terjadi dengan pasukan kecilnya ini. “Jadi,” kini Wrahastalah yang bertanya, “apakah kita akan melanjutkan tugas ini?” Gupita terdiam sejenak. Dipandanginya setiap orang di dalam kelompok itu. Tiga orang lagi kini terbujur diam, sedang beberapa orang yang lain telah terluka. Bahkan ada yang tidak akan mampu lagi bertempur sewajarnya. “Tinggal tujuh orang yang masih utuh,” desis Gupita di dalam hatinya. Gupala yang berdiri beberapa langkah daripadanya pun menjadi ragu-ragu pula. Meskipun anak muda itu jarang sekali membuat pertimbangan-pertimbangan, tetapi kali ini ia melihat suatu kenyataan bahwa pasukan kecil ini sudah tidak memiliki kemampuan seperti yang diharapkan. “Tetapi tanpa perambas jalan, maka korban di induk pasukan akan berlipat-lipat,” desis Gupala di dalam hatinya. Sejenak kemudian Gupita menarik nafas. Katanya, “Terserah pertimbanganmu Wrahasta. Kekuatan kita tinggal tujuh orang. Beberapa orang yang terluka masih mungkin untuk sekedar membantu. Tetapi bagi mereka yang hampir tidak lagi mampu menggerakkan tangannya, sudah tentu, sebaiknya mereka tidak ikut bertempur, supaya mereka tidak menjadi korban di gardu berikutnya.” Wrahasta memandang anak buahnya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada berat ia bertanya, “Nah, bagaimana pendapat kalian. Kalau kita meneruskan tugas ini, kalian harus menyadari bahwa sebagian dari kita tidak akan keluar lagi dari pertempuran itu. Kita tidak tahu siapakah yang akan menjadi korban berikutnya. Namun setiap kalian masing-masing mendapat kemungkinan yang sama.” Tidak seorang pun yang menjawab. “Kita sebaiknya melanjutkan tugas ini,” desis Gupala. Wrahasta mengangguk. “Ya, itu adalah tindakan yang paling tepat. Siapa yang menyadari kemungkinan akan dirinya, ikut aku. Aku akan berjalan terus. Siapa yang berkeberatan, lebih baik kembali bersama induk pasukan.” Orang-orang itu masih mematung. “Nah, siapakah yang berkeberatan?” Tidak seorang pun yang menjawab. “Terima kasih,” geram Wrahasta, “semua akan pergi bersamaku. Meskipun demikian, mereka yang terluka aku persilahkan menghubungi pasukan induk. Sampaikan kepada Ki Samekta semua kemungkinan. Kalau kami gagal di gardu terakhir, mereka harus segera maju secepat-cepatnya. Kalau kami tidak berhasil membinasakan orang-orang di dalam gardu itu, maka tanda bahaya akan segera berbunyi. Dengan demikian berarti, bahwa pasukan Ki Tambak Wedi masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri, meskipun kesempatan itu teramat pendek, karena pasukan induk kini pasti sudah menjadi semakin dekat pula. Tetapi agaknya akan lebih baik, apabila mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pasukan Menoreh telah berada di dalam lingkungan mereka.” Meskipun demikian di antara yang terluka itu ada yang menjawab, “Aku akan ikut bertempur.” Wrahasta menarik nafas. Jawabnya, “Terima kasih. Tetapi yang cukup parah, aku terpaksa melarang. Kalian harus kembali ke induk pasukan. Kalian harus memberitahukan bahwa mereka harus maju lebih cepat untuk menjaga segala kemungkinan.” Mereka yang memang sudah tidak mungkin lagi untuk maju, menganggukkan kepala mereka. Meskipun mereka telah terluka, tetapi mereka memang tidak seharusnya membunuh diri. Karena itu, maka setelah mendapat perawatan sementara, mereka pun segera mundur ke induk pasukan. Kini tujuh orang yang masih utuh dan dua orang yang telah terluka ringan, meneruskan perjalanan mereka. Masih ada sebuah gardu lagi sebelum mereka sampai ke bulak pendek di seberang padesan itu. Di bulak pendek itulah nanti, pasukan Menoreh akan memasang gelar untuk memasuki padukuhan induk. Dan gelar itu pun akan segera berubah bentuknya, apabila pasukan Ki Tambak Wedi tidak menyongsong mereka di luar padukuhan. Dengan sangat hati-hati, mereka merayap mendekati gardu terakhir. Mereka sudah menduga bahwa gardu ini pun pasti dijaga dengan baik oleh orang-orang Ki Tambak Wedi. Dugaan mereka ternyata tidak meleset. Seorang petugas di antara mereka yang berhasil mendekat melaporkan kepada Wrahasta. “Mereka kira-kira berjumlah dua belas atau tiga belas orang.” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Orangnya kini tinggal berjumlah sembilan orang, termasuk dirinya sendiri. Dengan penuh kebimbangan Wrahasta memandang Gupita dan Gupala berganti-ganti. Sejenak kemudian ia bertanya, “Bagaimanakah pertimbangan kalian?” Yang menjawab adalah Gupala, “Kita sudah berada di muka hidung mereka. Kenapa kau masih ragu-ragu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Gupala sejenak. Kemudian beralih kepada Gupita. “Baiklah kita selesaikan tugas kita,” desis Gupita pula. “Kita harus berjuang mati-matian. Mungkin di dalam gardu itu masih ada satu dua orang yang lepas dari pengamatan. Itu pun harus kita perhitungkan, sehingga sedikitnya setiap orang dari kita harus menghadapi dua orang sekaligus. Karena itu kita harus lebih berhati-hati. Kita akan merayap sedekat mungkin sehingga kita akan dapat menerkam mereka dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan sama sekali.” Wrahasta menganggukkan kepalanya. Demikianlah maka kesembilan orang itu segera merayap. Kini mereka memencar menjadi tiga kelompok. Sekelompok dipimpin langsung oleh Wrahasta, sekelompok Gupita, dan sekelompok yang lain dipimpin oleh Gupala. Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari masing-masing tiga orang itu merayap semakin dekat. Mereka memilih arah yang berbeda untuk membangkitkan kebingungan di pihak lawan yang jumlahnya agak lebih banyak. Wrahasta dan Gupala harus mendahului menyerang, sedang dalam kegugupan, Gupita akan memanfaatkan keadaan masing-masing bersama kedua kawan-kawan mereka di setiap kelompok kecil itu. Semakin dekat kelompok-kelompok kecil itu ke depan para penjaga, dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat bagi mereka. Beberapa langkah di hadapan gardu itu, Wrahasta dan kelompok-kelompok yang lain pun berhenti. Mereka bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar dan tanaman-tanaman di sawah. Gupita yang menyusur dinding batu segera membawa kedua kawannya meloncat masuk. Kini para pengawal itu dapat melihat para penjaga yang duduk dengan tenangnya di dalam dan di sisi gardu. Mereka tidak terkantuk-kantuk, tidak bergurau dan berbantah. Tetapi terasa bahwa orang-orang di dalam gardu itu sedang merenungi masing-masing dengan penuh tanggung jawab. Setiap orang yang berada di dalam kelompok-kelompok kecil itu menjadi berdebar-debar. Tugas mereka benar-benar berat. Mereka harus berhadapan dengan sepasukan penjaga yang tangguh. Bahkan jumlahnya pun agak lebih banyak dari sembilan orang, sedang yang dua di antaranya telah terluka meskipun tidak terlampau parah. Wrahasta mencoba mengatur pernafasannya. Dipandanginya arah Gupala bersembunyi bersama kedua kawannya, kemudian ditatapnya mulut lorong itu tajam-tajam. Sejenak kemudian Wrahasta itu menyiapkan dirinya. Diberinya kedua kawan-kawannya itu isyarat, agar mereka siap untuk meloncat. Dan sejenak kemudian terdengar suara raksasa itu membelah langit. “Sekarang. Binasakan mereka.” Setiap orang di dalam gardu itu terkejut. Dengan gerak naluriah mereka berloncatan menghadapi ketiga orang yang tiba-tiba saja telah menyerang mereka. Tetapi Wrahasta kini sama sekali tidak berkesempatan untuk menusukkan senjatanya begitu saja. Seorang penjaga yang sedang bertugas benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu ketika dilihatnya ketiga orang yang berloncatan itu, tombaknya segera merunduk dan menyongsongnya. Wrahasta segera menyerang orang yang bersenjata tombak itu dengan garangnya, sedang kedua orang kawannya yang lain dengan serta-merta menyerbu orang itu pula. Kesempatan yang hanya sekejap itu ternyata dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Sebelum para penjaga yang lain sempat mencapai penjaga yang sedang bertugas itu, Wrahasta dengan kedua kawan-kawannya telah berhasil menembus lambungnya dengan pedang. Para penjaga yang lain pun berteriak marah sekali. Dengan penuh kemarahan mereka berlari menyerang Wrahasta dengan kedua kawannya. Tetapi tanpa mereka duga-duga, Gupala meloncat seperti tatit menyerang salah seorang dari mereka. Begitu tiba-tiba, sehingga kedua kawannya yang meloncat bersamanya tertinggal beberapa langkah. Beberapa orang tertegun melihat kedatangan ketiga orang dari arah yang lain ini. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Agaknya dalam keadaan yang gawat, Gupala tidak lagi menggenggam pedang di tangan kanannya. Seperti yang dikatakannya, pedang itu dipegangnya dengan tangan kiri, dan tangan kanannya memegang senjata ciri perguruannya. Sebuah cambuk panjang. “Orang-orang di seberang bulak itu tidak akan mendengar suara cambuk ini asal aku tidak meledakkannya dengan sepenuh kekuatan tanpa sasaran,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Apabila ujung-ujung cambuk ini menyentuh seseorang, maka suaranya tidak akan mengganggu.” Dan ternyata serangan cambuk Gupala itu telah mengejutkan lawannya. Dengan gerakan sendal pancing, maka pada serangan pertama Gupala telah berhasil melemparkan seorang lawan. Namun kali ini anak yang gemuk itu tidak sempat memperhatikannya, apakah lawannya itu dengan demikian telah terbunuh. Dengan segera Gupala telah menyerang orang kedua yang dengan susah payah mencoba menghindarinya. Namun bagaimanapun juga punggungnya serasa disengat oleh puluhan lebah. Terdengar ia berdesis menahan sakit. Namun dengan demikian, matanya segera menjadi merah karena kemarahan yang tidak ada taranya. Dalam kekisruhan itulah Gupita hadir bersama kedua kawan-kawannya justru dari dalam regol, sehingga untuk sejenak, para penjaga regol itu menjadi bingung. Namun karena pengalaman mereka, maka mereka pun segera berhasil memperbaiki keadaan mereka dan mengatur diri dalam perlawanan yang teratur. Meskipun di saat-saat permulaan itu, beberapa orang telah terbunuh, namun ternyata jumlah mereka masih lebih banyak dari jumlah pasukan kecil yang tinggal sembilan orang itu. Namun ternyata bahwa senjata Gupala yang lentur dan agak panjang itu, sangat membantunya untuk menghadapi dua tiga orang sekaligus, meskipun setiap sentuhan senjata itu akibatnya agak berbeda dengan akibat sentuhan ujung pedang. Tetapi dengan demikian, maka senjata itu segera dapat mengurangi kemampuan lawan. Gupita agaknya sependapat pula dengan adik seperguruannya. Maka setelah mengambil ancang-ancang sejenak, ia pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambung, di bawah bajunya. Dengan demikian, maka sepasang cambuk panjang itu telah sangat membingungkan lawan-lawannya. Tanpa mereka sangka-sangka, tiba-tiba saja leher mereka telah disengat oleh ujung cambuk yang mampu menyayat kulit. Sejenak kemudian, maka perkelahian itu menjadi semakin seru dan kasar. Dengan pedangnya Wrahasta mengamuk seperti harimau luka. Kawan-kawannya pun berusaha sekuat-kuat tenaga untuk melawan jumlah yang lebih banyak itu. Namun agaknya Gupita dan Gupala-lah yang sangat menarik perhatian lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikan maka sebagian dari mereka telah berkerumun di sekitar kedua anak-anak muda itu untuk menahan agar keduanya tidak menimbulkan korban yang semakin banyak. Untuk menghadapi mereka, Gupita dan Gupala tidak lagi sempat bermain-main. Kini mereka bertempur, sebenarnya bertempur. Namun keduanya memang memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Meskipun tiga orang melawannya sekaligus, namun kedua anak-anak muda itu tdak terlampau banyak mengalami kesulitan. Dengan mengerahkan kemampuan mereka, maka mereka segera berhasil mengatasi lawan-lawannya. Yang harus mereka lakukan adalah segera membinasakan lawan. Secepat-cepatnya supaya mereka masih mempunyai waktu untuk menolong kawan-kawannya. Demikianlah maka pertempuran kecil itu segera mencapai puncaknya. Adalah menguntungkan sekali bahwa para penjaga itu telah memusatkan perhatian mereka kepada Gupita dan Gupala. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan seorang dengan seorang. Meskipun demikian ternyata bahwa penjaga itu bukan orang-orang yang dapat dengan mudah mereka kuasai. Bahkan ada di antara mereka yang segera dapat mendesak para pengawal. Lawan Wrahasta pun ternyata bukan seorang yang dapat diremehkan. Raksasa itu terpaksa memeras segenap kemampuannya untuk melawan. Meskipun mereka teah bertempur beberapa lama, namun belum ada tanda-tanda bahwa Wrahasta segera dapat menguasainya. Yang sealu mendapat perhatian dari para pengawal, bagaimanapun juga mereka dalam kesibukan mempertahankan diri, adalah kemungkinan para penjaga itu membunyikan tanda-tanda. Karena itu maka para pengawal termasuk Gupita dan Gupala selalu berusaha, agar tidak seorang pun yang berkesempatan menyentuh kentongan atau tanda-tanda yang lain. Ternyata Gupita dan Gupala memang anak-anak muda yang pilih tanding. Sejenak kemudian lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya. Ketika ujung cambuk Gupala menyambar leher seorang lawan, maka dengan sekuat tenaga cambuk itu dihentakkannya, sehingga orang itu terdorong ke depan. Belum lagi ia dapat menguasai keseimbangannya, maka pedang di tangan kiri Gupala telah membenam di perutnya. Ketika Gupala menarik pedangnya, maka orang itu pun segera terjerambab. Mati. Kawan-kawan orang yang mati itu tertegun sejenak. Mereka benar-benar menjadi ngeri melihat ujung cambuk Gupala yang seolah-olah mempunyai mata. Meskipun di antara mereka terdapat orang-orang liar, namun mereka belum pernah melihat seseorang yang mampu berkelahi dengan cara itu. Di bagian lain, Gupita pun segera menguasai lawan-lawannya. Setiap kali salah seorang lawannya terlempar dari gelanggang sambil menyeringai kesakitan. Dan setiap mereka berusaha untuk bangkit dan mendekat, maka ujung cambuk itu pun telah menyengatnya pula. Ternyata ujung-ujung cambuk itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Ketika Gupita menghentakkan cambuknya, terasa cambuk itu seperti remasan besi pada lengan seorang lawannya. Tanpa dapat bertahan lagi, maka tangan itu menjadi lumpuh dan senjata di dalam genggamannya pun kemudian terjatuh di tanah. Ketika cambuk itu disentakkan, maka seakan-akan tangan itu telah ditarik oleh kekuatan yang tidak terlawan, sehingga orang itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Sebuah batu yang menyentuh bagian belakang kepalanya telah membuatnya terpejam untuk waktu yang tidak dapat diperhitungkan. Demikianlah kedua anak-anak muda itu telah berhasil menjatuhkan lawannya seorang demi seorang. Dengan demikian, ketika lawan-lawan mereka telah habis, mereka pun segera berusaha membantu kawan-kawannya yang masih bertempur dengan gigihnya. Meskipun tugas kelompok kecil itu menjadi semakin berat di dalam pertempuran di gardu terakhir ini, namun karena Gupita dan Gupala telah mempergunakan hampir segenap kekuatannya, maka tugas mereka terasa agak lebih cepat selesai. Para penjaga itu seorang demi seorang berjatuhan di tanah. Dan tidak seorang pun di antara mereka yang berhasil untuk bangkit kembali. Meskipun demikian Wrahasta terpaksa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dari sembilan orang yang terakhir itu telah pula jatuh tiga orang gugur, dan hampir semuanya, selain Gupita dan Gupala, terluka. Bahkan Wrahasta sendiri juga terluka di pahanya, ketika tombak lawannya yang mengarah ke dada berhasil disentuh dengan pedangnya. Namun ternyata ujung tombak itu masih juga mengenainya. “Ternyata kita telah menyelesaikan tugas kita dengan korban yang terlampau banyak,” desis Wrahasta. Gupita dan Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka merenungi ketiga orang yang telah jatuh sebagai banten. “Tetapi pengorbanan mereka tidak akan sia-sia,” Wrahasta meneruskan. “Adalah wajar setiap orang yang memasuki pertempuran mendapat kemungkinan serupa itu. Aku pun juga.” Gupita dan Gupala masih tetap berdiam dri. “Nah, siapakah di antara kalian yang masih sanggup untuk menghubungi pasukan induk?” bertanya Wrahasta. Ia tidak sampai hati untuk memberikan perintah begitu saja kepada orang-orangnya yang telah terluka itu. Dan tiba-tiba saja Gupita menyahut, “Biarlah aku pergi ke induk pasukan.” “Bukan, bukan kau,” jawab Wrahasta dengan serta-merta. “Aku tidak berwenang memerintah kau. Kau adalah orang-orang yang dengan sukarela telah membantu kami.” “Aku akan pergi dengan suka rela pula” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya Gupita dengan seksama. Pandangannya terhadap anak muda itu kini berubah sama sekali. Namun dengan demikan, maka seakan-akan ia telah kehilangan harapan untuk bersaing dengan salah seorang dari kedua gembala yang penuh dengan teka-teki itu. Bersaing untuk mendapatkan Pandan Wangi. “Apakah keberatanmu kalau aku melakukannya?” bertanya Gupita. “Aku tidak mempunyai keberatan apa pun. Tetapi kau sudah cukup banyak memberikan jasa kepada kami.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada Gupala ia berkata, “Kau tetap di sini. Aku akan menghubungi pasukan induk agar mereka mempercepat perjalanan. Pintu sudah terbuka, dan kita akan segera memasang gelar di hadapan hidung Ki Tambak Wedi.” Gupala mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan menunggu di sini.” Gupita pun kemudian meninggalkan kelompok yang sudah menjadi semakin kecil itu menghubungi induk pasukan untuk melaporkan apa yang telah terjadi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan melalui jalan yang baru saja dilewatinya, dengan arah yang berlawanan. Ia ingin segera sampai, dengan demikian pasukan induk itu akan maju semakin cepat. Agaknya malam telah menjadi semakin dalam, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat timbul dengan tiba-tiba. Namun setiap kali Gupita menjadi berdebar-debar. Apalagi apabila ia sedang melalui gardu yang pernah dihancurkannya. Ia masih melihat beberapa sosok mayat yang berserakan. “Korban masih akan berjatuhan,” desisnya, “dan mayat pun akan bertambah-tambah. Besok tanah perdikan ini akan meratap, karena anak-anaknya yang terbaik telah saling membunuh di peperangan.” Tetapi Gupita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa selama manusia masih dikendalikan oleh nafsunya, maka benturan kepentingan di antara mereka pasti masih akan terjadi. Betapa pendeknya nalar manusia. Apabila mereka menemui kesulitan untuk mencari jalan penyelesaian, maka keunggulan jasmaniah akan menjadi ukuran untuk menentukan kebenaran. Yang menang akan menjadi kebanggaan, dan yang kalah menjadi pangewan-ewan. Hal itu dapat terjadi timbal-balik tanpa menghiraukan tuntutan nurani kemanusiaan. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di wajahnya dua orang yang kini sedang beradu kepentingan. Kalau Argapati menang, maka ia adalah pahlawan yang telah menyelamatkan Tanah Perdikan ini, namun apabila Ki Tambak Wedi menang, maka pengikutnya akan meneriakkan kidung kemenangannya itu sebagai seorang yang telah membebaskan Tanah Perdikan ini dan membawa udara pembaharuan. “Tetapi betapa dalamnya, namun di dasar hati mereka pasti terpercik kebenaran yang diakui oleh peradaban manusia masa kini,” berkata Gupita di dalam hatinya. “Mereka akan berbicara tentang hak dan tentang keadilan.” Gupita mengerutkan lehernya ketika terasa angin malam yang dingin menyapu kulitnya. Kemudian langkahnya pun menjadi semakin cepat. Sementara itu, Gupala, Wrahasta, dan kawan-kawannya yang masih hidup meskipun terluka, duduk di bibir gardu sekedar melepaskan ketegangan hati. Namun dalam pada itu, Gupala pun kemudian merebahkan dirinya sambil bergumam, “Kalau aku tertidur, jangan tinggalkan aku di sini.” Wrahasta menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan main orang ini,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Perang yang telah membayang di pelupuk, bagi anak yang gemuk itu, seolah-olah hanya sekedar permainan kejar-kejaran saja.” Tetapi Wrahasta tidak mengatakannya. Dibiarkan saja Gupala terbaring diam. Sejenak kemudian nafasnya pun menjadi teratur. Dan matanya pun segera terpejam. Tetapi telinga Gupala memang telinga yang luar biasa. Meskipun ia tertidur tetapi ia pun segera terbangun ketika ia mendengar derap suara kaki-kaki kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat. Dua ekor kuda. Dengan sigapnya Gupala meloncat turun justru mendahului mereka yang tidak tertidur. Dengan berdiri tegang ia memandang ke dalam kelamnya malam. Sambil menunjuk ia berdesis, “Kuda itu datang dari sana. Dari padukuhan induk.” Wrahasta dan kawan-kawannya yang kemudian menyusul turun dari gardu menjadi tegang pula. “Ya. Suara itu datang dari sana.” Sementara itu dua orang sedang berpacu di atas punggung kuda. Namun dinginnya malam agaknya telah membuat mereka tidak begitu bernafsu untuk berpacu lebih cepat lagi. “Barangkali Sidanti sedang diganggu oleh mimpi buruk,” desis yang seorang. Yang lain tertawa. Katanya, “Apa salahnya kita berhati-hati. Ada dua kemungkinan, Sidanti bermimpi buruk karena ketegangan yang mencengkam kepalanya, atau telinga kita memang sudah terganggu.” “Kalau terjadi sesuatu, mereka pasti akan memberikan tanda apa pun.” “Kecuali kalau mereka sudah berhasil menyelesaikan masalah itu sendiri.” “Sebenarnya kita tidak perlu pergi. Malam dinginnya bukan main. Lebih baik tidur melingkar di gardu.” “Tetapi telinga Sidanti yang sedang nganglang di pinggir padukuhan induk itu agaknya memang mendengar ledakan cambuk.” Kawannya tertawa dan berkata, “Sekali lagi aku menganggapnya, Sidanti diganggu oleh mimpi buruk.” Keduanya kemudian terdiam. Kuda-kuda mereka masih berlari terus menuju ke desa yang semakin dekat, seolah-olah muncul dari dalam kabut yang hitam. “Sepi,” desis yang seorang. “Tetapi di gardu itu terdapat orang-orang yang cukup matang. Mereka tidak akan tertidur.” Kawannya tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Ketika mereka telah menjadi semakin dekat, timbullah kecurigaan di hati kedua orang itu. Mulut lorong itu terasa terlampau sepi. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat lagi, mereka sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari dalam gardu itu. “Aneh,” bisik yang seorang. “Marilah kita lihat.” Keduanya menjadi semakin dekat. Dan tiba-tiba saja yang seorang telah menarik pedangnya dengan serta-merta sambil bergumam, “Hati-hati.” Yang lain pun segera bersiap. Dengan sigapnya pula dalam sekejap pedangnya telah berada di tangan. Tenyata mereka telah melihat mayat yang terbujur di tanah. “Mereka telah mati,” desis salah seorang dari mereka. “Nah, kau lihat bahwa Sidanti tidak sedang bermimpi buruk? Ternyata memang telinga kitalah yang tuli.” “Sekarang bagaimana?” “Kita bunyikan tanda bahaya.” Kawannya menganggukkan kepalanya. Keduanya pun segera mendekati gardu dengan hati-hati. Pedang-pedang mereka telah siap di tangan. Tetapi mereka tertegun karena di gardu itu sama sekali tidak terdapat sebuah kentongan pun. Sejenak kedua orang itu saling berpandangan. Kemudian tanpa berjanji mereka berusaha mencari, di manakah kentongan yang biasanya tergantung di sudut gardu. Namun mereka sama sekali tidak menemukannya. “Gila,” desis salah seorang dari mereka. “Agaknya orang-orang yang dengan licik menyerang gardu ini telah pergi sambil melenyapkan semua alat dan kemungkinan untuk memberikan tanda-tanda.” “Tetapi induk pasukan harus segera mengetahui. Ternyata pendengaran Sidanti sangat mengagumkan. Jika demikian maka di antara para penyerang terdapat orang-orang yang bersenjata cambuk itu.” “Kita harus menemukan jejaknya.” “Terlampau berbahaya. Mereka pasti datang dengan kekuatan yang cukup. Lihat, seluruh isi gardu ini terbunuh. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri, dan mereka sama sekali tidak sempat membunyikan tanda bahaya.” “Kalau begitu?” “Kita kembali. Kita laporkan semuanya kepada Sidanti.” “Ya. Begitulah.” Tetapi sebelum kuda-kuda mereka bergerak, mereka telah di kejutkan oleh suatu suara, “He, bukankah kalian bernama Kirti dan Juki?” Kedua orang berkuda itu terkejut. Suara itu telah menyebut nama mereka dengan tepat. Tetapi mereka sama sekali belum melihat dari manakah arah suara itu. Dalam kebingungan mereka mendengar suara dari suatu arah, “Kirti dan Juki, kenapa kau menjadi bingung?” Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kirti menggeretakkan giginya sambil berteriak, “He, setan alas! Ayo, keluar dari persembunyianmu.” Tetapi terdengar suara yang lain lagi, “Jangan marah Kirti. Kau akan menjadi terlampau cepat tua.” Keduanya menjadi semakin bingung. Suara itu seperti berputar-putar dari segala arah. Tetapi keduanya bukan penakut yang segera kehilangan akal. Karena suara yang mereka dengar juga selalu berubah, maka keduanya segera mengambil kesimpulan bahwa yang ada di sekitarnya pasti bukan hanya satu dua orang. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kirti berdesis, “Tidak ada gunanya untuk melawan. Kita harus melaporkannya.” Juki menganggukkan kepalanya. Karena itu, maka mereka segera menggerakkan kendali kuda mereka sehingga kuda-kuda itu pun segera meloncat meninggalkan tempat itu. Namun kuda-kuda itu segera terkejut. Keduanya meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang, ketika tiba-tiba saja sebuah cambuk telah melibat kaki-kaki mereka. Hampir saja penunggangnya terpelanting. Hanya karena keprigelan mereka sajalah maka mereka tidak terlempar. Namun tanpa mereka sangka-sangka, sebuah kekuatan yang besar telah menghentakkan tangan mereka, dan menyeretnya jatuh ke tanah hampir berbareng. Dengan sigapnya mereka berloncatan. Segera mereka berhasil berdiri di atas kedua kaki masing-masing. Sedang pedang mereka masih tetap di dalam genggaman. “Siapa kalian, setan!” bertanya Juki. Yang berdiri di hadapan keduanya adalah seorang anak muda yang gemuk. Sambil tertawa ia berkata, “Kalian harus tetap berada di sini.” “Siapa kau?” “Kami telah terpaksa membunuh orang-orang yang sedang berada di dalam gardu. Terpaksa. Tetapi tidak terhadap kalian, karena kami mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat lain. Apalagi kalau kakakku tahu, bahwa aku telah membunuh kelinci, maka aku pasti akan dimarahi. Nah, karena itu, tinggallah kalian di dalam gardu ini. Sebagai bukti ketaatan kami kepada kakakku, maka kalian akan kami ikat dan kami tunjukkan kepadanya, bahwa kami hanya membunuh apabila terpaksa. Terpaksa sekali. Dan bahkan ia, maksudku kakakku itu, pasti telah melakukan pembunuhan pula selama pertempuran berlangsung. Sengaja atau tidak sengaja.” Kedua orang itu menggeretakkan giginya. Ketika sekilas mereka memandangi kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu telah lari dan hilang di dalam kelamnya malam. “Jangan melawan.” “Persetan dengan kau!” teriak Kirti. “Kaulah yang harus menyerah kepada kami dan mempertanggungjawabkan segala kesalahanmu.” “Ah, jangan berpura-pura. Aku tahu, bahwa kalian menjadi gemetar. Lebih baik kalian berterus terang. Kami tidak akan membunuh kalian. Tetapi kami hanya ingin mengikat kalian di dalam gardu itu.” “Lihat, aku bersenjata. Laki-laki yang bersenjata pantang menyerah. Kecuali kepada maut.” Gupala tiba-tiba saja tertawa, “Ah, jangan berbicara seperti dalang wayang beber.” “Persetan!” kedua orang itu merasa benar-benar terhina. “Berlakulah jujur. Kalian ngeri melihat mayat yang berserakan ini bukan? Tentu. Aku juga menjadi ngeri. Karena itu jangan kita tambah lagi jumlahnya. Seandainya kita bertempur, maka baik aku mau pun kau yang terbunuh, jumlah mayat-mayat ini pasti akan bertambah.” Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Serentak mereka melangkah maju. Namun langkah itu tertegun mendengar anak yang gemuk itu berkata, “Kalian telah terkepung. Kami mampu membunuh seluruh isi gardu tanpa perlawanan yang berarti. Meskipun ada juga korban yang jatuh di pihak kami. Meskipun demikian kalau kau menyerah, kami akan menghidupi kalian.” Kedua orang itu tertegun. Mereka percaya, bahwa mereka benar-benar telah terkepung. Tetapi untuk menyerah, terasa betapa rendah martabat mereka. Karena itu, maka dengan serta-merta mereka menyerang Gupala. Kedua senjata itu langsung menusuk ke pusat jantung. Tetapi Gupala tidak sedang tidur nyenyak. Dengan sigapnya ia menghindar sambil berkata, “Jangan membunuh diri. Sebaiknya kalian melihat kenyataan yang kalian hadapi.” Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak menghiraukaunya. Keduanya segera mempersiapkan serangan berikutnya. Senjata mereka bergetar secepat getar jantungnya. Gupala menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mendapat kesempatan untuk terlalu banyak berbicara. Kedua lawannya itu menyerang dengan dahsyatnya. “He, jangan gila.” Gupala masih mencoba berteriak. Namun suaranya hilang seperti teriakan seorang nelayan yang sendiri di lautan lepas. Kedua lawannya masih tetap menyerangnya. Dan Gupala terpaksa selalu menghindar. Tetapi ternyata Gupala bukan seorang yang cukup sabar dan ragu-ragu menghadapi lawan-lawannya yang demikian. Ia merasa bahwa ia sudah tidak dapat dianggap sewenang-wenang lagi, karena ia sudah mencoba memberi pringatan kepada lawan-lawannya. Tetapi karena mereka tidak menghiraukannya, maka apa boleh buat. Dan Gupala memang tidak begitu berhasrat menahan dirinya lagi. Kedua orang yang baginya terlampau sombong itu, sama sekali tidak diberinya kesempatan lagi. Kali ini Gupala bertempur dengan pedang. Dengan tenaganya yang dahsyat, ia memukul senjata lawannya. Sentuhan pertama membuat tangan lawannya menjadi pedih. Sedang sentuhan berikutnya telah melemparkan senjata lawannya beberapa langkah dari padanya. Gupala segera menyerang lawannya yang sudah tidak bersenjata lagi itu. Dengan susah payah mereka berloncatan dan mencoba memencar. Namun nasib mereka memang terlampau malang. Tanpa mereka duga, tiba-tiba saja muncul beberapa orang di belakang mereka, sehingga mereka telah terkepung rapat. Dan ternyata bukan sekedar sebuah kepungan yang rapat. Sejenak kemudian kepungan itu telah menyempit, dan tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, beberapa ujung senjata telah hampir melukai tubuhnya. “Nah, apakah kau masih akan melawan?” terdengar suara yang bernada dalam. Kedua orang itu berpaling. Dilihatnya wajah Wrahasta yang tegang. Tetapi kedua orang itu tidak menjawab. “Sudah terlampau banyak korban di pihak kita,” berkata salah seorang yang lain, “sedang kita masih belum cukup mendapat ganti. Karena itu bunuh saja kedua tikus ini.” “Sudah sekian banyak kita membunuh dan sekian banyak korban yang jatuh. Kenapa kita masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan?” Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di belakang mereka, “Adalah kurang bijaksana untuk membunuh orang yang sudah tidak berdaya.” Ketika mereka berpaling, mereka melihat seseorang yang berdiri bertolak pinggang. Gupala dan beberapa orang yang lain mengerutkan keningnya. Namun segera mereka dapat mengenal orang itu, “Ki Peda Sura.” Karena itu, maka dada mereka pun menjadi berdebar-debar. Ditatapnya orang yang bertolak pinggang itu dengan tajamnya. Sejenak kemudian terdengar orang itu berkata, “Memang luar biasa. Kalian telah berhasil membinasakan seluruh isi gardu. Kemudian kedua orang yang ditugaskan oleh Angger Sidanti ini pun berhasil kalian jebak pula. Tetapi sayang, bahwa kau telah membunuh beberapa orang-orangku pula sehingga aku pun memerlukan kalian sebagai gantinya. Setuju?” Darah Gupala segera menjadi panas. Selangkah ia maju. Meskipun ia sadar, bahwa Ki Peda Sura adalah seorang yang pilih tanding. Namun untuk melawan orang itu bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya, agaknya akan dapat memberinya kesempatan bertahan beberapa lama. “He, kau anak yang gemuk,” desis Ki Peda Sura. “Kau memang anak yang berani. Berani, cerdik dan tangguh. Tetapi kau kurang cermat. Kedua ekor kuda yang kembali tanpa penunggangnya itu aku jumpai di pinggir padukuhan induk. Dan salah satu di antaranya telah aku pergunakan kemari, karena aku menjadi curiga karenanya.” Gupala mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Bohong. Kupingku tidak tuli. Kalau kau datang berkuda, aku akan mendengar derap kakinya.” Ki Peda Sura tertawa. Katanya, “Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang berpacu dengan derap yang memekakkan telinga. Kuda-kuda itu dengan senang hati akan berjalan lebih lambat tanpa melemparkan suara gemeretak sampai berpuluh-puluh langkah di depan, sebelum kuda itu mendekat.” Gupala tidak menyahut. Dan Ki Peda Sura berkata, “Aku berhenti beberapa puluh langkah. Kemudian aku berjalan kaki mendekati gardu ini, tempat kalian menjebak orang-orang Sidanti.” Gupala menjadi semakin marah. Tetapi ia menyadari. bahwa melawan orang itu bukan pekerjaan yang mudah. Karena itu maka katanya, “Wrahasta. Biarlah orang-orang lain mengurus kelinci-kelinci itu. Kita akan menangkap musang.” Suara tertawa Ki Peda Sura menjadi berkepanjangan. Katanya, “Kau memang terlampau sombong. Aku tidak peduli dengan kedua orang itu. Kalau kau ingin menjadi pembunuh-pembunuh licik, maka bunuhlah orang-orang yang sudah tdak berdaya itu apa pun alasannya. Keduanya bukan orang-orangku. Tetapi yang akan aku lakukan adalah menuntut kematian orang-orangku. Di gardu ini hampir separo dari mereka yang terbumuh adalah orang-orangku.” “Dan sebentar lagi kau sendiri.” Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Namun suara tertawanya menjadi semakin keras. “Kau memang sedang mengigau. Baik. Mengigaulah sepuas-puasmu.” Namun tiba-tiba suara tertawa itu terputus, ketika ia mendengar gemerisik langkah kaki di balik rimbunnya dedaunan. “Siapa yang bersembunyi?” teriak Ki Peda Sura, “Apakah masih belum semuanya hadir di sini? Marilah, aku persilahkan kalian keluar dari persembunyiannya.” Sejenak suasana menjadi sepi. Tidak seorang pun yang berbicara dan beranjak dari tempatnya. Semua berdiri tegang dan bersiaga, sedang dua orang yang datang berkuda masih saja membeku di antara beberapa orang yang mengacungkan senjatanya. Suara gemerisik di balik rimbunnya dedaunan kini tidak terdengar lagi. Betapa pun mereka mencoba mendengarkan setiap suara, namun suara desir itu sama sekali tidak mereka dengar. “Kita tidak tahu,” berkata Gupala, “apakah suara itu suara kawanku atau justru kawanmu. Kalau yang datang itu kawanmu, baiklah ia segera keluar. Kalau kawanku biarlah ia tetap bersembunyi agar aku sempat membunuh kau lebih dahulu.” Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Tanpa disadarinya ia memandang setiap orang yang sedang berdiri tegang. Kedua orang-orang Sidanti itu sama sekali tidak dapat diharapkannya lagi. Dengan satu gerakan serentak, dua tiga pedang akan membinasakan mereka. Lalu orang-orang itu akan beramai-ramai menyerangnya. Ditambah seorang yang cukup berkemampuan yang masih belum menampakkan dirinya. Orang tua itu menimbang sejenak. Tetapi ia sudah mendapatkan suatu keuntungan. Dengan demikian ia mengetahui, bahwa bahaya telah berada di ambang pintu, sedang Ki Tambak Wedi dan para pemimpin yang lain sama sekali belum mengerti, bahwa para peronda di gardu-gardu telah musnah, tanpa sempat membunyikan tanda bahaya. “Berita ini sangat penting. Kalau aku melayani anak-anak ini, mungkin aku akan kehilangan banyak waktu,” katanya di dalam hati. Tiba-tiba saja maka Ki Peda Sura itu menggerakkan sepasang senjatanya sambil melangkah maju. Gupala terkejut, segera pedangnya bersilang di muka dadanya. Sedang Wrahasta pun melangkah ke samping menjauhi Gupala. Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ki Peda Sura meloncat dengan tangkasnya justru menjauhi lawannya. Orang tua itu ternyata berlari kencang-kencang ke luar padesan. “He, kemana kau akan lari?” bertanya Gupala. Tetapi Gupala tidak dapat berlari secepat Ki Peda Sura. Juga ketika sebuah bayangan dari balik dedaunan mencoba mengejarnya. Ternyata Ki Peda Sura menambatkan kudanya agak jauh dari gardu, di balik pohon-pohon jarak di jalan sidatan. Dengan lincahnya orang tua itu meloncat ke punggung kuda sambil menarik kendali yang disangkutkannya pada sebatang ranting yang kecil. Sebelum orang-orang yang mengejarnya mampu menyentuhnya, Ki Peda Sura telah melarikan kudanya seperti disentuh hantu. Dalam saat yang sekejap itu, ternyata kedua orang yang telah tidak bersenjata itu pun sempat melarikan dirinya. Tetapi mereka tidak mengambil arah seperti Ki Peda Sura. Dengan serta-merta mereka meloncat pagar batu dan menghilang di dalam rimbunnya dedaunan. Gupala, Gupita yang mencoba mengintai Ki Peda Sura dari balik gerumbul dan Wrahasta, menumpahkan segala perhatian mereka kepada Ki Peda Sura, sehingga mereka sama sekali kehilangan pengamatan atas kedua orang yang datang berkuda itu. Beberapa orang yang sedang mengacungkan senjata mereka, agaknya telah terpengaruh pula oleh keributan yang terjadi dengan tiba-tiba itu, sehingga mereka telah kehilangan waktu sehingga dapatlah kedua orang yang hampir saja mereka binasakan itu untuk melarikan dirinya. Sejenak mereka berkejaran, namun kedua orang itu kemudian lenyap seperti iblis di dalam gelapnya malam, dalam rimbunnya gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat. Dengan wajah yang merah padam Wrahasta menggeretakkan giginya. Ketika mereka telah berkumpul, Wrahasta itu menggeram, “Sia-sialah semua pengorbanan ini. Ternyata akhirnya kedatangan kita akan diketahui oleh Ki Tambak Wedi.” Tetapi Gupita menggelengkan kepalanya. “Tidak. Tidak sia-sia. Ternyata pasukan induk itu telah terlampau dekat. Aku telah melaporkan semuanya, dan aku mendahului mereka, karena pertimbangan-pertimbangan yang khusus. Ternyata bahwa kecemasanku ada juga sebabnya. Sayang Ki Peda Sura dapat melarikan diri.” Gupita terdiam sejenak. Namun sambil mengangkat wajahnya ia berkata, “Aku sudah mendengar derap pasukan induk itu.” “Mereka harus segera mendengar apa yang telah terjadi,” desis Wrahasta. “Ya, dan mereka harus segera memasang gelar dan langsung menusuk jantung padukuhan induk.” Wrahasta tidak menjawab. Ujung pasukan induk itu sudah menjadi semakin dekat. Akhirnya, pasukan itu muncul dari ujung lorong. Sejenak mereka berhenti. Samekta dengan seksama mendengarkan laporan Wrahasta tentang tugasnya. “Tetapi disaat terakhir mereka mengetahui juga bahwa pasukan kita akan datang,” berkata Wrahasta kemudian. “Belum dapat disebut demikian. Yang diketahui oleh Ki Peda Sura adalah serangan pada gardu ini dan membinasakan seluruh isinya,” jawab Samekta. “Namun ia akan dapat menarik kesmpulan.” “Kita sudah cukup dekat. Kita akan segera menyusun gelar dan masuk ke padukuhan induk, sebelum mereka berhasil menyusun kekuatan.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Samekta berbicara sebentar dengan gembala tua, Hanggapati, dan Dipasanga. Kemudian dengan tergesa-gesa Samekta menyampaikan semuanya itu kepada Ki Argapati. “Kau sudah bertindak tepat. Lakukanlah.” Samekta pun kemudian kembali ke tempatnya. Dengan isyarat yang kemudian disalurkan ke setiap pemimpin kelompok, Samekta memerintahkan untuk memasang gelar di depan padukuhan itu. Sejenak kemudian pasukannya menebar. Mereka tidak lagi mengingat tanaman-tanaman yang sedang menghijau di sawah dan pategalan. Mereka juga tidak menghiraukan pula tanah berlumpur dan pematang-pematang. Demikianlah, sejenak kemudian Samekta telah berhasil menyusun gelar. Samekta, gembala tua, dan kedua anak-anaknya berada di induk pasukan, sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing berada di sayap. Seperti yang pernah direncanakan, maka Hanggapati dan Dipasanga masing-masing harus berada di sayap sebelah-menyebelah. Menurut perhitungan, Sidanti dan Argajaya pun akan berada dan memimpin masing-masing sebelah sayap. Sedang Gupita dan Gupala di pertempuran nanti harus mencari Ki Peda Sura yang menurut dugaan orang-orang Menoreh, akan berdiri di bagian dalam pasukan Ki Tambak Wedi. “Kalau mereka tidak sempat menyusun gelar, atau menyusun barisan,” berkata Samekta, “maka Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga terpaksa harus keluar dari sayap dan mencari Sidanti dan Argajaya.” Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka kini tidak berada dalam susunan gelar prajurit. Di dalam lingkungan keprajuritan, maka pada umumnya pangkat mereka telah menggambarkan, meskipun tidak selalu dan mutlak, tingkat tanggung jawab dan kewajiban. Mereka tidak perlu membagi-bagi dan menempatkan orang demi orang yang harus saling berhadapan, selain senapati-senapatinya. Sejenak kemudian maka Samekta pun segera memberi isyarat, agar pasukan itu segera berderap maju. Dalam gelar, mereka menembus tanah persawahan yang sedang ditanami. Para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian terbesar terdiri dari keluarga petani yang telah agak lama tidak mendapat kesempatan bersentuhan dengan daun padi muda, merasa sangat sayang menginjak-injak tanaman itu. Tetapi apa boleh buat. Mereka harus maju dalam gelar yang siap melawan pasukan lawan. Baru beberapa langkah mereka maju, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara kentongan menggema di padukuhan induk. Agaknya Ki Peda Sura telah sampai di sana dan melaporkan apa yang telah mereka 1ihat. “Setan alas!” teriak Ki Tambak Wedi. “Tidak seorang pun yang dapat hidup di gardu itu?” “Ya.” “Berapa orang yang telah menyerang mereka?” “Aku tidak tahu. Tetapi sergapan itu aku kira begitu tiba-tiba. Yang aku lihat masih ada di sana sekitar lima atau enam orang. Tetapi pasti di antara mereka telah jatuh korban pula.” “Terlalu,” Ki Tambak Wedi menggeram. “Tetapi, apakah menurut dugaanmu mereka akan datang menyerang malam ini bersama seluruh kekuatan?” “Aku tidak tahu. Tetapi hal itu mungkin mereka lakukan.” Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. “Apakah Argapati telah dapat memimpin pasukannya, atau bahkan Argapati telah mati, sehingga dengan putus asa mereka menyergap ke induk padukuhan ini?” “Salah satu dari dua kemungkinan. Tetapi bagaimanapun juga kita harus bersiap. Menghadapi orang yang sedang membunuh diri agaknya pekerjaan kita akan menjadi jauh lebih berat.” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara suara kentongan telah memenuhi bukan saja padukuhan induk tetapi desa-desa kecil di sekitarnya. Para penjaga menjadi semakin bersiaga. Namun sebuah pertanyaan telah mengganggu mereka, “Kenapa suara tanda-tanda bahaya itu justru mulai dari padukuhan induk?” Dengan tergesa-gesa Ki Tambak Wedi menyusun barisannya. Seperti yang telah diperhitungkan oleh para pemimpin Menoreh maka Sidanti dan Argajayalah yang mendapat tugas untuk memimpin sayap pasukan mereka. “Aku mendengar suara cambuk sebelum paman Peda Sura melihat keadaan di padesan itu. Aku menyangka salah seorang dari mereka adalah orang-orang yang sering mempergunakan cambuk seperti yang selama ini kita lihat.” “Maksudmu orang-orang yang mempunyai pengetahuan keprajuritan dan bertempur seperti prajurit-prajurit Pajang itu?” “Ya, meskipun pada keadaan tertentu mereka lebih cakap mempergunakan pedang.” “Berhati-hatilah. Kita tidak boleh terjebak oleh kebanggaan kita sendiri. Karena itu, kita harus mengerahkan segenap kemampuan. Kalau mereka benar-benar akan datang, mereka pun pasti akan membawa semua kekuatan yang ada. Apakah mereka berkeinginan untuk merebut kembali padukuhan induk ini ataukah karena mereka sedang berputus asa.” Sidanti, Argajaya dan Ki Peda Sura dapat mengerti sepenuhnya pesan Ki Tambak Wedi itu, sehingga karena itu, maka mereka tidak meninggalkan segala perhitungan. Semua kekuatan yang ada telah dikerahkan. Bahkan mereka yang sedang berada di gardu-gardu pun telah mereka tarik sebanyak-banyaknya dapat mereka lakukan. “Kita dapat mengirimkan dua orang pengawas, untuk melihat apakah ada sepasukan lawan yang mendekat,” berkata Ki Tambak Wedi. Ketika kedua orang itu meninggalkan padukuhan induk, pasukan Ki Tambak Wedi dan Ki Peda Sura telah hampir seluruhnya berkumpul. Kemudian mereka mendapatkan beberapa petunjuk untuk menghadapi lawan. “Kita melawan di depan padukuhan ini, agar tidak menimbulkan banyak akibat dan kerusakan. Kita akan menyapu mereka sampai orang yang terakhir. Ingat, seandainya mereka mengundurkan diri, jangan diberi kesempatan seorang pun untuk lolos. Tetapi kemungkinan yang lain, mereka akan berkelahi membabi buta. Hati-hatilah melawan orang-orang yang sedang gila. Kalian tidak boleh kehilangan akal.” Pasukan yang belum lengkap benar itu pun kemudian bergerak meninggalkan halaman rumah Kepala Tanah Perdikan dan lapangan kecil di muka banjar. Mereka akan segera bergabung sambil menunggu kelompok-kelompok yang akan segera menyusul. “Cepat, kita tidak boleh tersumbat di mulut jalan,” teriak Sidanti. Pasukan itu pun maju semakin cepat. Sejenak kemudian ujung pasukan itu telah keluar dari regol. Namun bersamaan dengan itu datanglah kedua pengawas itu berlari-lari. Setiap orang menjadi berdebar-debar melihat keduanya. Tetapi kedua orang itu tidak mau menjawab setiap pertanyaan. Dan itu adalah kewajibannya. Semua persoalan harus dilaporkannya kepada pemimpinnya lebih dahulu. Karena itu maka kedua orang itu langsung mencari Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Mereka menemukan Ki Tambak Wedi dan Sidanti justru sedang berbicara dengan Argajaya dan Ki Peda Sura. “He, apa yang kau lihat?” bertanya Sidanti. Dengan nafas terengah-engah salah seorang dari mereka berkata, “Aku melihat sebuah barisan mendatang.” Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dan kedua pengawas itu hampir bersamaan berkata, “Sebuah barisan yang kuat.” “Ya,” Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. “Apa kau dapat mengetahui, siapakah yang memimpin pasukan itu?” Keduanya menggelengkan kepalanya. “Baik,” berkata Ki Tambak Wedi, “kita songsong mereka. Mereka pasti sedang membunuh diri. Aku jakin bahwa Argapati tidak akan mampu memimpin pasukan itu hari ini. Bahkan mungkin orang itu sudah mati.” Dengan tergesa-gesa Ki Tambak Wedi pun kemudian pergi ke ujung barisannya. Dengan isyarat ia mengembangkan tangannya. Dengan demikian maka pasukannya pun segera menebar. Kali ini Sidanti dan Argajaya langsung pergi ke sayap sebelah-menyebelah. Sedang Ki Peda Sura berada di induk pasukan bersama Ki Tambak Wedi. Meskipun pasukan Ki Tambak Wedi masih belum utuh, namun sebagian besar dari kekuatannya sudah berkumpul, sementara kelompok-kelompok kecil masih mengalir dan menggabungkan dirinya. Demikianlah maka dua pasukan yang telah berada dalam gelar telah saling mendekat. Ternyata usaha Wrahasta untuk membungkam semua gardu-gardu yang ada di sepanjang jalan, dengan korban yang tidak sedikit, tidak begitu bermanfaat, meskipun bukan berarti tidak berguna sama sekali. Karena ternyata Ki Tambak Wedi terpaksa menyiapkan pasukannya dengan tergesa-gesa sehingga semua persoalan dipecahkannya dengan kurang cermat. Apalagi persiapan tekad bagi pasukannya sama sekali kurang mendapat perhatian. Para pemimpinnya tidak sempat memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan kepada mereka. Sementara itu Samekta pun telah mendapat laporan pula bahwa ternyata Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan pasukannya. Dan kini pasukan itu telah menyongsong kedatangan pasukan Menoreh. “Kita memang harus bertempur sepenuh tenaga,” berkata Samekta kepada gembala tua yang berada di ujung pasukan. “Ya, tetapi bagaimanapun juga, persiapan Ki Tambak Wedi tidak akan sebaik apabila mereka mendapat cukup kesempatan.” “Mereka tidak akan sempat membawa bermacam-macam alat seperti apabila pasukannya telah bersiap menyongsong kita. Mereka tidak akan dapat menyiapkan alat-alat pelontar seperti yang dapat kita persiapkan selagi kita menyongsong kedatangan pasukan mereka.” “Ya, dan mereka sengaja menyongsong kita. Mereka tidak menunggu kedatangan kita di pinggir padukuhan,” desis gembala tua itu. Lalu, “Kita harus mulai dengan mengejutkan mereka.” Samekta mengerutkan keningnya. “Kita berhenti apabila kita sudah berhadapan. Kemudian kita mulai dengan senjata jarak jauh. Kita akan menyerang mereka dengan panah. Menurut perhitunganku, mereka tidak siap untuk menghadapi serangan pertama yang demikian. Aku kira mereka tidak mempersiapkan perisai secukupnya,” berkata gembala itu. Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada seorang penghubung ia berkata, “Siapkan mereka yang bersenjata jarak jauh. Mereka harus segera menempatkan diri. Apabila keadaan tidak mengijinkannya lagi, mereka harus segera masuk kembali ke tempatnya dan mempergunakan senjata pendek.” Perintah itu sejenak kemudian telah tersebar. Mereka yang membawa busur dan panah, segera maju di depan pasukan yang sedang berjalan. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, namun mereka akan dapat mengejutkan lawan dan membuat mereka sejenak kebingungan. Kesan dari serangan pertama itu tentu akan sangat berpengaruh untuk peperangan berikutnya. Mereka yang membawa busur dan anak panah itu kemudian menebar dari ujung sampai ke ujung pasukan. Dengan dada yang berdebar-debar mereka mempersiapkan anak panah mereka yang pertama pada busurnya. Wrahasta yang berada dan memimpin sayap tiba-tiba melangkah mendahului pasukannya. Kepada salah seorang yang memegang busur ia berkata, “Berikan busur dan panah itu.” Orang itu termangu-mangu sejenak. “Aku akan mempergunakannya.” “Tetapi?” “Aku akan tetap memimpin sayap ini. Tetapi sebelumnya aku akan mempergunakan busur dan anak panahmu.” Orang itu tidak dapat menolak. Diberikannya busurnya dan endong anak panahnya. Hanggapati yang kebetulan berada di sayap itu juga melangkah maju sambil berkata, “Apakah kau memerlukannya?” “Ya. Aku harus mendapat korban yang sebesar-besarnya. Kami telah kehilangan banyak sekali pahlawan di saat kita belum mulai.” “Tetapi kalian telah berhasil membinasakan jauh lebih banyak.” “Belum cukup. Setiap orang sama harganya dengan sepuluh orang lawan. Pahaku sama nilainya dengan sepuluh orang pula. Apalagi nyawaku. Aku akan membunuh seratus orang sekaligus.” “Ah,” desah Hanggapati, “kau akan membunuh seratus orang tanpa menukarkan dengan nyawamu sendiri.” Tetapi Wrahasta tertawa. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Ki Hanggapati, apakah kau sudah berkeluarga?” Hanggapati mengerutkan keningnya, “Kenapa?” Wrahasta menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Aku dilahirkan oleh keluarga yang miskin. Ibuku adalah seorang perempuan yang baik. Ibuku tidak pernah menuntut yang tidak mungkin dapat diusahakan oleh ayahku.” Hanggapati tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah raksasa yang buram itu sejenak. Sambil menimang-nimang busurnya Wrahasta berjalan lurus ke depan. Sama sekali tidak dihiraukannya, apa yang terinjak oleh kaki-kakinya. Dan tiba-tiba Wrahasta meneruskan, “Tetapi ibu tidak panjang umurnya.” “O,” Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ayah juga tidak panjang umur.” “O,” Hanggapati masih mengangguk, “jadi mereka sudah tidak ada lagi?” “Ya. Ibu sudah tidak ada sejak sepuluh tahun yang lalu, dan ayah sejak lima tahun.” “Kau satu-satunya anak?” Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku adalah anak yang kedua. Saudaraku ada lima orang.” “Di mana mereka sekarang?” “Satu adikku ada di dalam barisan ini juga. Kakakku adalah seorang petani yang tekun. Aku tidak tahu apakah ia terlibat atau melibatkan diri dalam kekisruhan ini atau tidak. Tetapi aku tidak melihat ia berada bersama kita. Sedang dua adikku yang lain berada di padukuhan sebelah pertahanan terakhir kita.” Hanggapati menganggukkan kepalanya. “Kakakku sudah beranak empat orang,” berkata Wrahasta, kemudian, “sehingga dengan demikian aku tidak akan mencemaskan bahwa garis keturunan ayah dan ibu akan terputus.” Hanggapati mengerutkan keningnya pula. Dipandanginya wajah itu sejenak. Wajah Wrahasta yang suram. Dan tiba-tiba saja ia berdesis, “Kedua anak gembala itu memang luar biasa. Ternyata aku bukan apa-apanya.” “Apakah maksudmu?” bertanya Hanggapati. “Tidak. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku sekedar memuji dan mengagumi. Aku begitu bodoh sebelumnya tanpa melihat kelebihan yang ada pada mereka.” Hanggapati menjadi semakin heran. Raksasa ini berbicara tanpa ujung dan pangkal, seolah-olah begitu saja berloncatan dari mulutnya. Dan tiba-tiba saja Wrahasta tertawa pendek. “Di depan kita pasukan Ki Tambak Wedi sudah menghadang kita. Apakah kau sudah siap, Ki Hanggapati?” “Ya. Aku sudah siap.” “Apakah kau akan bersenjata cambuk atau pedang atau keduanya?” “Aku biasa mempergunakan pedang.” Wrahasta tertawa. Tetapi tatapan matanya masih lurus ke depan. Padukuhan induk itu pun telah menjadi semakin dekat. Bahkan karena begitu tergesa-gesa orang-orang Ki Tambak Wedi tidak sempat memadamkan obor di gardu-gardu. Dan sinar obor yang menusuk gelapnya malam itu telah tampak jelas di kejauhan, lebih dahulu dari bayangan setiap orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi yang bergerak maju pula. Ternyata kedua belah pihak selalu mengirimkan pengawas-pengawas, sehingga mereka mengetahui dengan pasti jarak antara kedua pasukan itu. Karena itu, ketika pengawas yang dikirimkan oleh Samekta datang kepadanya dan melaporkan bahwa pasukan Ki Tambak Wedi telah melintasi parit, dan dalam waktu yang hampir bersamaan seorang pengawas di pihak lain melaporkan kepada Ki Tambak Wedi bahwa pasukan Menoreh telah melampaui simpang empat, dan menyeberang jalan silang, sadarlah mereka, bahwa pertempuran akan segera berkobar. “Apakah pasukan Ki Tambak Wedi telah siap sepenuhnya?” bertanya Samekta kepada pengawas itu. “Aku kurang tahu. Tetapi mereka telah berada di dalam gelar.” Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik. Kita akan segera mulai.” Sejenak kemudian Samekta memerlukan melaporkannya kepada Ki Argapati, yang dengan seksama mengikuti perkembangan keadaan. “Kita hampir mulai, Ki Gede,” desis Samekta. “Apakah semua sudah berada di tempatnya?” “Sudah, Ki Gede.” “Bagus. Kembalilah ke tempatmu.” Samekta menganggukkan kepalanya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak. Tampaknya Ki Argapati seakan-akan telah benar-benar sembuh dari lukanya. Medan perang yang akan dihadapinya telah membuatnya kehilangan perhatian atas dirinya sendiri. Sedang di tangannya masih tetap tergenggam tombak pendek, pusaka Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sebenarnya telah tertukar dengan milik Argajaya. Sebelum meninggalkan Ki Argapati, Samekta masih sempat berbisik di telinga Pandan Wangi, “Hati-hatilah, Ngger. Orang-orang Ki Tambak Wedi sebagian adalah orang-orang yang buas dan liar.” Pandan Wangi menganggukkan kepalanya, “Kami telah siap, Paman.” Samekta menyapu wajah para pengawal dengan tatapan matanya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajah-wajah yang tegang tetapi meyakinkan itu memberinya kepercayaan, bahwa mereka akan berhasil melindungi Ki Argapati. Apalagi apabila para senapati lawan telah terikat di dalam pertempuran dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang seimbang. Sejenak kemudian Samekta pun kembali ke tempatnya. Di ujung induk pasukan bersama gembala tua. Di belakangnya kedua anak-anak gembala itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Sejenak kemudian Samekta memerintahkan pasukannya berhenti. Jarak mereka dengan lawan sudah menjadi semakin dekat. Yang diperintahkannya untuk maju adalah mereka yang bersenjatakan panah. “Kalian menunggu mereka mendekat. Kemudian serang mereka dengan panah, sebanyak-banyak kalian dapat melepaskan anak-anak panah.” Para pengawal yang telah menyiapkan busur mereka pun berhenti sambil menyiapkan diri. Di hadapan mereka, pasukan Ki Tambak Wedi semakin mendekat pula. Mereka berharap dapat melawan pasukan Menoreh sejauh-jauh dari padukuhan induk. Ternyata mereka tidak mempergunakan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati. Menunggu di belakang pagar-pagar batu dengan senjata-senjata jarak jauh. Kecuali pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh tidak mempunyai pagar pring ori dan pagar-pagar batu yang tinggi, apalagi padukuhan induk itu adalah sebuah padukuhan yang luas, maka pasukan Ki Tambak Wedi tetap menyangka bahwa kekuatan mereka masih melampaui kekuatan lawan. Apalagi menurut perhitungan mereka, Ki Argapati pasti belum dapat ikut serta sepenuhnya di dalam peperangan ini. Orang-orang itu, bahkan termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, kurang memperhitungkan ketergesa-gesaan mereka, sehingga belum seluruh pasukan dan seluruh kekuatan yang kini dihadapkan kepada pasukan Menoreh, yang justru sedang menumpahkan segenap kemampuan dan bahkan jumlah orang-orang mereka. Meskipun demikian, ketika Ki Tambak Wedi mendapat laporan bahwa lawan telah berada di depan hidung mereka, diperintahkannya pasukannya untuk berhati-hati. Tetapi gelapnya malam masih tetap menyaput pemandangan. Namun demikian, mata Ki Tambak Wedi yang setajam mata burung hantu itu segera melihat seleret bayangan, di kaki langit, seperti wayang yang berjajar di wajah layar yang biru kehitam-hitaman. Tetapi bayangan yang dilihatnya adalah hitam. Hitam. Ki Tambak Wedi yang berada di induk pasukan bersama Ki Peda Sura segera memerintahkan penghubung-penghubungnya untuk menyampaikan pesannya kepada Sidanti dan Argajaya di sayap masing-masing, bahwa lawan telah berada dekat di hadapan mereka. Karena itu mereka pun harus berhati-hati. “Orang-orang Ki Argapati adalah orang-orang yang sangat licik,” pesannya. “Mungkin mereka akan melakukan sesuatu yang akan dapat mengejutkan kalian. Karena itu, kalian harus berhati-hati. Sepenuhnya berhati-hati. Semua senjata akan dipergunakan. Juga senjata-senjata jarak jauh.” Dan pesan itu segera ternyata kebenarannya menurut penilaian Sidanti. Sidanti yang semula tidak begitu menghiraukan pesan itu, yang dianggapnya seperti pesan-pesannya yang lain, hati-hati, waspada dan sebagainya, ternyata harus memperhatikannya. “Semua yang berperisai berada di depan,” teriak Sidanti dan Argajaya di tempat masing-masing. Meskipun mereka tidak berjanji, tetapi ketika anak panah yang pertama terbang di atas pasukannya, maka mereka segera meneriakkan perintah serupa. Beberapa orang yang bersenjata perisai segera mendesak ke depan. Mereka berjalan maju sambil melindungi bukan saja diri mereka sendiri, tetapi seluruh pasukan dengan perisai-perisai. Tetapi anak panah terlampau kecil untuk dapat dibendung oleh perisai-perisai yang tidak memenuhi jumlahnya. Kadang-kadang satu dua ada saja anak-panah yang menyusup di sela-sela perisai-perisai itu dan langsung mematuk dada. “Setan!” Sidanti mengumpat. Belum lagi mereka bertemu, telah jatuh beberapa korban di antara mereka. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bersenjata panah, telah melepaskan anak panah mereka sebanyak-banyaknya. Mereka tidak perlu membidik. Mereka hanya sekedar mengarahkan anak panah itu ke dalam deretan bayangan yang kehitam-hitaman. Ternyata bahwa serangan pertama itu cukup berpengaruh. Bukan karena jumlah korban yang terlampau banyak berjatuhan. Tetapi justru serangan itu telah mengejutkan mereka. Satu dua korban yang jatuh, suara rintihan, dan kadang-kadang sebuah teriakan terkejut, telah membuat mereka yang kurang tatag hatinya menjadi kecut. Sementara anak-anak panah terus mengalir seperti hujan. Ki Tambak Wedd menggeram melihat serangan yang hampir menahan pasukannya. Karena itu maka tiba-tiba ia berterak, “Jangan bodoh. Kita harus menyergap mereka secepat-cepatnya untuk menghentikan perbuatan licik ini.” Kemudian Ki Tambak Wedi pun mengangkat tangannya. Ketika ia mengayunkan tangannya itu ke depan, disusul oleh beberapa orang pemimpin kelompok dan beberapa orang yang menjadi penghubung antara induk pasukan dan sayap-sayapnya, maka pasukan itu pun kemudian segera berderap dengan cepatnya maju menyerang lawannya. Yang maju paling depan adalah induk pasukan, kemudian kedua sayapnya pun segera menyusul. Bahkan beberapa orang dari mereka, terlebih-lebih adalah orang-orang Ki Peda Sura segera berteriak sekeras-kerasnya untuk meledakkan gairah mereka menggetarkan senjata masing-masing. Samekta pun kemudian menyadari bahwa ia harus dapat mengimbangi arus pasukan lawan. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan pasukannya. Sekali lagi ia memberikan beberapa peringatan, kemudian menunggu anak panah yang tersisa. Setelah sebagian terbesar dari mereka telah melepaskan hampir seluruh anak panah, maka seperti Ki Tambak Wedi yang langsung memimpin pasukannya, Samekta pun segera memacu barisannya menyongsong lawan. Mereka yang semula berada di depan dengan busur dan anak panah, telah menyilangkan busur-busur mereka di punggung dan memutar endong mereka. Kini di tangan mereka telah tergenggam pedang dan dengan segera mereka pun menempatkan diri di kelompok masing-masing. Kedua pasukan yang maju itu bagaikan arus yang berlawanan. Sebentar kemudian, kedua arus yang deras itu pun berbenturan di antara sorak-sorai dan teriakan-teriakan yang kasar dibarengi oleh umpatan-umpatan yang sangat liar. Dalam waktu yang sekejap, maka ujung-ujung senjata telah mulai berbicara. Yang bernasib malang, pada benturan pertama sama sekali tidak berhasil mengelakkan dirinya dari dorongan senjata lawan. Demikian ia terjatuh, maka kaki-kaki yang bersimpang-siur, tanpa menghiraukannya lagi, telah menginjak-injak tubuh yang tergolek di tanah, betapa pun ia berteriak-teriak. Bukan saja kaki lawan, tetapi kadang-kadang kaki-kaki kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun tidak akan sempat menolongnya, karena mereka harus pula memperhatikan setiap ujung senjata lawan yang mengarah ke dadanya. Dalam hiruk-pikuk perang itu, beberapa orang berusaha untuk menemukan lawan-lawannya yang seimbang, agar mereka tidak menimbulkan korban terlampau banyak di antara orang-orangnya. Sambil melindungi dirinya dari sergapan-sergapan yang tiba-tiba, Hanggapati dan Dipasanga yang sudah terlanjur ikut terlibat di dalam perang yang membakar Tanah Perdikan Menoreh itu, segera berusaha menemukan lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak terlampau sulit, karena Sidanti dan Argajaya pun segera mencari lawan-lawan mereka, sebelum mereka membuat terlalu banyak korban. Dalam pertempuran itu, Hanggapati akhirnya bertemu dengan Sidanti dan Dipasanga harus bertempur melawan Argajaya. Sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing tetap memegang pimpinan sayap-sayap pasukan mereka. Tetapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, baik Sidanti mau pun Argajaya tidak segera dapat mengatasi lawan-lawan mereka. Apalagi di dalam hiruk-pikuk peperangan. Kadang-kadang seorang pengawal tanpa disangka-sangka langsung menyerang salah seorang dari mereka. Sehingga perhatian mereka itu pun terganggu karenanya. Di pusat gelar, Ki Tambak Wedi telah mulai memutar senjatanya. Setiap sentuhan akan berarti maut. Bahkan bukan saja senjatanya yang seakan-akan menyebar nafas kematian, tetapi tangan kirinya, kakinya bahkan hampir seluruh tubuhnya. Lutut dan sikunya pun ikut pula membunuh atau setidak-tidaknya melumpuhkan pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berani mendekatinya. Di ujung gelar lawan, gembala tua itu melihat seseorang mendesak maju diikuti oleh pasukannya. Dengan segera ia mengenal bahwa orang itu adalah Ki Tambak Wedi. “Apa boleh buat,” berkata gembala itu di dalam hatinya. “Tidak ada pilihan lain. Apalagi pokal Ki Tambak Wedi kini telah sampai ke puncaknya, sehingga benar-benar harus dihentikan.” Dengan demikian, maka tanpa ragu-ragu lagi gembala tua itu pun segera berusaha menyongsong Ki Tambak Wedi yang sedang mengamuk bagaikan harimau kelaparan. “Mana Argapati, he, mana Argapati?” iblis tua itu berteriak-teriak. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab. Dalam keremangan cahaya bintang-bintang di langit, matanya yang tajam menangkap bayangan seseorang yang berada di atas punggung kuda dikawal oleh beberapa orang bersenjata lengkap. Tiba-tiba saja ia berteriak, “He, siapa yang berada di belakang barisan ini? He? Siapa?” Ki Tambak Wedi berhenti sebentar. Kemudian, “Kau pasti Argapati. Kau pasti Argapati yang sudah hampir mati. Dengan putus asa kau bawa pasukanmu membunuh diri bersama-sama. Bagus, bagus, mari aku tolong kau.” Suaranya menggelepar di dalam hiruk-pikuknya pertempuran, seperti suara iblis yang menggema di sela-sela deru angin pusaran. Setiap hati mereka yang mendengar suara itu, menggelepar di dalam dada. Suara itu bagaikan duri yang langsung menusuk sampai ke pusat jantung. Mengerikan. Ki Argapati yang tidak terlampau dekat dengan garis pertempuran tidak dapat menangkap kata-kata Ki Tambak Wedi dengan jelas. Tetapi ia merasakan, bahwa kata-kata itu pasti berisi lontaran penghinaan. Karena itu, tanpa disadarinya tombaknya tergerak dan ujungnya merunduk ke depan. “Ayah tetap di sini bersamaku,” desis Pandan Wangi yang melihat gelagat getar di dada ayahnya. Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak lagi, “He, kenapa kau tidak membuat gelar Gedung Menep saja, supaya kau dapat bersembunyi di dalam gelar? Kenapa kau datang dengan gelar terbuka tetapi kau berada jauh-jauh di belakang?” Ki Argapati masih belum mendengar suara itu dengan jelas, tetapi terdengar giginya gemeretak. “Baik, baik,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kalau kau tidak mau maju, akulah yang akan datang kepadamu.” Ternyata Ki Tambak Wedi tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Agaknya ia ingin benar-benar mendekati Ki Argapati, sehingga karena itu, maka segera ia mencoba menyibakkan lawan dengan memutar senjatanya. Para pengawal Menoreh benar-benar menjadi ngeri melihat tandang iblis dari lereng Merapi itu, sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membuka sebuah jalur jalan yang akan dapat dilalui oleh Ki Tambak Wedi, meskipun para pengawal itu tidak berarti membiarkannya lewat tanpa menyerangnya dari segala arah. Namun agaknya beberapa pengawal khusus Ki Tambak Wedi pun tahu benar akan tugasnya, sehingga langkah Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin lancar. Namun tiba-tiba, langkah iblis itu pun terhenti. Tiba-tiba saja di hadapannya, di jalur jalan yang telah tersibak, berdiri seseorang dengan tenangnya memandangnya. Sejenak Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun betapa pun suramnya malam, ia segera dapat mengenal orang yang berdiri di hadapannya itu. Hanya beberapa langkah. Tiba-tiba pula Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat, “Setan alas, kau ada di sini pula?” Orang itu maju selangkah. Sekali-kali ia menyapu hiruk-pikuk peperangan di seputarnya. “Kelakuanmu telah sampai ke ujung yang paling memuakkan aku,” jawabnya. “Karena itu, sebaiknya kau mengakhirinya, Ki Tambak Wedi. Jika demikian maka tidak saja di atas tanah perdikan ini, tetapi kita akan menemukan kedamaian di sebagian besar dari seluruh Tanah ini.” “Jangan menggurui aku Setan Tua. Sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan keluarga ini.” “Kau telah memaksa Sidanti mengkhianati ayahnya.” “Argapati bukan ayahnya.” Sepercik keheranan merambat di hati orang tua itu. Namun ia tidak sempat memikirkannya. Perang menjadi semakin lama semakin ganas, dan korban telah berjatuhan di sekitarnya. Karena itu maka gembala tua itu pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambungnya. “Aku tidak akan bermain-main lagi. Aku akan mempergunakan senjataku.” Ki Tambak Wedi menatap ujung cambuk itu sejenak. Ia sadar bahwa cambuk ini bukan sekedar cambuk seorang gembala. Sekali-kali ia menangkap kilatan pantulan cahaya bintang dari bintik-bintik di juntai cambuk yang panjang itu. Dan bintik-bintik yang berkilat-kilat itu telah membuat dadanya berdebar-debar. Kini Ki Tambak Wedi merasa, bahwa agaknya peperangan ini memang merupakan puncak dari segala-galanya. Kehadiran orang tua bercambuk itu berada di luar perhitungannya selama ini. Selama ini memang mencemaskannya. Setiap kali pasukannya selalu digemparkan oleh orang-orang bercambuk. Tetapi selama ini orang-orang bercambuk itu tidak memberinya keyakinan bahwa orang bercambuk yang inilah yang hadir di peperangan. Bahkan di dalam pertempuran yang terakhir, pada saat pasukannya memecah regol pertahanan terakhir Argapati, sama sekali tidak ada kesan bahwa orang ini ada di antara pasukan Argapati. Sepercik ingatan tentang Ki Peda Sura telah membayang di kepalanya, pada saat orang tua itu terluka. Ia melawan Pandan Wangi yang kemudian dibantu oleh seorang anak muda. Orang ini bersenjata cambuk. Namun senjata cambuk itu kemudian menjadi kabur oleh peristiwa-peristiwa berikutnya. Hampir setiap orang dari pengawal berkuda yang berkeliaran di malam hari bersenjatakan cambuk. Kemudian dua orang prajurit yang ada di dalam pasukan Argapati, yang bertempur melawan Sidanti dan Argajaya pun bersenjata cambuk. Tetapi kini ia bertemu dengan orang yang sebenanya. Orang yang sebenarnya disebutnya orang bercambuk. Karena itu Ki Tambak Wedi tidak lagi dapat mengangkat wajahnya sambil berkata, “Kalian sedang membunuh diri.” Tidak. Orang bercambuk ini tidak sedang membunuh dirinya bersama Ki Argapati. Sejenak mereka masih saling berdiam diri dalam hiruk pikuknya peperangan. Namun sejenak kemudian Ki Tambak Wedi berkata, “Apa boleh buat. Aku tidak menganggapmu musuh sampai ujung kemampuan dalam peperangan yang dahsyat ini. Kau tidak mempunyai kepentingan langsung dengan aku. Tetapi sejak aku berada di Tambak Wedi, bahkan sejak Sidanti berada di Sangkal Putung, kau selalu mengganggu aku dan muridku. Aku kira kini sudah saatnya pula aku menghindarkan diriku dari gangguanmu.” “Kita berpendapat sama. Aku dan kau menganggap bahwa saatnya memang sudah tiba. Kau menganggap bahwa aku harus lenyap agar kau tidak selalu dikejar-kejar oleh gangguanku seperti yang terjadi selama ini, sedang aku menganggap bahwa kelakuanmu benar-benar telah berlebih-lebihan. Dengan demikian kita sudah berkeputusan bahwa kita akan mempertaruhkan nyawa kali ini.” “Aku tidak akan ingkar.” “Kau jangan lari lagi seperti di Tambak Wedi. Kau mempunyai pintu sandi yang dapat kau pakai untuk menghindarkan diri. Tetapi sebaiknya sekarang tidak.” Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya seakan-akan telah membara. Setapak ia maju. Senjatanya di tangannya telah mulai bergetar. Gembala tua itu pun menyadari, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini pasti akan berusaha membunuhnya, sehingga karena itu, ia pun harus sangat berhati-hati. Pertempuran di sekitar keduanya menjadi semakin lama semakin sengit. Satu-dua di antara mereka ada juga yang berusaha menyerang kedua orang tua-tua itu. Tetapi serangan-serangan yang demikian tidak akan banyak berarti, apalagi di sekeliling mereka, berdiri kedua belah pihak. Kedua orang itu berkisar selangkah, kemudian masing-masing mempersiapkan diri untuk mulai dengan sebuah tarian maut. Sejenak kemudian maka perkelahian yang dahsyat itu pun mulailah. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai tingkat ilmu yang tinggi, yang hampir mencapai kesempurnaan. Senjata mereka pun merupakan senjata-senjata yang khusus, yang memiliki kelebihan tiada taranya di tangan pemiliknya masing-masing. Begitu perkelahian itu dimulai, maka meledaklah suara cambuk gembala tua itu. Dan ledakan ini benar-benar telah mengejutkan seisi medan. Selama ini mereka telah sering mendengar ledakan-ledakan cambuk di peperangan atau dalam perjalanan sebagian dari mereka yang ikut dalam pasukan berkuda. Tetapi mereka belum pernah mendengar cambuk yang meledak demikian dahsyatnya. Dan seterusnya cambuk itu meledak dan meledak lagi. Setiap kali menyambar lawannya yang dengan sigapnya berloncatan menghindarinya. Namun kemudian seperti tatit menyusup di sela-sela ujung cambuk itu langsung menyerang dada. Demkianlah keduanya segera terbenam dalam pertempuran yang dahsyat. Keduanya berloncatan saling menyerang dan menghindar. Semakin lama semakin cepat. Kedahsyatan pekelahian di antara keduanya telah menyibakkan peperangan di sekitarnya. Para pengawal dan orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang sibuk mempertahankan hidup masing-masing masih juga sempat mengagumi apa yang telah terjadi. Perkelahian yang hampir-hampir tidak dapat mereka mengerti. Ternyata gembala tua itu tidak kalah dahsyat dari Ki Argapati. Perlawanannya terhadap Ki Tambak Wedi benar-benar telah mendebarkan jantung. Bahkan jantung Ki Tambak Wedi sendiri. Gembala tua yang kadang-kadang senang berkelakar itu, kini mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia mengikuti setiap gerak lawan. Kedua ujung senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan dan serangan-serangan yang cepat seperti tatit harus dilayaninya dengan sepenuh kemampuannya. Sehingga setiap kali cambuknya harus meledak-ledak tidak henti-hentinya. Pada saat gembala tua itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, maka kedua anak-anaknya mengikutinya dengan seksama. Tetapi mereka percaya bahwa gurunya akan dapat menyelesaikan tugasnya. Setidak-tidaknya ia dapat menjaga dirinya dan bertempur sepanjang kemampuan lawannya. Karena itu, segera mereka pun menyadari akan tugasnya. Mereka berdua harus menemukan Ki Peda Sura, dan berusaha melawannya. Dengan demikan maka keduanya meninggalkan arena yang dahsyat itu. Menyusup di dalam arena peperangan yang luas untuk menemukan lawan yang telah ditentukan untuk mereka. Sementara itu Ki Peda Sura berkelahi dengan kasarnya. Seakan-akan ia menyadari sepenuhnya, bahwa tidak akan ada seorang lawan pun yang dapat mengimbanginya. Seperti Ki Tambak Wedi, ia menyangka bahwa Ki Argapati masih belum dapat turun ke medan. Dan seperti Ki Tambak Wedi pula ia menyangka, bahwa para pengawal itu sedang membunuh diri karena putus asa. Tetapi terasa dadanya berdebar-debar pula ketika ia mendengar suara ledakan cambuk beruntun tanpa ada henti-hentinya. Suara cambuk itu seakan-akan menggelegar di dalam dadanya, rnengguncang jantung. “Siapakah orang itu?” desisnya di dalam hati. “Apakah Ki Tambak Wedi sedang tidur, dan tidak sempat membungkam suara cambuk yang memekakkan telinga itu?” bersambung Posted in Buku 041 - 050 ♦ Seri I Tagged Agung Sedayu, Gembala tua, Gupala, Gupita, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Tambak Wedi / Paguhan, Kiai Gringsing, Pandan Wangi, Sidanti, Swandaru, Wrahasta

samsungg9 for mac; job description property manager; uncharted geforce now windows pulling away from house; ios push notification websocket rv ac not working on shore power adidas molded baseball cleats. how to fix burning oil discord
Usage Attribution-NonCommercial-ShareAlike International Topics Api Di Bukit Menoreh 001~396 Collection booksbylanguage_indonesian; booksbylanguage Language Indonesian Api Di Bukit Menoreh 001~396 Addeddate 2019-03-06 090117 Identifier ApiDiBukitMenoreh_201903 Identifier-ark ark/13960/t2h77z19f Ocr ABBYY FineReader Extended OCR Ppi 300 Scanner Internet Archive HTML5 Uploader plus-circle Add Review comment Reviews There are no reviews yet. Be the first one to write a review. 6,118 Views 1 Favorite DOWNLOAD OPTIONS download 40 files ABBYY GZ Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 40 files DAISY Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download For print-disabled users download 40 files EPUB Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.epub download download 40 files FULL TEXT Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 1 file ITEM TILE download download 40 files KINDLE Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.mobi download download 40 files PDF Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.pdf download 1, Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.pdf download download 1 file PNG download download 40 files SINGLE PAGE PROCESSED JP2 ZIP Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 1 file TORRENT download download 247 Files download 46 Original SHOW ALL IN COLLECTIONS Indonesian Books by Language Books by Language Uploaded by private-library on March 6, 2019
Apidi Bukit Menoreh 74. By admin • Nov 11th, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, SHM - Api dibukit Menoreh Sejenak kemudian pasukan Tambak Wedi itu pun telah siap untuk melakukan tugasnya. Untuk melawan lontaran-lontaran senjata jarak jauh, sebagian dari pasukan Ki Tambak Wedi itu diperlengkapi dengan perisai. Karena perisai-perisai yang terbuat dari kepingan baja
Bagian 3 Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menundukkan wajahnya. Berbagai pertimbangan telah tumpang tindih dan wor suh menjadi satu dalam benaknya. Sejenak suasana menjadi sunyi. Ketika terdengar lamat-lamat para peronda di gardu-gardu telah menabuh kentongan dengan nada dara muluk, Kanjeng Sunan dengan perlahan berdesis, “Sudahlah Ki Rangga. Engkau dapat mengesampingkan dahulu pertanyaanku tadi. Sekarang sudah ada tugas yang menunggu.” Terkejut Ki Rangga mendengar kata-kata Kanjeng Sunan sehingga tanpa sadar dia mengangkat wajahnya. Namun begitu menyadari Kanjeng Sunan sedang memandang ke arahnya, dengan cepat Ki Rangga segera menundukkan wajahnya. “Ampun Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menyembah, “Tugas apakah yang harus hamba laksanakan?” Untuk beberapa saat Kanjeng Sunan tidak menjawab. Hanya terdengar helaan nafasnya yang panjang. Seolah-olah Wali yang waskita itu sedang gundah dengan segala polah tingkah manusia di atas bumi ini. “Ki Rangga,” akhirnya Kanjeng Sunan berkata perlahan, “Segala sesuatu yang terjadi di atas bumi ini sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa. Namun sebagai hambaNYA kita diijinkan untuk berdoa dan berusaha,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pergilah ke Lemah Cengkar. Engkau pasti sudah tahu dimana tempat itu. Bantulah pasukan Mataram yang sedang mengalami kesulitan.” Bergetar dada Ki Rangga mendengar perintah Kanjeng Sunan. Dengan memberanikan diri, Ki Rangga pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan, Lemah Cengkar terletak di dekat Kademangan Jati Anom. Jarak Jati Anom dengan Tanah Perdikan Menoreh ini tidak lah dekat. Hamba mohon petunjuk Kanjeng Sunan.” Kanjeng Sunan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya kemudian, “Bukankah aku tadi sudah mengajarkan sebuah doa dari Kanjeng Nabi junjungan kita agar dalam menempuh sebuah perjalanan, kita diberi kemudahan oleh Yang Maha Agung?” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Namun Kanjeng Sunan belum menjelaskan laku apakah yang harus hamba tempuh sebagai asok tukon dalam menguasai ilmu itu?” Senyum Kanjeng Sunan pun semakin lebar mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawab Kanjeng Sunan kemudian, “Apa yang diajarkan oleh Junjungan kita, sangatlah berbeda dengan apa yang selama ini Ki Rangga pelajari. Dalam mengamalkan sebuah doa, tidak dituntut untuk mengerjakan sebuah laku khusus. Justru laku yang harus kita tempuh adalah sepanjang hayat masih dikandung badan. Tingkah laku sepanjang hidup kita lah yang akan menentukan terkabul tidaknya sebuah permohonan.” Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil tetap menundukkan wajahnya, Ki Rangga kembali menyembah sambil berkata, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, apakah syarat terkabulnya sebuah doa tergantung dari baik buruknya tingkah laku kita?” Kali ini Kanjeng Sunan tertawa kecil. Jawabnya kemudian, “Yang Maha Agung telah memberikan pilihan kepada hambaNYA. Dari arah manakah kita akan memohon pertolonganNYA? Jika kita menghendaki dapat merengkuh kebaikan di dunia ini maupun di alam kelanggengan nanti, tentu saja kita akan selalu berusaha menempuh jalan yang diridhoiNYA.” Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Nasehat Kanjeng Sunan sedikit banyak telah menambah wawasan dalam kawruh olah kebatinan di dalam dirinya. “Nah, Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Berangkatlah. Panjatkan lah doa dengan sepenuh niat hanya berpasrah diri kepadaNYa. Semoga Yang Maha Agung senantiasa memberi kita petunjuk dan bimbinganNYA.” “Hamba, Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah. Dengan perlahan Ki Rangga segera memutar tubuhnya menghadap Kiblat. Diangkatnya kedua tangan untuk memohon pertolongan dari penguasa jagad raya dan seisinya ini. Ketika Ki Rangga telah selesai memanjatkan doa, dengan perlahan dia menggeser duduknya menjauhi tempat duduk Kanjeng Sunan sebelum akhirnya Ki Rangga bangkit berdiri. Perlahan Ki Rangga menghadap ke arah pintu sanggar yang tertutup rapat. Ketika Ki Rangga kemudian melangkah mendekati pintu sanggar dengan langkah yang tampak sedikit ragu-ragu, terdengar Kanjeng Sunan berkata perlahan namun cukup menggetarkan jantung suami Sekar Mirah itu. “Jangan pernah ragu-ragu dalam mengerjakan suatu pekerjaan atas dasar niat yang ikhlas dan semata-mata mencari ridhloNYA. Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan menolong hambaNYA yang hatinya selalu diliputi oleh keraguan.” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang mendengar nasehat Kanjeng Sunan. Hatinya yang sedikit ragu-ragu kembali menjadi tenang. Betapapun, Ki Rangga sudah terbiasa menjalani sebuah laku terlebih dahulu sebelum meraih keberhasilan dalam mempelajari sebuah ilmu. Namun yang terjadi sekarang ini adalah bagaikan dalam sebuah mimpi. Dirinya akan mengetrapkan sebuah doa yang aka dapat dijadikan sebagai sarana memohon pertolongan kepada Yang Maha Agung tanpa menjalani sebuah laku pun sebelumnya. “Aku harus yakin,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sekuat keyakinanku bahwa Yang Maha Agung itu benar adaNYA dan hanya melalui pertolonganNYa lah, seorang hamba mampu melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.” Dengan tangan sedikit gemetar, Ki Rangga membuka selarak pintu sanggar. Begitu pintu sanggar itu mulai terbuka, angin malam yang dingin segera menampar wajahnya. Sementara pandang mata Ki Rangga hanya menangkap kegelapan yang pekat di luar sanggar. Sejenak hati Ki Rangga Agung Sedayu kembali diliputi sepercik keragu-raguan. Namun ketika tanpa sadar dia berpaling ke belakang, alangkah terkejutnya suami Sekar Mirah itu ketika pandangan matanya tidak melihat lagi Wali yang waskita itu duduk di tempatnya. “Hem,” desah Ki Rangga perlahan sambil kembali memandang ke luar sanggar. Kegelapan yang pekat benar-benar membuat Ki Rangga sedikit bimbang. Sudah dicobanya untuk menembus kegelapan itu dengan Aji Sapta Pandulu, namun seolah-olah sebuah tabir yang hitam pekat telah dibentangkan di depan matanya. Angin malam yang dingin terasa menusuk tulang dan membekukan darah. Namun Ki Rangga tidak akan mundur setapak pun. Dengan hati yang pasrah dan sepenuh keyakinan akan kekuasaan Yang Maha Agung, dia kembali membaca doa yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan. Selangkah Ki Rangga maju. Ketika kegelapan ternyata masih saja menghadang di hadapannya, dia segera membulatkan tekadnya dan memutuskan untuk membuang jauh-jauh semua keragu-raguan itu. Dengan menyebut Asma Yang Maha Agung, Ki Rangga pun kemudian segera mempercepat langkahnya. Untuk beberapa saat Ki Rangga berjalan dalam kepekatan. Bagaikan di alam mimpi, Ki Rangga merasa seolah-olah berada di sebuah ruang tanpa batas. Hanya kegelapan yang tampak di sekelilingnya. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga yang tajam lamat-lamat telah menangkap suara teriakan dan bentakan ditingkah oleh suara denting beradunya senjata. Semakin lama suara itu terdengar semakin riuh, dan akhirnya seiring dengan berkurangnya kegelapan yang mengurungnya, samar-samar dalam pandangan matanya tampak bayangan sebuah pohon raksasa yang menjulang di tengah padang. “Pohon beringin lemah cengkar,” tanpa sadar Ki Rangga Agung Sedayu berdesis. Tiba-tiba saja sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Betapa tidak, pada masa mudanya Ki Rangga Agung Sedayu sama sekali tidak pernah berani melewati daerah itu. Bahkan ketika kakaknya Untara terluka dan dirawat oleh dukun tua di dukuh Pakuwon, dan dia harus menggantikan tugas kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung menemui Pamannya, Widura, dia lebih memilih lewat Kaliasat walaupun untuk mencapai Kaliasat dia harus melewai Hutan Macanan serta Bulak Dowo yang terkenal dengan genderuwo mata satunya. “Sebuah kenangan yang tak mungkin terlupakan seumur hidupku,” desis Ki Rangga dalam hati sambil terus melangkah. Dengan mengetrapkan kemampuannya dalam menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan akibat sentuhan kehadirannya dengan alam sekitarnya, perlahan Ki Rangga Agung Sedayu melangkah semakin mendekati pohon beringin raksasa itu. ***** Dalam pada itu malam telah melewati puncaknya. Sekar Mirah yang telah selesai berbenah terkejut ketika pendengarannya yang tajam mendengar langkah-langkah mendekat. Sesaat kemudian terdengar sebuah ketukan perlahan di pintu bilik. “Siapa?” bertanya Sekar Mirah dengan suara perlahan namun cukup terdengar oleh orang yang berdiri di balik pintu bilik. “Aku mbok Gumbrek, Nyi,” terdengar sahutan perlahan dari balik pintu. “O, masuklah mbok,” jawab Sekar Mirah kemudian, “Ada apa malam-malam begini?” Mbok Gumbrek salah satu pembantu perempuan Ki Gede segera mendorong pintu bilik. Namun alangkah terkejutnya dia begitu pintu terbuka lebar, tampak Sekar Mirah telah berdiri tegak di dekat pembaringan Bagus Sadewa dengan pakaian khusus serta senjata yang mengerikan tergenggam di tangan kanannya. “Nyi..?” terdengar suara sendat dari mbok Gumbrek. Dengan langkah tertegun-tegun dia berjalan memasuki bilik. Sekar Mirah yang menyadari keadaannya segera mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum lebar. Katanya kemudian, “Tidak ada masalah yang penting, mbok. Aku hanya sekedar ingin berlatih selangkah dua langkah dengan mbokayu Pandan Wangi di sanggar.” Mbok Gumbrek mengerutkan kening. Dengan nada sedikit ragu-ragu dia memberanikan diri bertanya, “Malam-malam begini?” Masih tetap dengan menyunggingkan sebuah senyuman, Sekar Mirah menjawab, “Ya mbok, apa salahnya? Aku mempunyai sedikit waktu luang hanya di saat tengah malam seperti ini. Di siang hari, aku tidak sempat meluangkan waktu sedikit pun untuk berlatih.” Sejenak mbok Gumbrek merenung. Pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju pada Bagus Sadewa yang sedang tidur terlelap. “Aku tadi dibangunkan oleh Nyi Pandan Wangi,” berkata mbok Gumbrek kemudian, “Aku dimintai tolong untuk menjaga putra Nyi Sekar Mirah.” “Nah, bukankah benar kataku,” sahut Sekar Mirah, “Tolong jagalah Bagus Sadewa. Tentu mbokayu Pandan Wangi sudah menungguku di sanggar.” “Baik, Nyi,” jawab mbok Gumbrek kemudian sambil mengangguk dalam-dalam. Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah tergesa-gesa Sekar Mirah pun kemudian segera meninggalkan bilik. Ketika bayangan anak perempuan Ki Demang Sangkal Putung itu sudah hilang menuju ke pintu butulan, barulah dengan langkah satu-satu mbok Gumbrek mendekati pembaringan Bagus Sadewa. Untuk beberapa saat, perempuan tua itu merenungi anak Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tertidur lelap berselimutkan kain panjang. “Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” gumam mbok Gumbrek ditujukan dirinya sendiri. Sambil duduk di bibir pembaringan, dicobanya untuk merunut peristiwa demi peristiwa yang akhir-akhir ini melanda tanah Perdikan Menoreh. “Tadi sore menjelang Matahari terbenam Ki Gede mendapat kunjungan beberapa tamu,” berkata mbok Gumbrek dalam hati, “Kata orang-orang, salah satu tamu Ki Gede adalah priyagung yang sangat dihormati. Kawan-kawan di dapur mengatakan yang datang berkunjung adalah Kanjeng Sunan,” mbok Gumbrek berhenti sejenak. Sambil mencoba mengingat-ingat, dia meneruskan lamunannya, “Perempuan yang sangat cantik yang datang bersama Kanjeng Sunan itu seingatku pernah tinggal di sini beberapa saat yang lalu. Namun sekarang dia telah kembali lagi. Sedangkan anak muda yang satunya aku tidak begitu mengenalnya.” Untuk beberapa saat mbok Gumbrek hanya diam membeku sambil merenungi wajah Bagus Sadewa yang terlihat begitu tenang, setenang air belumbang di tengah hutan yang tak tersentuh oleh tangan manusia. Dalam pada itu Sekar Mirah yang telah keluar lewat pintu butulan segera menyusuri longkangan menuju ke halaman samping. Di belakang gandhok kiri itu lah terletak sebuah sanggar yang cukup luas untuk berlatih olah kanuragan. Ketika Sekar Mirah telah keluar dari pintu seketeng samping, beberapa puluh tombak di hadapannya berdiri sebuah bangunan yang sudah tidak asing lagi baginya, sanggar olah kanuragan. “Mengapa mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja pintu sanggar itu terbuka lebar-lebar?” gumam Sekar Mirah sambil berjalan mendekati Sanggar, “Ataukah dengan sengaja mbokayu Pandan Wangi membiarkan pintu itu terbuka lebar agar aku tidak bercuriga jika ada sesuatu yang bersembunyi di balik pintu itu?” “Ah!” angan-angan itu ditepisnya sendiri, “Mbokayu Pandan Wangi bukan seorang yang curang dan berhati culas. Tidak mungkin jika dia bermaksud jahat kepadaku. Bukankah tadi dia sudah mengatakan bahwa semua yang telah terjadi itu baginya hanyalah sebuah kejadian masa lalu? Sungguh tidak sepantasnya aku berprasangka buruk kepadanya.” Tak terasa langkah Sekar Mirah hampir mencapai pintu sanggar. Sinar lampu dlupak yang kemerah-merahan segera saja menyambar seraut wajah paro baya namun terlihat masih cukup cantik itu. Pandangan mata Sekar Mirah pun dengan jelas segera melihat dua orang perempuan dalam pakaian khusus sedang berdiri berdampingan di tengah-tengah ruang sanggar. Sebuah desir tajam segera saja menggores jantungnya. Ayunan langkahnya pun menjadi terhenti dengan sendirinya. Berbagai dugaan dan kemungkinan telah bergejolak di dalam dadanya. “Mengapa mereka berdua justru telah berdiri berdampingan? Tidak berhadap-hadapan?” bertanya Sekar Mirah dalam hati disertai detak jantung yang berdentangan, “Apakah mereka berdua justru sedang menungguku? Menuntaskan dendam yang selama ini telah terpendam?” “Gila!” tiba-tiba saja tanpa sadar sebuah umpatan meluncur dari bibirnya dan membuat dirinya sendiri justru menjadi terkejut, “Permainan apakah sebenarnya yang sedang mereka berdua rencanakan?” Namun pada dasarnya puteri Demang Sangkal Putung itu adalah seorang perempuan yang keras hati dan sedikit tinggi hati. Dengan menghentakkan senjata yang tergenggam di tangan kanannya pada sebuah batu yang tergeletak selangkah di samping kanannya, dia pun melanjutkan langkahnya. “Persetan dengan semua itu!” geramnya. Dengan sebuah hentakan kecil saja, batu hitam sebesar induk ayam itu ternyata telah hancur berhamburan menjadi debu. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Sak dumuk bathuk sak nyari bumi, dak belani taker pati!” dengan langkah pasti Sekar Mirah pun kemudian segera menaiki tlundak Sanggar. ***** Dalam pada itu di tengah padang rumput Lemah Cengkar, pertempuran antara pasukan Mataram dengan para pengikut Pangeran Ranapati semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tumenggung Purbarana yang telah berhasil berhadap-hadapan langsung dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan yang diluar perhitungannya. “Gila!” geram Ki Tumenggung dalam hati, “Ternyata kesaktian orang yang mengaku trah Panembahan Senapati ini bukan sekedar omong kosong. Kemampuan orang ini diluar jangkauan ilmuku.” Namun sebagai seorang prajurit, tidak ada kata menyerah bagi Ki Tumenggung. Dihentakkan segenap kemampuannya dan dipasrahkan seluruh hidup matinya kepada Sang Maha Pencipta. Selangkah demi selangkah Ki Tumenggung mulai mundur dan hanya dapat mundur terus. Kekuatan pangeran Ranapati itu benar-benar tidak mampu dibendungnya. Beberapa kali sentuhan dari putra satu-satunya Rara Ambarasari itu telah membuat beberapa bagian tubuhnya memar dan lebam. Mereka berdua memang bertempur dengan tangan kosong. Namun kedua belah tangan mereka tak ubahnya senjata-senjata yang akan dapat membahayakan bagi lawannya. Sekilas pandangan mata Ki Tumenggung sempat melihat Pangeran Jayaraga yang hanya diam membeku di pinggir medan pertempuran. Pangeran adik Prabu Hanyakrawati itu tampak menundukkan wajahnya dalam-dalam tanpa menghiraukan hiruk pikuknya pertempuran. Beberapa saat tadi sebelum kedua pasukan itu berbenturan, Ki Tumenggung telah menugaskan dua orang prajurit untuk mengawalnya. Namun ternyata Pangeran Jayaraga justru telah menolaknya. “Lawan jumlahnya lebih banyak dari jumlah pasukanmu, Ki Tumenggung,” berkata Pangeran Jayaraga beberapa saat tadi, “Percayalah, aku tidak akan kemana-mana. Biarlah dua prajurit ini ikut bertempur. Engkau harus benar-benar memperhitungkan kekuatan lawanmu.” “Sendika Pangeran,” jawab Ki Tumenggung, “Kami mohon maaf tidak dapat melakukan pengawalan sebagaimana mestinya.” Pangeran Jayaraga tertawa pendek. Katanya kemudian, “Aku bukan lagi seorang Pangeran yang berhak mendapat pengawalan. Namun sekarang justru sebaliknya, aku adalah Pangeran pesakitan yang harus dikawal agar tidak melarikan diri atau pun membuat keonaran.” “Ah!” desah Ki Tumenggung sambil tersenyum masam. Katanya kemudian, “Kami mohon diri Pangeran. Agaknya lawan akan segera mulai melakukan penyerangan.” “Silahkan, Ki Tumenggung,” jawab pangeran Jayaraga kemudian singkat. Demikian lah, pertempuran di padang rumput lemah Cengkar itu pun kemudian berkobar semakin lama semakin dahsyat. Jumlah pengikut Pangeran Ranapati yang lebih banyak ternyata telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Beberapa prajurit bahkan harus berhadapan dengan dua atau tiga lawan sekaligus. Semakin lama tekanan yang dialami para prajurit Mataram semakin berat. Namun dengan cerdik beberapa Lurah prajurit telah memimpin anak buahnya bertempur dalam kelompok-kelompok sehingga untuk sementara tekanan yang dialami prajurit Mataram agak berkurang. Di garis depan, Ki Lurah Adiwaswa harus bertempur menghadapi tiga orang lawan sekaligus. Pedang di tangan kanannya berputaran bagaikan sayap anai-anai yang bertebangan di udara. Sementara sebuah tameng kecil di tangan kirinya tak henti-hentinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang beruntun bagaikan air hujan yang tercurah dari langit. Seorang laki-laki yang rambutnya sudah putih semua tampak sedang memperhatikan pertempuran itu. Dengan langkah perlahan dia mendekati arena pertempuran Ki Lurah Adiwaswa. “Tikus-tikus clurut, minggirlah!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dari laki-laki yang rambutnya sudah putih semua itu, “Biar aku yang meladeni tingkah polah orang yang sombong ini!” Mendengar bentakan itu, tiga orang pengikut Pangeran Ranapati yang sedang bertempur dengan Ki Lurah Adiwaswa segera berloncatan mundur. “Bantulah kawan-kawanmu agar pertempuran ini segera berakhir,” berkata laki-laki itu sambil berjalan mendekati tempat Ki Adiwaswa berdiri. “Baik Kyai,” hampir serempak mereka menjawab sambil mengangguk. Sejenak kemudian ketiganya segera menyusup dan hilang ditelan riuhnya pertempuran. Berdesir jantung Ki Lurah Adiwaswa sambil pandangan matanya mengawasi ketiga orang itu bergeser surut. Dengan bergabungnya ketiga pengikut Pangeran Ranapati itu dengan kawan-kawannya yang lain, tekanan yang dialami pasukan Mataram akan semakin berat. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak sempat meneruskan angan-angannya karena lawan barunya kini sedang berjalan kearahnya. “Nah,” berkata laki-laki itu kemudian setelah dia berhadap-hadapan dengan Ki Lurah Adiwaswa, “Sebelum aku memenggal kepalamu, tidak ada jeleknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Orang menyebutku Kyai Dadap Ireng, karena memang aku adalah pemimpin perguruan Dadap Ireng.” Ki Lurah Adiwaswa mengerutkan keningnya. Nama perguruan Dadap Ireng terdengar masih asing di telinganya. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak ingin mengecewakan lawannya. Maka katanya kemudian, “Terima kasih Kyai Dadap Ireng. Aku Lurah Adiwaswa, salah satu Lurah prajurit yang bertugas di kesatuan pasukan berkuda Mataram.” “Persetan dengan pasukan berkuda Mataram!” geram Kyai Dadap Ireng, “Aku tidak menyuruhmu untuk menyebut namamu. Siapa yang peduli dengan namamu, he!” Ki Lurah Adiwaswa manarik nafas dalam-dalam. Kesan pertama yang didapatkan dari lawannya cukup mendebarkan. Agaknya orang yang menyebut dirinya Kyai Dadap Ireng ini tidak perduli dengan segala unggah-ungguh dan suba sita. “Baiklah Kyai Dadap Ireng,” akhirnya Ki Lurah Adiwaswa berkata, “Aku juga tidak peduli apakah aku berhadapan dengan Dadap Ireng atau Dadap Merah atau bahkan mungkin yang sekarang aku hadapi ini adalah Dadap Ayam, sejenis pohon Dadap yang dapat tumbuh menjulang tinggi namun batangnya bengkok dan kayunya sangat lunak.” “Tutup mulutmu!” teriak Kyai Dadap Ireng sambil meloncat menyambar mulut lawannya. Namun Ki Lurah Adiwaswa sudah waspada terhadap segala gerak gerik lawannya. Dengan mudah dihindari serangan lawan yang mengarah ke wajahnya itu. Sejenak kemudian keduanya pun segera terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Silih ungkih singa lena. Terlena sedikit saja nyawa yang menjadi taruhannya. Dalam pada itu, kuda-kuda pasukan Mataram yang lepas dari jebakan di lemah Cengkar telah berlari-larian tanpa arah. Beberapa ekor kuda justru tidak berpacu lurus mengikuti kuda-kuda yang lain menuju Kademangan Jati Anom. Dua ekor kuda justru telah mengambil jalan ke arah kiri menuju Padepokan orang bercambuk. Dua orang cantrik yang sedang berjaga terkejut ketika pendengaran mereka lamat-lamat mendengar derap beberapa ekor kuda menuju ke arah gerbang Padepokan. “Kuda?” desis salah seorang cantrik sambil mengangkat kepalanya, “Malam-malam begini?” “Marilah,” desis kawannya sambil beringsut turun dari pendapa, “Mungkin ada tamu penting yang sengaja berkunjung di waktu yang tidak sewajarnya ini.” Cantrik itu tidak menyahut. Diraihnya pedang pendek yang tergeletak di lantai pendapa. Setelah menyelipkan pendang pendek itu di ikat pinggangnya, dengan tergesa-gesa dia segera berlari mengejar kawannya yang telah terlebih dahulu mencapai pintu gerbang.. Ketika cantrik itu telah sampai di depan gerbang padepokan, kawannya tampak sedang mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu yang sedikit renggang. “Dua ekor kuda,” bisik kawannya pada cantrik yang baru datang. “He?” seru cantrik itu terkejut, “Dua orang berkuda, katamu?” “Bukan, bukan dua orang berkuda,” jawab kawannya sambil tetap mengintip, “Dua ekor kuda lengkap dengan pelana namun tanpa seorang penunggang pun.” “He?” kembali cantrik itu berseru heran. Dengan tergesa-gesa dia segera ikut mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu gerbang padepokan. Tampak dalam keremangan malam dua ekor kuda lengkap dengan pelana serta perkakas lainnya sedang berderap perlahan di jalan yang menuju ke padepokan dan akhirnya berhenti beberapa tombak di depan gerbang padepokan. Setelah termangu-mangu beberapa saat. Dua ekor kuda itu pun kemudian berjalan menepi dan kemudian merumput dengan tenang di pinggir jalan. “Aneh,” desis cantrik itu, “Dua ekor kuda tanpa penunggang. Pasti sesuatu telah terjadi pada kedua penunggangnya. Aku akan melaporkan ini kepada Ki Widura.” Kawannya mengerutkan keningnya sambil menjauhkan kepalanya dari pintu gerbang. Katanya kemudian, “Apakah cukup beralasan jika kita membangunkan Ki Widura di saat seperti ini?” Sejenak cantrik itu merenung. Namun jawabnya kemudian sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Namun keberadaan dua ekor kuda tanpa penunggang ini dapat menimbulkan berbagai dugaan. Mungkin saja ada orang-orang yang sedang memerlukan pertolongan.” “Atau bisa jadi hanya dua ekor kuda yang lepas dari kandangnya karena pemiliknya lupa menutup pintu kandang,” sahut temannya dengan serta merta. “Tapi pemiliknya tentu tidak akan memasangkan pelana jika memang kedua ekor kuda itu hanya terlepas dari kandang,” bantah cantrik itu kemudian. Kawannya tidak menjawab lagi. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk. “Ah, sudahlah,” berkata cantrik itu kemudian, “Tunggulah di sini. Awasi kuda-kuda itu. Aku akan melaporkan kepada Ki Widura.” “Apakah aku harus membuka pintu gerbang?” bertanya kawannya kemudian. “Tidak perlu,” jawab cantrik itu sambil melangkah pergi, “Awasi saja dari celah-celah pintu gerbang. Jika keadaan berkembang diluar kewajaran, engkau dapat memukul kentongan untuk memberikan isyarat.” “Baik,” jawab kawannya. Tanpa sadar matanya memandang kearah sebuah kentongan kecil yang tersangkut di pojok pintu gerbang sebelah atas. Dalam pada itu, pertempuran di lemah Cengkar semakin lama menjadi semakin sulit bagi pasukan Mataram. Walaupun demikian, sebagai prajurit mereka tetap bertahan sampai titik darah penghabisan. Ki Tumenggung Purbarana yang merasa semakin terdesak ternyata telah mengambil sebuah keputusan untuk sekedar mengulur waktu. Ketika sebuah serangan datang membadai dari lawannya, dengan cepat dia segera meloncat mundur tiga kali. Begitu kakinya menginjak tanah kembali, di tangan kanan Tumenggung Purbarana telah tergenggam sebilah pedang panjang. Pangeran Ranapati tertawa melihat Ki Tumenggung menggenggam senjatanya. Katanya kemudian, “O, agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepadaku sebuah ilmu pedang yang nggegirisi. Baiklah, aku juga akan menggunakan kerisku ini. Hati-hatilah Ki Tumenggung. Goresan sekecil apapun dari kerisku, sudah cukup mengantarkan nyawamu ke alam kelanggengan.” Selesai berkata demikian, Pangeran Ranapati segera menghunus sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Sebuah keris yang berwarna kehitam-hitam dan berluk sembilan. Berdesir jantung Ki Tumenggung begitu melihat ujud keris lawannya. Keris itu pasti mengandung warangan yang sangat kuat. Dengan sebuah goresan kecil sekali saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Ilmu pedang Ki Tumenggung ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Bilah pedang itu bagaikan menjadi berpuluh-puluh dan mengurung lawannya dari segala penjuru. Namun lawannya adalah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Untuk beberapa saat memang dia terlihat terdesak beberapa langkah mundur. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat. Ketika Pangeran Ranapati telah menemukan titik kelemahan permainan pedang lawannya, keris di tangannya segera berputaran dan mengeluarkan asap tipis berwarna kehitam-hitaman. Ki Tumenggung benar-benar telah kehilangan akal. Ilmu pedangnya tidak mampu menembus pertahanan lawan, bahkan kini kembali dirinya yang terdesak mundur. Tidak ada jalan lain baginya selain mengetrapkan puncak ilmunya, apapun yang terjadi. “Jika ilmu pamungkasku kali ini membentur kekuatan yang tak tertahankan, setidak-tidaknya aku telah melakukan sebuah usaha,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Demikianlah akhirnya. Setelah melihat tidak ada jalan lain, selain membenturkan puncak ilmunya, Ki Tumenggung pun segera bersiap. Ketika kesempatan itu akhirnya datang, dengan cepat Ki Tumenggung segera meloncat beberapa langkah ke belakang. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, disilangkan pedang panjang itu di depan dadanya. Kemudian dengan perlahan ujung pedang itu terjulur ke depan mengarah dada lawan. Sementara tangan kirinya terkepal sejajar lambung. Pangeran Ranapati yang melihat lawannya meloncat mundur tidak berusaha mengejar. Dengan tenang ditunggunya serangan pamungkas lawannya. Yang terjadi kemudian adalah benar-benar dahsyat. Dengan sebuah teriakan menggelegar ki Tumenggung Purbarana meloncat tinggi. Pedang panjangnya terayun deras mengarah kepala lawannya. Sebuah senyum tipis terlihat di bibir pangeran yang keras hati itu. Setelah sekejap merangkapkan tangan kiri beserta tangan kanan yang menggenggam keris di depan dada, dengan tenang Pangeran Ranapati segera mengangkat senjatanya ke atas kepalanya untuk menangkis serangan lawan. Bersambung ke Jilid 416 > Pages 1 2 3 TerusanApi Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4 Popular Posts (tanpa judul) A pi dibukit menoreh 26 - 50. Oleh : A. Malindo Bukan terusan ataupun lanjutan API di BUKIT MENOREH BUMBUNG 2 W aktu terasa merambat tak terasa dan hari y Download Api Di Bukit Menoreh . Api Dibukit Menoreh 01 - 25 Api Dibukit Menoreh 26 - 50 Api Dibukit Menoreh 51 > Bagian 1 RADEN MAS RANGSANG benar-benar sedang terhanyut oleh suara alunan ayat-ayat suci itu, sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Barulah ketika suara alunan ayat-ayat suci itu telah berhenti, bagai tersadar dari buaian mimpi yang indah, Mas Rangsang baru menyadari bahwa seorang anak muda telah berdiri di hadapannya. Dengan segera Raden Mas Rangsang berdiri dari tempat duduknya. Namun sebelum cucu Panembahan Senapati itu membuka suaranya, justru anak muda itulah yang berkata terlebih dahulu, “Ampun Raden. Jika Raden berkenan, Kiai Ajar Mintaraga mengundang Raden untuk singgah sejenak di gubuk kami.” Raden Mas Rangsang tidak segera menjawab. Dengan kening yang berkerut-merut, sejenak dipandanginya anak muda yang berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam beberapa langkah di hadapannya itu. Menurut perkiraan putra Panembahan Hanyakrawati itu, usia anak muda itu tentu tidak terpaut banyak dengannya, mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua. “Mengapa engkau memanggilku Raden? Apakah engkau sudah mengenalku?” bertanya Mas Rangsang kemudian sambil menatap wajah yang selalu menunduk itu. Anak muda itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Ampun Raden. Aku tidak tahu siapakah Raden. Guruku Kiai Ajar Mintaraga hanya memberitahuku bahwa di depan gubuk kami telah datang seorang tamu bangsawan dari Mataram dan aku diminta untuk menjemput Raden.” Kembali kening Raden Mas Rangsang berkerut-merut. Sepagi ini sudah dua orang yang mengetahui dengan jelas akan jati dirinya, walaupun dia sudah berusaha untuk menyamar sebagaimana orang kebanyakan. “Siapakah Kiai Ajar Mintaraga itu?” bertanya Mas Rangsang kemudian. “Guruku Raden,” jawab anak muda itu tetap dengan kepala tunduk. “Maksudku, siapakah sebenarnya Kiai Ajar Mintaraga itu?” Sejenak anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya anak muda itu pun menjawab, “Ampun Raden. Kiai Ajar Mintaraga adalah seorang Pertapa yang tinggal di pertapaan Mintaraga di puncak perbukitan Menoreh. Selebihnya aku tidak tahu.” Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam. Betapa pun juga dia tidak akan dapat memaksa anak muda di hadapannya itu untuk memberi keterangan lebih jauh tentang Kiai Ajar Mintaraga. “Baiklah, aku menerima tawaran Gurumu untuk singgah di pondok kalian,” Mas Rangsang berhenti sebentar. Kemudian sambil melangkahkan kakinya menuju ke gubuk reyot itu dia melanjutkan, “Siapakah namamu? Menurut perkiraanku umurmu lebih tua sedikit dariku. Apakah engkau keberatan jika aku memanggilmu kakang?” Anak muda itu membungkuk dalam-dalam sambil menjawab, “Ampun Raden. Namaku Putut Gatra Bumi. Hamba tidak berani untuk menerima panggilan itu dari Raden.” “Ah,” Mas Rangsang tertawa pendek sambil menarik lengan Putut Gatra Bumi, “Marilah Kakang Putut Gatra Bumi. Aku lebih senang memanggilmu Kakang, dan jangan risaukan segala macam suba sita itu. Itu hanya berlaku kalau kita sedang mengikuti sebuah pasewakan agung atau acara-acara lain yang memang mengharuskan kita untuk mentaati paugeran-paugeran yang telah ditentukan.” Putut Gatra Bumi tidak menjawab. Dia hanya menurut saja ketika Pangeran Mataram itu menarik lengannya untuk mengikuti langkah calon penerus Trah Mataram itu menuju ke gubuk. Sebenarnyalah gubuk itu dibuat seperti sebuah panggungan dengan sebuah tangga kecil untuk naik ke atasnya. Dengan sekali pandang, tahulah Raden Mas Rangsang bahwa sebenarnya gubuk itu telah dibuat dengan tergesa-gesa. Gubuk itu sebelumnya pasti tidak ada di tengah hutan itu. Gubuk itu sengaja di buat oleh seseorang hanya beberapa hari yang lalu atau bahkan mungkin baru semalam gubuk itu berdiri. Seseorang tentu dengan sengaja telah membangun gubuk di tengah hutan itu dengan tujuan yang belum diketahuinya. Ketika Raden Mas Rangsang kemudian mulai memanjat anak tangga, terdengar suara sareh dari dalam gubuk menyambutnya, “Silahkan Raden. Mohon maaf aku tidak dapat menyambut kedatangan Raden sebagaimana mestinya karena keterbatasanku. Semoga Raden berkenan dengan keadaan gubuk yang serba sederhana ini.” Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Ketika kakinya telah menginjak anak tangga yang terakhir dan kepalanya kemudian melongok ke dalam melalui pintu gubuk yang tidak berdaun, pandangan matanya telah menangkap sesosok tubuh tua renta dengan lemahnya duduk di atas sehelai tikar usang di lantai gubuk yang terbuat dari papan-papan kayu yang kasar. Dengan berpegangan pada kusen pintu yang terbuat dari bambu, Raden Mas Rangsang pun kemudian dengan berjalan jongkok memasuki gubuk yang beratap rendah itu. Sambil beringsut setapak demi setapak dia mendekat ke depan Kiai Ajar Mintaraga. Sedangkan Putut Gatra Bumi ternyata tidak ikut masuk ke gubuk. Ketika Raden Mas Rangsang menaiki tangga, dia hanya berdiri menunggu saja di bawah tangga. ***** Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah timur. Para pekerja yang sedang memperbaiki atap rumah Ki Gede tampak mulai berkeringat. Dibawah petunjuk Ki Jayaraga, mereka bekerja dengan cepat memperbaiki atap yang jebol itu. “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bisik seorang pekerja yang masih muda kepada kawan di sebelahnya, “Atap itu tidak hanya jebol tapi juga terbakar.” “Aku tidak tahu,” jawab kawannya juga dengan berbisik, “Menurut para tetangga Ki Gede, menjelang dini hari tadi telah terjadi pertempuran di rumah ini.” “Siapa yang bertempur?” kembali pekerja yang masih muda itu bertanya. Kawannya tidak segera menjawab. Kedua tangannya sibuk merangkai lonjoran-lonjoran kayu yang telah dipotong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. “Tentu seorang yang sangat sakti telah menyerang rumah Ki Gede,” pekerja yang masih muda itu menjawab sendiri pertanyaannya, “Pintu pringgitan rumah ini pun juga hancur lebur dan terbakar menjadi abu.” “Naikkan kayu-kayunya ke atas!” tiba-tiba terdengar seseorang dari atas atap berteriak memotong pembicaraan kedua pekerja itu. Dengan tergesa-gesa kedua anak muda itu pun segera mengikat kayu-kayu yang telah disusun dengan seutas tali yang panjang. Setelah kayu-kayu itu terikat dengan kuat. Salah seorang segera melemparkan ujung tali yang lain ke atas untuk ditangkap oleh orang yang menunggu di atas atap. Dengan dibantu beberapa orang, kayu-kayu itu pun dengan perlahan-lahan dan sangat hati-hati ditarik ke atas atap. “Semoga sebelum Matahari tergelincir pekerjaan ini sudah selesai,” berkata Ki Gede Menoreh yang ikut mengawasi. Ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ya, Ki Gede. Semakin cepat semakin baik. Memang bekerja di bawah terik Matahari akan cukup banyak menguras tenaga.” “Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Gede, “Untuk orang-orang yang sudah terbiasa bekerja di alam terbuka dan dibawah terik panas Matahari memang bukan suatu hal yang berat. Akan tetapi alangkah baiknya jika pekerjaan ini segera selesai, sebab pintu pringgitan itu juga belum tersentuh.” “Tadi pagi aku sudah menyuruh salah seorang pembantu laki-laki Ki Gede untuk memesan pintu pringgitan,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Mungkin diperlukan waktu sekitar satu pekan untuk membuat pintu pringgitan yang bagus dengan ukiran yang cukup rumit dan njlimet.” “Ah,” desah Ki Gede sambil tersenyum, “Tidak perlu ukiran yang rumit dan njlimet seperti pintu-pintu di istana Mataram. Yang penting pintu itu cukup kuat dan kokoh.” “Agar tidak dapat dihancurkan lagi oleh orang yang mengaku pengikut keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu,” sahut Ki Jayaraga yang disambut dengan tawa oleh Ki Gede. “Apakah dinding pringgitan itu akan ditutup untuk sementara?” bertanya Ki Gede kemudian. “Ya Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sedang dibuatkan anyaman dari bambu untuk menutup lobang pintu pringgitan sebelum pesanan pintu itu selesai.” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepala sambil memandang ke arah pintu regol depan. Tampak beberapa pengawal sedang menyusuri dan mengamati jalur dari regol sampai di kelokan jalan. “Mayat kedua orang yang semalam kita jumpai dekat kelokan itu menghilang,” desis Ki Gede tanpa sadar. Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Memang aneh. Sewaktu kita berkuda dengan kencang melewati kelokan jalan itu semalam, dengan jelas terlihat dua orang terbujur dengan jarak yang tidak berjauhan di tepi jalan.” Ki Gede sejenak merenung. Katanya kemudian, “Mungkin kawan-kawan mereka sempat membawa pergi,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Hampir semua orang sibuk memadamkan api sehingga tidak ada yang memperhatikan kedua mayat itu.” “Apakah Ki Gede yakin bahwa kedua orang yang tertelungkup di tepi jalan itu sudah menjadi mayat?” tiba-tiba Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan yang tak terduga. Untuk beberapa saat Ki Gede tidak menjawab. Namun akhir kepala Tanah Perdikan itu berkata, “Menurut pandanganku yang hanya sekilas dini hari tadi, keduanya mengalami luka yang cukup parah. Kemungkinan untuk selamat sangat kecil.” Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sadar dia berdesis, “Kemampuan Ki Rangga telah merambah pada satu tataran ilmu yang lebih tinggi lagi.” Ki Gede berpaling sekilas. Sambil menarik nafas dalam, Ki Gede pun kemudian ikut bergumam, “Menurut Ki Waskita Ki Rangga sedang mendalami sebuah ilmu yang disebut aji pengangen-angen.” “Ya, aji pengangen-angen,” ulang Ki Jayaraga dengan dada yang berdebaran. Untuk beberapa saat kedua orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka benar-benar merasa bangga dan sekaligus takjub melihat perkembangan ilmu Ki Rangga yang semakin matang dan dahsyat. “Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah beberapa saat keduanya terdiam, “Sesuai dengan perintah Ki Patih Mandaraka, Glagah Putih mendapat tugas untuk melawat ke lereng gunung Tidar. Atas perkenan Ki Patih aku akan menyertai perjalanannya.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Sekilas ingatannya segera tertuju kepada orang yang menyebut dirinya Kiai Damar Sasangka dari perguruan Sapta Dhahana di lereng gunung Tidar. “Aku kira semakin cepat Ki Jayaraga berdua berangkat akan semakin baik. Dengan demikian Ki Jayaraga berdua akan mempunyai cukup waktu untuk menyelidiki kekuatan perguruan Sapta Dhahana,” berkata Ki Gede kemudian. “Ya, Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sebenarnya Ki Patih memerintahkan sepasang suami istri itu untuk melaksanakan tugas ini. Namun keberadaan kesehatan Rara Wulan tidak memungkinkan sehingga aku telah menyediakan diriku untuk mendampingi Glagah Putih.” Ki Gede mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian, “Apakah Rara Wulan sakit?” “O, tidak Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta, “Agaknya pasangan suami istri itu akan segera dikaruniai momongan, jika Yang Maha Agung memang berkenan menitipkan amanahNya.” “O, syukurlah kalau memang demikian,” sahut Ki Gede sambil menarik nafas dalam-dalam, “Semoga karunia itu akan semakin mempererat kasih sayang di antara mereka.” “Ya, Ki Gede. Kita yang tua-tua ini hanya bisa mendoakan.” Untuk beberapa saat keduanya kembali terdiam sambil mengawasi orang-orang itu bekerja. Matahari telah memanjat semakin tinggi dan panasnya semakin terasa menyengat sehingga beberapa orang yang berada di atas atap itu telah melepaskan baju mereka. “Di manakah Ki Rangga dipindahkan?” tiba-tiba Ki Gede bertanya. “Di gandhok sebelah kanan Ki Gede,” jawab ki Jayaraga, “Selama atap itu diperbaiki, ruang tengah itu untuk sementara dikosongkan.” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Jayaraga, kapan rencana Ki Jayaraga berdua berangkat?” Ki Jayaraga berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Hari ini aku kira sudah terlalu siang. Kemungkinan besuk pagi-pagi sekali kami berdua akan berangkat.” “Baiklah, aku mohon Ki Jayaraga berdua menyempatkan diri untuk menghadap Ki Patih Mandaraka di Mataram sehubungan dengan peristiwa yang terjadi semalam.” “Benar Ki Gede. Ki Patih harus mendapat laporan secepatnya. Agaknya kebangkitan orang-orang yang mengaku keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu harus segera diwaspadai dan ditindak-lanjuti. Kejadian di tanah pekuburan kemarin pagi yang telah melibatkan Ki Patih sendiri dan kejadian semalam menunjukkan bahwa mereka mempunyai kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Mungkin beberapa perguruan lain telah melibatkan diri selain sisa-sisa murid perguruan Nagaraga itu sendiri. Yang perlu diwaspadai adalah orang yang memiliki keris Kiai Sarpasri itu. Menurut keterangan Ki Waskita, kali ini kekuatan ilmunya memang masih selapis tipis di bawah Ki Rangga, namun aku yakin dalam waktu dekat dia akan segera menempuh laku untuk meningkatkan dan menyempurnakan ilmunya.” Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai kenangan silih berganti di dalam benaknya. Sejak kejayaan Demak lama dibawah kepemimpinan Sultan Trenggana, kemudian sepeninggal Sultan Trenggana pemerintahan bergeser ke Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya yang semasa mudanya bergelar Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Terakhir wahyu keprabon itu kini telah bergeser ke Mataram dibawah kepemimpinan keturunan Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram. “Perebutan kekuasan di atas tanah ini selalu saja datang silih berganti,” berkata Ki Gede dalam hati, “Jika setiap orang merasa berhak atas tahta, kedamaian di atas tanah ini tidak akan mungkin dapat tercapai.” “Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian membuyarkan lamunan pemimpin tertinggi Perdikan Menoreh itu, “Aku kira para pekerja itu sudah tidak perlu ditunggui lagi. Jika Ki Gede berkenan, sebaiknya kita ke gandhok kanan sebentar untuk menengok Ki Rangga.” Ki Gede sejenak mengerutkan kening. Katanya kemudian, “Marilah Ki, aku memang ingin bertanya serba sedikit tentang orang yang memiliki keris Kiai Sarpasri itu kepada Ki Rangga.” Demikianlah, kedua orang tua itu pun kemudian segera meninggalkan tempat itu untuk menjenguk Ki Rangga yang untuk sementara waktu berada di gandhok sebelah kanan. *** Dalam pada itu di Tegal Kepanasan, Bango Lamatan sedang duduk berlindung dari teriknya Matahari dibawah bayangan sebuah pohon yang rindang. Wajahnya terlihat gelisah. Sesekali dia berdiri dan berjalan mondar-mandir dibawah pohon di tepi Tegal Kepanasan itu. Entah sudah berapa kali kepalanya mendongak untuk melihat letak Matahari yang masih belum sampai ke puncak. Ketika dia sudah merasa bosan berjalan mondar-mandir, dihempaskan tubuhnya dibawah pohon sambil mengumpat, “Gila! Aku bisa mati kekeringan di sini. Begawan Cipta Hening itu benar-benar gila. Bagaimana jika orang yang akan aku bunuh itu ternyata tidak lewat di Tegal Kepanasan ini? Atau mungkin Begawan itu hanya ngaya-wara saja?” Ketika Bango Lamatan benar-benar sudah hampir putus asa, tiba-tiba indera penciumannya yang tajam lamat-lamat mencium bau harum mewangi yang timbul tenggelam dibawa semilirnya angin pegunungan. “Hem,” desah Bango Lamatan sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bau semerbak mewangi itu memang diluar kewajaran. Untuk beberapa saat Bango Lamatan belum dapat mengambil sebuah kesimpulan apapun tentang bau semerbak mewangi yang semakin lama menjadi semakin tajam. “Aku pernah mendengar dongeng tentang peri gunung,” berkata Bango Lamatan dalam hati sambil mencoba mempertajam indera penciumannya, “Tapi aku yakin itu hanyalah cerita ngaya wara sekedar untuk pengantar tidur kanak-kanak.” Ketika untuk beberapa saat angin kemudian berhenti bertiup, bau semerbak mewangi itu pun tiba-tiba telah menghilang. “Jangan-jangan Begawan gila itu yang membuat ulah!” geram bango Lamatan sambil bangkit berdiri, “Dikiranya aku anak ingusan yang ketakutan begitu mencium bau wangi yang aneh di puncak bukit yang sunyi ini.” Namun ketika angin pegunungan kembali bertiup dan kali ini agak kencang, bau semerbak mewangi itu pun kembali memenuhi udara di tempat Bango Lamatan berdiri, bahkan lebih tajam lagi. “Setan, demit, gendruwo, tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil mendengus kesal. Tanpa disadarinya bulu-bulu di sekujur tubuhnya telah merinding. “Mengapa aku menjadi seperti seorang pengecut!” kembali Bango Lamatan mengumpat. Kali ini dengan suara agak keras untuk mengatasi gejolak yang sedang melanda dalam dadanya. “Aku harus mencari sumber bau ini,” berkata Bango Lamatan dalam hati sambil melangkahkan kakinya melawan arah angin, “Dari arah lereng sebelah selatan itu mungkin bau semerbak mewangi ini berasal.” Dengan langkah lebar Bango Lamatan pun kemudian berjalan meninggalkan Tegal Kepananasan menuju ke lereng perbukitan Menoreh sebelah selatan. Ketika Bango Lamatan baru saja akan menuruni lereng yang cukup landai itu, tiba-tiba saja pandangan matanya yang tajam telah melihat sesuatu yang bergerak di bawah sana. Memang jaraknya masih cukup jauh. Di antara batang-batang pohon yang tumbuh menjulang serta gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan, tampak bayangan seseorang dengan langkah yang gemulai berjalan menaiki lereng. Semakin lama bayangan itu semakin tampak jelas. Dalam siraman cahaya Matahari yang terang benderang, tampak seorang perempuan muda sedang berjalan perlahan menaiki lereng sebelah selatan. “Siapakah perempuan itu?” tanpa sadar bibir bango Lamatan bergumam. Dengan mengerahkan aji sapta pandulu, Bango Lamatan pun kemudian mencoba melihat lebih jelas perempuan muda yang berjalan dengan gemulai menuju ke arahnya. “He?” seru bango Lamatan dengan nada sedikit tertahan. Darahnya bagaikan tersirap sampai ke ubun-ubun begitu dapat melihat dengan jelas wajah perempuan muda itu, “Siapakah perempuan itu? Alangkah cantiknya! Seumur hidupku aku belum pernah berjumpa dengan perempuan secantik itu!” Tiba-tiba saja dada Bango Lamatan berdesir tajam. Sungguh tidak dapat dinalar, jika di puncak perbukitan Menoreh yang sunyi ini terdapat seorang perempuan cantik dengan bau semerbak mewangi. “Persetan dengan segala dongeng ngaya wara!” geram Bango Lamatan sambil mencoba mengeraskan hatinya. Dengan dada yang berdebaran dia menunggu perempuan cantik itu sampai di hadapannya. Dalam pada itu, perempuan muda yang sangat cantik mempesona itu agaknya sudah mengetahui bahwa kehadirannya telah ditunggu oleh seseorang di atas lereng. Dengan sebuah senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya yang mungil kemerahan, perempuan muda itu pun melangkah semakin dekat ke tempat Bango Lamatan berdiri menunggu. Selangkah demi selangkah perempuan yang bagaikan golek kencana itu menjadi semakin dekat. Bango Lamatan yang menunggu di atas lereng hanya dapat berdiri membeku bagaikan terkena sihir. Sepasang matanya tidak berkedip memandangi sekujur tubuh perempuan muda yang penuh dengan lekuk-lekuk indah. Rambutnya disanggul tinggi sehingga dengan sangat jelas memperlihatkan lehernya yang jenjang dan halus mulus. Beberapa helai anak rambutnya yang berjuntai dengan indahnya tampak beriak-riak tertiup angin pegunungan yang lembut. Sementara sepasang matanya yang bagaikan bintang timur itu menatap bening ke arah Bango Lamatan tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Ketika perempuan muda dengan paras cantik bak putri-putri Raja dalam dongeng-dongeng itu tinggal beberapa langkah saja dari tempat Bango Lamatan berdiri, dia segera menghentikan langkahnya dan menghadap penuh ke arah Bango Lamatan. Sementara bau semerbak mewangi yang memang berasal dari tubuh perempuan cantik itu semakin lama menjadi semakin menyengat dan memabokkan. Perlahan tapi pasti, bau semerbak mewangi itu telah merasuki otak Bango Lamatan sehingga dia tidak mampu lagi untuk mempergunakan penalarannya secara jernih. Untuk beberapa saat Bango Lamatan bagaikan membeku di tempatnya. Hanya beberapa langkah di hadapannya sedang berdiri dengan anggunnya seorang perempuan muda yang sangat cantik. Kecantikan yang nyaris sempurna dengan bau semerbak mewangi yang selalu terpancar dari lekuk-lekuk tubuhnya. Bango Lamatan yang sepanjang hidupnya tidak pernah mengikatkan dirinya dengan seorang perempuan pun, kini sekujur tubuhnya bagaikan tersiram banyu sewindu, menggigil seperti orang kedinginan. Namun darah di dalam jantungnya justru telah menggelegak dahsyat bagaikan air mendidih yang secara perlahan tapi pasti mengalir ke seluruh urat-urat nadinya dan memanasi setiap jengkal tubuhnya. “Siapakah Ni Sanak ini?” akhirnya dengan suara parau dan sedikit bergetar Bango Lamatan pun bertanya. Perempuan muda yang kecantikannya bagaikan puteri-puteri dalam dongeng itu tidak segera menjawab, hanya tersenyum manis, bahkan terlalu manis sehingga dengan sekuat tenaga Bango Lamatan harus menahan hasratnya untuk tidak meloncat dan menubruk perempuan muda di hadapannya itu. “Namaku Anjani,” akhirnya perempuan muda itu menjawab dengan suara lembut sambil mengangkat kedua tangannya yang lemah gemulai itu untuk membenahi sanggulnya. Gerakan yang wajar bagi seorang perempuan namun yang hampir saja membuat Bango Lamatan jatuh pingsan. “Anjani?” ulang Bango Lamatan sambil sekuat tenaga menahan gemuruh di dalam rongga dadanya, “Seumur hidupku, belum pernah aku menjumpai perempuan secantik Nimas Anjani ini.” “Ah,” desah Anjani sambil kembali tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya yang indah itu, “Aku sudah terbiasa menerima pujian setiap laki-laki yang aku jumpai,” Anjani berhenti sejenak sambil sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah Bango Lamatan. Kemudian lanjutnya, “Namun aku merasa selama ini tidak ada seorang pun yang secara tulus memujiku.” “O, tidak tidak! Itu tidak benar,” sahut Bango Lamatan cepat dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari seraut wajah cantik itu, “Ketahuilah. Aku Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra tidak pernah bicara lelamisan. Jika memang hitam, akan aku katakan hitam. Dan jika memang putih, aku pun akan mengatakan putih.” Berdesir dada Anjani begitu menyadari orang yang berdiri di hadapannya ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra. Anjani memang belum mengenal bango Lamatan, namun nama Panembahan Cahya Warastra telah sering didengarnya sejak dia bersama Resi Mayangkara berada di Menoreh. “Bukankah Panembahan Cahya Warastra sudah terbunuh dalam perang tanding melawan Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya Anjani dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Kalau yang berdiri di hadapanku sekarang ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra, tentu bukan orang ini yang dimaksud oleh kakek Tanpa Aran yang aku jumpai tadi pagi.” Sejenak ingatan Anjani kembali ke beberapa saat yang lalu ketika dia sedang menyusuri hutan di kaki Bukit Menoreh. Matahari baru saja memancarkan sinarnya menerangi pucuk-pucuk pepohonan ketika Anjani menjumpai seorang Kakek sedang duduk bersimpuh di bawah sebatang pohon. Pada awalnya Anjani tidak banyak menaruh perhatian kepada Kakek itu. Namun justru kakek itulah yang telah memanggilnya ketika dia berjalan melewati pohon tempat Kakek itu duduk bersimpuh. “Berhentilah sebentar ngger, apakah aku bisa memohon pertolongan dari angger?” berkata Kakek itu tiba-tiba sambil melambaikan tangan kanannya. Sementara tangan kiri Kakek itu erat memegang sebuah lodong dari bambu yang biasanya untuk menyimpan air. Anjani segera menghampiri kakek yang bersimpuh di bawah pohon itu. Sesampainya di hadapannya, Anjani segera berlutut sambil menyapa, “Siapakah Kakek ini dan ada apakah Kakek memanggil aku?” Sejenak Kakek itu menatap Anjani dengan mata yang buram berlinang air mata. Katanya kemudian, “Ngger, orang menyebutku kakek Tanpa Aran. Sudah sejak semalam aku duduk di sini menunggu seseorang yang dapat aku mintai pertolongan. Syukurlah angger telah lewat dan agaknya Yang Maha Agung memang telah mengirim angger untuk menolongku.” Anjani mengerutkan keningnya. Dia belum mengenal kakek itu dan mungkin sebaliknya kakek itu pun juga belum mengenalnya. Namun mengapa kakek itu begitu yakin dirinya dapat menolongnya? Berpikir sampai disitu, Anjani pun akhirnya bertanya, “Kakek, kita belum pernah saling bertemu apalagi mengenal satu sama lainnya. Apakah kakek yakin aku dapat menolong mengatasi persoalan yang sedang menimpa Kakek saat ini?” Kakek itu tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Ngger, aku mempunyai panggraita bahwa anggerlah orang yang akan menolong aku. Bukankah angger akan mendaki perbukitan Menoreh?” Anjani tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk. Kembali orang tua itu tersenyum sareh. Lanjutnya kemudian, “Aku mohon angger berkenan menolongku. Carilah cucuku yang sekarang ini mungkin juga sedang berada di sekitar perbukitan Menoreh. Bujuklah dia agar mau mengurungkan niatnya dan kembali pulang ke rumah.” Sekali lagi Anjani mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Kek, perbukitan Menoreh ini sangat luas. Dimana kah aku harus mencari cucu Kakek? Dan apakah sebenarnya yang sedang dilakukannya di sana?” Untuk beberapa saat kakek itu tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang tertunduk sambil menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ingin dilonggarkan rongga dadanya dari segala persoalan yang sedang menghimpitnya. Setelah sekali lagi menarik nafas dalam, akhirnya kakek itu pun menjawab, “Ngger, carilah cucuku itu di sekitar tempat yang bernama Tegal Kepanasan. Dia sedang lelaku untuk mencari kayu gung susuhing angin yang menurut wangsit yang diterimanya melalui sebuah mimpi, berada di sekitar Tegal Kepanasan.” Untuk ke sekian kali kening Anjani menjadi semakin berkerut-merut. Dia menjadi sedikit ragu-ragu dengan kakek yang duduk bersimpuh di hadapannya itu. Dia belum pernah mendengar sejenis kayu seperti yang dikatakan oleh Kakek itu. Selebihnya, hanya orang yang tidak dapat menggunakan nalar dengan jernih yang mau melakukan sesuatu hal hanya berdasarkan pada sebuah mimpi. “Bagaimana Nimas Anjani?” tiba-tiba pertanyaan Bango Lamatan telah membuyarkan lamunan Anjani. “Apa maksudmu, Ki Bango Lamatan?” Anjani justru balik bertanya sambil mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung indah bak bulan sabit. Sejenak, Bango Lamatan menahan nafasnya sambil memejamkan matanya untuk mengumpulkan keberaniannya. Pengaruh Aji Seribu Bunga dari Anjani ternyata telah memburamkan penalarannya. Katanya kemudian dengan suara bergetar dan penuh tekanan, “Ketahuilah Nimas Anjani. Hanya engkau lah yang telah menjawab mimpi-mimpi di setiap gelisah tidurku selama ini. Yang telah menerangi kegelapan jiwaku akan cinta kasih yang selama ini aku abaikan. Yang menyirami taman hatiku yang selama ini aku biarkan tandus dan gersang. Yang telah…..” “Cukup!” potong Anjani dengan serta merta. Kedua pipinya yang ranum itu kini tampak semakin memerah sehingga menambah kecantikannya saja. “Ki Bango Lamatan!” lantang terdengar suara Anjani sambil membusungkan dada dan bertolak pinggang. Sebuah pemandangan yang membuat orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu harus menelan ludah berkali-kali untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja terasa sangat kering kerontang. Berkata Anjani selanjutnya “Dengar! Aku adalah salah seorang sahabat Ki Rangga Agung Sedayu. Musuh Ki Rangga berarti musuhku juga. Nah, jangan banyak bertingkah. Menyerah sajalah untuk aku bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Engkau harus mempertanggung-jawabkan segala polah tingkahmu selama menjadi pengikut Panembahan Cahya Warastra!” Bango Lamatan sama sekali tidak menjawab. Seolah-olah tidak didengarnya semua perkataan Anjani. Hanya wajahnya saja yang tampak sebentar merah sebentar pucat dengan sepasang mata yang membelalak serta peluh yang bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Anjani yang berdiri di hadapannya itu kini benar-benar bagaikan seekor domba muda yang gemuk di hadapan seekor serigala tua yang kelaparan. Namun, sebelum Bango Lamatan memutuskan berbuat sesuatu untuk memuaskan hasratnya yang hampir meledakkan dada, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, terdengar suara tembang yang ngelangut dibawa oleh semilirnya angin pegunungan. Ana kidung rumekso ing wengi Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh jim setan datan purun paneluhan tan ana wani niwah panggawe ala gunaning wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirno Sakehing lara pan samya bali Sakeh ngama pan sami mirunda Welas asih pandulune Sakehing braja luput Kadi kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak tutut Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwaning wong lemah miring Myang pakiponing merak Bagaikan tesadar dari sebuah mimpi buruk, perlahan tapi pasti penalaran Bango Lamatan mulai jernih kembali. Pengaruh bau semerbak mewangi yang memabokkan itu bagaikan asap yang tertiup angin, perlahan tapi pasti secara berangsur-angsur menyusut dari dalam otaknya. Untuk beberapa saat Bango Lamatan masih termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa. Namun penalarannya yang mulai jernih segera menyadari tugas apa yang sedang dibebankan di atas pundaknya. “Terima kasih Begawan,” desah Bango Lamatan lirih begitu mengenali suara itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Dipenuhi rongga dadanya dengan angin pegunungan yang segar, yang telah terbebas dari pengaruh bau harum mewangi Aji Seribu Bunga. Sedangkan Anjani yang juga mendengar kidung itu bagaikan tersirap darahnya sampai ke ubun-ubun. Rasa-rasanya ada hawa dingin yang tajam menusuk ulu hatinya sehingga untuk beberapa saat Anjani telah menggigil kedinginan, walaupun pada saat itu Matahari hampir mencapai puncaknya. “Gila!” geram Anjani dalam hati sambil menekan dadanya yang terasa sakit dengan telapak tangan kanannya, “Luka dalam dadaku sudah tidak terasa sakit lagi ketika Ki Tanpa Aran tadi pagi memberiku minum dari lodong bambunya, namun kini terasa sakit lagi.” Menyadari Bango Lamatan sudah terbebas dari pengaruh Aji Seribu Bunganya, Anjani segera bergeser surut untuk mempersiapkan diri jika terjadi perubahan sikap Bango Lamatan terhadap dirinya. “Ki Tanpa Aran tadi sudah memperingatkan aku bahwa di Tegal Kepanasan banyak berkeliaran para penjahat dan orang-orang yang bermaksud jahat terhadap cucunya,” berkata Anjani dalam hati sambil bergeser setapak lagi ke belakang, “Mungkin yang dimaksud Ki Tanpa Aran salah satunya adalah orang ini.” “Ngger,” berkata Ki Tanpa Aran kepadanya pagi tadi, “Angger harus waspada pada saat nanti menginjakkan kaki di Tegal Kepanasan. Banyak orang-orang jahat yang menginginkan kayu gung susuhing angin itu dari tangan cucuku. Maka berhati-hatilah ngger.” Demikianlah, pada saat Anjani mulai mendaki lereng perbukitan Menoreh pagi tadi, secara perlahan tapi pasti Anjani telah mengetrapkan Aji Seribu Bunga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi. “Tidak menutup kemungkinan aku akan menghadapi rintangan lebih dari seorang,” berkata Anjani dalam hati sambil mendaki Perbukitan Menoreh pagi tadi. Dalam pada itu, Bango Lamatan yang sudah benar-benar menyadari jati dirinya segera bersiap. Katanya kemudian, “Luar biasa. Agaknya engkau memiliki sejenis ilmu sihir yang dapat mempengaruhi daya penalaran seseorang. Untunglah Sang Begawan telah menolong aku. Sekarang engkau harus ikut aku menghadap Sang Begawan untuk menjadi tumbal menemani Pangeran Pati Mataram yang juga akan aku bunuh siang ini.” Selesai berkata demikian, tanpa sadar Bango Lamatan mendongakkan kepalanya untuk melihat ke langit. Ternyata Matahari sedang bersinar dengan garangnya tepat di atas ubun-ubun. “Pangeran Pati itu!” seru Bango Lamatan begitu menyadari Matahari telah mencapai puncaknya. Dengan segera dia berbalik dan berlari menuju ke Tegal Kepanasan kembali. Tidak dihiraukan lagi Anjani yang sedang berdiri terheran-heran melihat segala tingkah polahnya. Sejenak kemudian Bango Lamatan yang sudah sampai di Tegal Kepanasan itu dengan pandangan mata yang nanar segera mencari bayangan seseorang. Begawan Cipta Hening telah memberitahu dirinya bahwa Pangeran Pati itu akan lewat di tempat itu tepat saat Matahari di atas ubun-ubun. “Itu dia!” seru Bango Lamatan dengan geram ketika melihat seorang anak muda berjalan dengan tegap dan gagah melintasi gerumbul dan semak belukar menuju ke Tegal Kepanasan. Dengan beberapa kali loncatan saja Bango Lamatan telah berdiri dengan kedua kaki renggang di tengah-tengah Tegal Kepanasan. Dengan bertolak pinggang, Bango Lamatan pun kemudian berseru keras, “Kemarilah Raden! Aku sudah menunggu Raden sedari Matahari terbit pagi tadi.” Pemuda yang sedang berjalan menuju Tegal Kepanasan itu memang Raden Mas Rangsang, Pangeran Pati Mataram. Tanpa ada rasa kecurigaan sama sekali, Putra Mahkota itu tetap mengayunkan langkahnya mendekati tempat Bango Lamatan berdiri menunggu. ***** Berdesir dada Bango Lamatan begitu melihat tatapan mata Raden Mas Rangsang yang seolah berkilat menyala walaupun dalam terik sinar Matahari. Degup jantung orang kepercayaan Panembahan Cahya warastra itu semakin lama semakin kencang seiring dengan langkan Raden Mas Rangsang yang semakin dekat. Ketika langkah Raden Mas Rangsang tinggal enam langkah dari tempat Bango Lamatan berdiri, Pangeran Pati Mataram itu pun menghentikan langkahnya. Sambil menatap tajam ke arah orang yang berdiri di hadapannya, Raden Mas Rangsang itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak, aku secara pribadi belum mengenal Ki Sanak. Kalau bukan karena suatu hal yang sangat penting, tentu Ki Sanak tidak akan bersusah payah menungguku untuk sekian lama di tengah Tegal Kepanasan ini.” Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Raden benar. Sudah sejak dini hari tadi aku menunggu Raden di tempat ini. Bersiaplah Raden, aku tidak boleh terlambat lagi. Aku tidak ingin Sang Begawan menunggu terlalu lama. Nasib Panembahan Cahya Warastra menjadi taruhannya.” Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dia benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan orang yang berdiri di hadapannya itu. Bahkan namanya pun di belum tahu. “Sebentar Ki Sanak,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian, “Aku tidak mengerti apa yang sedang Ki Sanak bicarakan. Bahkan Ki Sanak pun belum memperkenalkan diri.” Beberapa saat Bango Lamatan tertegun. Memang karena ketergesa-gesaannya, dia belum sempat memberitahukan namanya. Namun sebenarnya semua basa-basi itu bagi Bango Lamatan tidak penting. Tujuannya hanya satu, membunuh Putra Mahkota Mataram itu dan menyerahkan jasadnya kepada Begawan Cipta Hening. “Raden,” berkata Bango Lamatan pada akhirnya, “Memang sebaiknya Raden mengetahui keadaan yang sebenarnya sebelum maut menjemput Raden. Ketahuilah Raden, aku Bango Lamatan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra akan membunuh Raden sekarang juga di tengah Tegal Kepanasan ini sebagai persyaratan yang diminta oleh Sang Begawan untuk menghidupkan kembali Panembahan Cahya Warastra.” Tampak kerut merut semakin dalam di kening Pangeran Pati Mataram itu. Namun lambat laun kerut merut itu memudar seiring dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya. “Ki Bango Lamatan,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian sambil tetap tersenyum, “Apakah sambil menunggu kedatanganku tadi Ki Bango Lamatan sempat menghabiskan berlodong-lodong tuak? Agaknya Ki Bango Lamatan kurang menyadari dengan apa yang telah Ki Bango ucapkan sendiri. Sebaiknya Ki Bango Lamatan beristirahat saja untuk menenangkan pikiran dan memulihkan kesadaran. Aku mohon jangan ganggu aku lagi. Aku akan meneruskan perjalananku.” “Persetan dengan celotehmu Raden!” bentak Bango Lamatan menggelegar bagaikan guruh di langit, “Raden sangka aku sedang mabok tuak? Tidak Raden, aku sedang bersungguh-sungguh. Lebih baik Raden segera mempersiapkan diri. Bukan salahku jika pada benturan yang pertama Raden dengan sangat mudahnya akan aku lumpuhkan.” Memerah darah wajah Pangeran Pati itu. Dengan suara sedikit keras dia berkata, “Ki Bango Lamatan, aku merasa di antara kita tidak pernah terjadi silang sengketa. Jadi, apakah sebenarnya niat dibalik semua sandiwara Ki Bango Lamatan ini?” Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Seperti yang sudah aku katakan. Nyawa Raden akan menjadi tumbal sebagai pengganti nyawa Panembahan Cahya Warastra. Melawan atau tidak melawan, aku akan tetap membunuh Raden.” Kini raden Mas Rangsang menyadari sepenuhnya bahwa orang yang berdiri di hadapannya itu tidak sedang mabok tuak, tetapi benar-benar akan membunuhnya. Tanpa menarik perhatian, Raden Mas Rangsang pun segera mempersiapkan diri. “Ki Bango Lamatan,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian masih mencoba mencari jalan keluar, “Apakah mungkin seseorang yang sudah mati itu dapat dihidupkan lagi dengan cara membunuh orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya? Dan selebihnya, aku belum pernah mendengar ada sebuah ilmu yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati.” ***** Kembali Bango Lamatan tertawa. Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Raden. Di sebuah goa yang terletak di puncak tertinggi bukit Menoreh ini, tinggal seorang Begawan Sakti yang menguasai ilmu sulih nyawa. Sang Begawan telah berjanji untuk menukar nyawa Raden dengan kehidupan Panembahan Cahya Warastra.” Berdesir jantung Raden Mas Rangsang mendengar keterangan Bango Lamatan. Betapapun juga kata-kata orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu sedikit banyak telah menggetarkan dadanya. “Nah, Raden! Jangan merajuk. Tataplah langit peluklah bumi, jangan rindukan lagi Matahari esok pagi!” Selesai berkata demikian, Bango Lamatan pun segera melancarkan serangannya. Dengan sebuah loncatan panjang, kaki kirinya lurus meluncur deras mengarah ke dada Raden Mas Rangsang yang berdiri beberapa tombak di hadapannya. Raden Mas Rangsang yang telah mempersiapkan diri sebelumnya segera menggeser kedudukannya selangkah ke kiri. Ketika kaki kiri lawannya yang terjulur lurus itu lewat sejengkal dari dadanya, kedua tangan Raden Mas Rangsang itu pun telah berusaha menangkap pergelangan kaki lawannya. Bango Lamatan yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran itu segera menggeliat di udara sambil menarik kakinya yang terjulur lurus. Demikian kaki kirinya itu berhasil ditarik, sebagai gantinya tangan kanan Bango Lamatan terayun deras memukul tenguk. Tentu saja perawis tahta Mataram itu tidak akan membiarkan tengkuknya patah terkena sambaran serangan lawan. Dengan sedikit merundukkan kepalanya, tangan kanan Raden Mas Rangsang yang justru telah mengancam ulu hati Bango Lamatan. Demikianlah sejenak kemudian pertempuran di Tegal Kepanasan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Walaupun Raden Mas Rangsang masih terhitung sangat muda, namun kemampuan olah kanuragan serta kekuatannya benar-benar ngedab-edabi. Ketika sesekali terjadi benturan yang tak terelakkan antara keduanya, Bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan alang-kepalang. Kekuatan Pangeran Pati Mataram itu benar-benar setara dengan kekuatan seekor banteng ketaton. ***** Dalam pada itu Matahari telah sejengkal tergelincir dari puncaknya. Sinarnya yang masih garang telah membakar Tegal Kepanasan, namun kedua orang yang sedang menyabung nyawa itu benar-benar sudah tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Keduanya bagaikan dua ekor singa yang sedang berlaga mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati. Namun Bango Lamatan adalah tokoh angkatan tua yang jauh lebih berpengalaman dari pada Raden Mas Rangsang. Penggunaan nalar serta perhitungannya lebih matang dari lawannya yang masih muda, sehingga lambat laun keadaan pewaris tahta Mataram itu sedikit demi sedikit terlihat mulai terdesak. “Raden,” berkata Bango Lamatan kemudian sambil terus melancarkan serangan mendesak lawannya, “Lebih baik Raden menyerah. Aku berjanji tidak akan menyakiti Raden di saat-saat terakhir Raden.” “Diam!” bentak Raden Mas Rangsang sambil menloncat mundur beberapa tombak. Melihat lawannya mengambil jarak, Bango Lamatan tidak mengejar. Dia justru berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang sambil tertawa berkepanjangan. “Sudahlah Raden. Tidak ada gunanya. Menyerahlah!” berkata Bango Lamatan kemudian masih sambil tertawa. Namun suara tertawa Bango Lamatan itu tiba-tiba saja terputus begitu dia menyadari ada sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi pada diri lawannya. Tampak sebuah asap tipis kemerah-merahan mengepul dari ubun-ubun Putra Mahkota itu. Sementara dari kedua bola matanya yang sedang memandang tajam kearahnya, muncul selarik sinar kebiru-biruan bagaikan mata seekor kucing yang bersinar dalam gelap. “Sebuah pertanda telah menyatunya wahyu keprabon dalam diri anak muda ini,” berkata Bango Lamatan dalam hati dengan jantung yang berdegup semakin kencang. “Ki Bango Lamatan!” terdengar Pangeran Pati itu menggeram membuyarkan lamunan lawannya, “Atas nama pemerintah Mataram, menyerahlah! Aku akan mengusahakan keringanan hukuman di hadapan Ayahanda Panembahan Hanyakrawati jika engkau menyerah dengan baik-baik. Namun kalau engkau tetap bersikukuh ingin membunuhku, jangan salahkan aku kalau petualangan seorang Bango Lamatan akan berakhir di Tegal Kepanasan ini.” “Ah,” Bango Lamatan tertawa pendek. Katanya kemudian, “Jangan bermimpi Raden, hari masih terlalu siang untuk bermimpi. Sebaiknya Raden menyerah saja secara baik-baik agar urusan ini segera selesai.” Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Dengan sebuah bentakan yang menggelegar, Pangeran Pati Mataram itu pun tiba-tiba telah meloncat dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh pandangan mata wadag menerjang ke arah lawannya. Sekali ini bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan buatan. Kecepatan gerak lawannya bagaikan tatit yang meloncat di udara. Disertai dengan suara angin yang menderu kencang, serangan Raden Mas Rangsang pun melanda Bango Lamatan. Tidak ada kesempatan bagi Bango Lamatan untuk menghindar. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah menyilangkan kedua lengannya di depan dada disertai dengan pengerahan tenaga cadangan setinggi-tingginya untuk menahan gempuran ilmu lawannya. Sejenak kemudian terdengar benturan yang dahsyat. Bumi seolah-olah ikut terguncang. Kedua orang yang menyabung nyawa itu sama-sama telah terlempar ke belakangan beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah. “Setan, Gendruwo, Tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil meloncat berdiri. Rongga dadanya terasa sesak dan nafasnya bagaikan tersumbat. Sedangkan Raden Mas Rangsang ternyata telah mengalami goncangan yang membuat dadanya bagaikan retak. Ketika Putra Mahkota itu kemudian mencoba bangkit berdiri, sejenak dia terhuyung-huyung namun dengan cepat segera dapat menguasai diri dan kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang. “Aji Bajrageni,” geram Bango Lamatan dalam hati. Aji Bajrageni adalah salah satu dari sekian aji jaya kawijayan yang dimiliki oleh Sultan Trenggana penguasa Demak lama. Agaknya aji itu telah diwariskan kepada Mas Karebet, anak menantunya yang kemudian menjadi Sultan Pajang. Tidak menutup kemungkinan bahwa Sultan Hadiwijaya pun kemudian juga mewariskan ilmu itu kepada anak angkatnya yang terkasih, Danang Sutawijaya yang kemudian berkuasa di Mataram. “Anak ini masih sangat muda namun sudah mampu menguasai Aji Bajrageni sedemikian dahsyatnya,” berkata Bango Lamatan dalam hati, “Jika di kelak kemudian hari dia berhasil mematangkan ilmunya ini, dia benar-benar akan mampu menggulung jagad.” Dalam pada itu, Raden Mas Rangsang yang telah mampu memperbaiki kedudukannya segera menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur dari tebing yang curam. Setelah sejenak memulihkan kekuatannya, Raden Mas Rangsang pun telah siap melancarkan serangannya kembali. Bango Lamatan yang melihat lawannya telah siap melancarkan serangannya kembali segera mengambil sikap. Dia tidak ingin terlambat lagi dan gagal memenuhi permintaan Begawan Cipta Hening. Demikianlah ketika Raden Mas Rangsang telah siap dengan serangannya kembali, tiba-tiba saja dia telah dikejutkan oleh keberadaan lawannya yang tiba-tiba saja telah lenyap dari pandangan matanya. “He! Pengecut!” teriak Raden Mas Rangsang dengan jantung yang berdebaran, “Jangan seperti kanak-kanak yang senang bermain petak umpet!” Bango Lamatan tertawa berkepanjangan mendengar teriakan lawannya. Suara tawanya terdengar bergema memenuhi Tegal Kepanasan sehingga menyulitkan Raden Mas Rangsang untuk melacak keberadaannya. “Silahkan Raden menemukan persembunyianku,” terdengar suara Bango Lamatan bergulung-gulung memenuhi tempat itu, “Alangkah mudahnya bagiku untuk membunuh Raden sekarang ini. Dengan sebuah serangan yang sederhana pun Raden tidak akan mampu menghindarinya.” Raden Mas Rangsang menggeram marah. Dicobanya mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu Bahkan Sapta Pangganda untuk mencari keberadaan lawannya. Namun usaha Pangeran Mataram ini tampaknya sia-sia. Kembali terdengar suara tertawa Bango Lamatan yang menggelegar dan bergulung-gulung memenuhi udara Tegal Kepanasan. Terdengar suaranya di antara tawa yang berkepanjangan, “Raden, menyerahlah! Aku akan menangkapmu hidup-hidup dan tentu Begawan Cipta Hening akan lebih senang jika dapat mengetrapkan ilmu sulih nyawanya ketika Raden masih dalam keadaan hidup. Dengan demikian Panembahan Cahya Warastra akan kembali hidup dengan sempurna.” “Tutup mulutmu!” bentak Pangeran Pati Mataram itu dengan suara tak kalah dahsyatnya. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dengan kekuatan penuh Aji Bajrageni. Namun alangkah kecewanya Raden Mas Rangsang begitu menyadari serangannya hanya mengenai tempat kosong. Justru tanah serta rerumputan liar yang segaris dengan serangan Aji Bajrageni itu bagaikan meledak dan berhamburan ke udara. Butiran-butiran tanah serta rumput-rumput liar itu pun hancur menjadi abu terkena kedahsyatan puncak Aji Bajrageni. “Gila!” geram Bango Lamatan tanpa sadar begitu melihat akibat dari kekuatan puncak Aji Bajrageni, “Ternyata pada kekuatan puncaknya Aji Bajrageni itu mampu membakar sasarannya menjadi abu. Aku tidak menyangka kalau Putra Mahkota yang masih muda itu ternyata telah tuntas mempelajarinya.” Diam-diam Bango Lamatan tergetar hatinya. Pada benturan pertama tadi ternyata Raden Mas Rangsang masih belum sampai ke puncak ilmunya. Dalam pada itu Raden mas Rangsang yang merasa dipermainkan oleh lawannya menjadi semakin marah. Sudah dicobanya untuk mendengar setiap desir langkah lawannya melalui Aji Sapta Pangrungu, atau bayangan sekilas yang mungkin dapat tertangkap oleh Aji Sapta Pandulu, bahkan telah dicobanya pula untuk mengetrapkan Aji Sapta Pangganda barangkali indra penciumannya dapat mengendus bau keringat yang keluar dari tubuh lawannya. Namun semua usahanya itu tampaknya sia-sia. Bango Lamatan benar-benar lenyap bagaikan ditelan bumi. bersambung ke bagian 2 Pages 1 2 3 CaraKerja Palang Pintu Kereta Api; Api Dibukit Menoreh Seri Iv; Ciri Ciri Batu Barjad Api; Api Dibukit Menoreh Jilid 417; Api Dibukit Menoreh 416; Api Di Kota Aden; Api Di Bukit Menoreh Pdf Download; Api Di Bukit Menoreh Lanjutan; Api Di Bukit Menoreh 397; Api Di Bukit Menoreh 343; Api Dan Lentera Lirik; Makalah Tentang Transportasi Kereta Api ♦ 15 Juli 2010 Dalam pada itu, Kiai Gringsing justru teringat kepada Pandan Wangi yang berlandaskan pada ilmu dari aliran Tanah Perdikan Menoreh. Di luar sadarnya, karena ketekunannya meningkatkan ilmu, maka Pandan Wangi telah merambah kepada sejenis ilmu yang nampaknya memperkaya kemampuannya, sebelum ia mengandung. Tetapi sudah tentu pada saat-saat ia menunggu kelahiran bayinya yang menjadi semakin dekat, maka Pandan Wangi harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus sesuai dengan keadaannya. Swandaru sendiri telah memandangi gurunya yang termangu-mangu. Tetapi. Swandaru tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gurunya itu. Karena itu, Swandaru pun telah menunggu. Baru sejenak kemudian gurunya itu berkata, “Baiklah Swandaru. Kedatanganmu menunjukkan perhatianmu yang besar terhadap guru dan saudara seperguruanmu, juga terhadap adikmu yang kebetulan juga berada di Tanah Perdikan ini. Kita wajib bersyukur bahwa semuanya telah lewat, meskipun satu dua korban telah jatuh. Agaknya Ki Jayaraga pun harus memulihkan kekuatan dan ketegaran tubuhnya. Bahkan Sekar Mirah pun telah terlibat dalam pertempuran pula. Namun Tanah Perdikan ini tetap tegak. Apalagi persoalan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini sekaligus sudah teratasi.“ “Syukurlah Guru. Tetapi menurut pendengaranku, Guru akan meninggalkan Tanah Perdikan ini besok bersama pasukan Mataram?“ bertanya Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing pun kemudian telah menjawab, “Ya. Besok aku akan kembali ke Jati Anom. Aku akan bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka sampai ke Mataram. Kemudian dari Mataram aku dapat sendiri kembali ke Jati Anom. Bukankah jaraknya tidak terlalu panjang?“ “Sangat berbahaya bagi Guru untuk kembali sendiri ke Jati Anom,“ berkata Swandaru. “Aku tidak sendiri dalam arti tanpa kawan sama sekali. Aku membawa dua orang pengawal,“ berkata Kiai Gringsing. “Tidak ada artinya. Bukankah Guru mengatakan bahwa mungkin masih ada pecahan orang-orang Madiun yang berkeliaran? Apalagi jika mereka mengetahui, bahwa Guru dalam keadaan yang agak lemah. Bukan kerena ilmunya, tetapi karena wadagnya yang sudah tidak mendukung kemampuan ilmu Guru. Lebih-lebih lagi, sebenarnya Guru dalam keadaan sakit,“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Agung Sedayupun berkata, “Aku sependapat dengan Adi Swandaru Guru. Meskipun jarak antara Mataram, Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlalu jauh, tetapi sebaiknya Guru tidak menempuh perjalanan sendiri. Dua orang pengawal itu hanya kawan berbincang di perjalanan, karena jika terjadi sesuatu, mereka belum mampu ikut berbicara sama sekali. Kecemasan Guru tentang Adi Swandaru, justru membuat aku menjadi semakin cemas tentang perjalanan Guru kembali ke Jati Anom. Bahkan Ki Jayaraga telah menganjurkan kepadaku untuk mengantar Guru kembali ke Jati Anom bersama Glagah Putih, sebelum Adi Swandaru datang. Dengan kehadiran Adi Swandaru, maka Guru akan dapat diantar oleh Adi Swandaru sampai ke Jati Anom.“ Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin disebut orang tua yang keras kepala. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan kembali ke Jati Anom bersama Swandaru. Jika kemarin aku berkeberatan diantar oleh Agung Sedayu, karena aku tahu Tanah ini memerlukan pembenahan segera. Bahkan mungkin masih akan dapat timbul persoalan-persoalan yang rumit.“ “Baiklah Guru,“ sahut Swandaru, “tetapi aku mohon, kita tidak perlu bersama-sama dengan orang-orang Mataram. Mereka akan kembali bersama pasukan segelar sepapan. Karena itu, rasa-rasanya kita akan lebih bebas jika kita menempuh perjalanan itu sendiri.“ “Tetapi aku sudah berjanji dengan Ki Patih Mandaraka untuk menyertainya,“ berkata Kiai Gringsing. “Guru dapat mengatakannya, bahwa aku sudah menjemput Guru,“ berkata Swandaru. Ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak dapat menolak keinginan murid-muridnya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada Ki Patih Mandaraka.“ “Kenapa harus mencoba? Bukankah segala sesuatunya terserah kepada Guru?“ sahut Swandaru. “Ya. Memang terserah kepadaku,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi bukankah aku harus mencabut kesediaanku? Aku sudah berjanji untuk berangkat bersama Ki Patih. Dan kita tahu nilai dari sebuah janji, meskipun janji ini bukan janji yang mempunyai akibat menentukan.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya, “Jika tidak sekarang, kapan kita akan kembali?“ “Terserah kepada Guru. Besok atau lusa,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kita bicarakan kemudian. Sekarang, kita tinggal menunggu Ki Patih bangun. Karena itu, jika kita ingin beristirahat, kau dapat pergi ke rumah kakangmu Agung Sedayu. Biarlah aku di sini menunggu Ki Patih, untuk berbicara tentang rencanaku menunda keberangkatanku kembali ke Jati Anom.“ “Waktunya tinggal sedikit. Sementara kami berjalan, matahari telah mulai memancar. Biarlah kami menunggu di sini,“ berkata Swandaru. “Kau tidak letih? Atau barangkali kau akan beristirahat di sini?“ bertanya Kiai Gringsing. “Betapapun letihnya, di hadapan Guru tentu aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah murid yang baik,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita menunggu di sini.“ Demikian, mereka sempat berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Tentang Senapati Pasukan Khusus yang menentang perintah, dan tentang kehadiran pasukan Mataram yang hampir terlambat. Dalam pada itu, di banjar, para pemimpin prajurit Mataram telah bersiap. Demikian pula pasukan segelar sepapan yang akan kembali ke Mataram dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Ada beberapa orang yang telah menjadi korban dan telah dibawa lebih dahulu ke Mataram. Di dapur banjar padukuhan induk, beberapa orang perempuan telah sibuk pula menyiapkan makan bagi para prajurit yang akan berangkat ke Mataram itu. Bahkan juga beberapa orang perempuan di rumah Ki Gede. Ketika matahari mulai membayang, Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Demikian pula Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Sementara Ki Patih Mandaraka telah duduk di pendapa pula bersama Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Gede dan Ki Jayaraga. Tiga orang yang menyertai Ki Patih Mandaraka ikut pula duduk bersama mereka. Dengan kecewa Ki Patih yang mendengar perubahan rencana Kiai Gringsing berkata, “Rasa-rasanya aku akan menjadi kesepian di perjalanan.“ “Maaf Ki Patih. Muridku yang muda baru pagi ini tiba. Aku ingin mengawaninya barang satu dua hari di sini,“ jawab Kiai Gringsing. Ki Patih ternyata dapat mengerti. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku mohon Kiai dapat singgah di Mataram dalam perjalanan Kiai kembali ke Jati Anom.” “Mudah-mudahan Ki Patih. Namun agaknya semua yang aku ketahui dalam hubungannya dengan Madiun karena kepergianku ke Madiun, telah aku sampaikan kepada Angger Panembahan Senapati,“ berkata Kiai Gringsing. “Peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini akan memerlukan pembahasan,“ jawab Ki Patih Mandaraka. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian.“ Namun pembicaraan mereka pun terhenti. Sekar Mirah yang sudah berada di rumah itu telah mengatur hidangan yang harus dihidangkan ke pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan. Kemudian telah dihidangkan pula makan pagi bagi para pemimpin prajurit Mataram yang ada di rumah Ki Gede, orang-orang tua dan para pemimpin Tanah Perdikan sendiri, yang menemui para tamu dari Mataram di saat-saat terakhir. Dalam waktu yang hampir bersamaan, maka para pemimpin prajurit Mataram serta seluruh pasukan yang ada di banjar dan sekitarnya pun telah mendapat hidangan minum dan makan pula, sebelum mereka berangkat meninggalkan Tanah Perdikan. Namun dalam pada itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan di seluruh Tanah Perdikan justru telah berjaga-jaga. Mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas perlindungan terhadap Tanah Perdikannya. Pengalaman pahit atas sikap Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan merupakan pelajaran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan harus benar-benar mampu melindungi kampung halamannya. Tetapi pimpinan Pasukan Khusus yang baru, yang di bantu oleh Ki Lurah Branjangan yang berpengalaman luas, memberikan kemungkinan yang jauh berbeda dengan pimpinan yang lama. Ketika kemudian matahari naik di atas ujung pepohonan, maka pasukan Mataram telah benar-benar siap untuk berangkat. Ki Patih Mandaraka telah mohon diri kepada para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua yang masih tinggal. “Aku mohon maaf, bahwa karena kehadiranku, beberapa anak muda terbaik di Tanah Perdikan ini telah gugur,“ berkata Ki Patih. “Tidak,“ jawab Ki Gede, “kami-lah yang mohon maaf, justru ternyata kami bukan tuan rumah yang baik.“ Ki Patih tertawa. Katanya, “Kita telah melakukannya bersama-sama, mempertahankan hak kita, di samping hak hidup kita.“ “Semoga perjalanan Ki Patih tidak mengalami hambatan apapun,“ berkata Ki Gede kemudian. Demikianlah, ketika cahaya matahari mulai terasa gatal di kulit, Ki Patih Mandaraka benar-benar telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua mengantar mereka lewat banjar padukuhan induk, keluar gerbang padukuhan. Sementara itu, sekelompok pasukan pengawal berkuda Tanah Perdikan telah mendahului pasukan Mataram yang segelar sepapan itu. Untuk membangkitkan kebanggaan penghuni Tanah Perdikan Menoreh, serta menghapuskan kesan kecemasan dan ketakutan setelah Tanah Perdikan itu dilanda oleh kerusuhan yang mengguncangkan segi-segi kehidupan, maka pasukan Mataram telah berbaris dengan segenap tanda-tanda kebesaran pasukan sebagai pasukan pilihan. Sebenarnyalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi berbesar hati melihat sepasukan prajurit Mataram dengan segala macam pertanda kebesarannya. Rontek, umbul-umbul, klebet dengan tunggul masing-masing. Dengan demikian maka orang-orang Tanah Perdikan tidak merasa cemas bahwa mereka akan mengalami kesulitan atas kehadiran orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam pada itu, atas perintah Ki Patih Mandaraka, maka di barak Pasukan Khususp un telah dipasang pula pertanda kebesaran Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Selain mereka, maka para pengawal Tanah Perdikan sendiri telah menunjukkan keperkasaan mereka di antara para prajurit Mataram yang akan meninggalkan Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, para pengawal telah mengantar pasukan Mataram yang segelar sepapan itu sampai ke Kali Praga. Ternyata aliran Kali Praga yang keruh itu nampak agak naik sedikit, sehingga pasukan yang segelar sepapan itu harus bersabar, bergantian menyeberang dengan rakit, meskipun semua rakit telah dikerahkan untuk pasukan Mataram itu. Namun akhirnya kelompok yang terakhir pun telah menyeberang pula. Sebelum naik ke atas rakit, Ki Patih Mandaraka masih sempat berpesan kepada Agung Sedayu yang memimpin sekelompok pengawal Tanah Perdikan, “Berhati-hatilah. Sebenarnyalah Kiai Gringsing sudah terlalu tua, dan percayalah kepadaku, Kiai Gringsing dalam keadaan sakit. Tetapi jangan sedih, karena ia telah menempuh kehidupan wajar sebagai kebanyakan orang, yang pada saatnya lahir, besar dan akhirnya kembali kepada Yang Maha Agung.” Terasa sesuatu bergejolak di dalam jantung Agung Sedayu. Tetapi ia melihat Ki Patih Mandaraka itu tersenyum. Katanya, “Kau harus bertanya kepada dirimu sendiri. Tanggapan apakah yang harus kau berikan kepada Kiai Gringsing?“ Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Sementara Ki Patih Mandaraka telah menepuk bahunya sambil berdesis, “Kau adalah harapan bagi masa depan. Gurumu adalah bagian dari masa yang lewat. Tetapi masa ke masa itu tidak terputus, karena kau telah mewarisi ilmunya. Jangan terlalu berbangga jika gurumu pernah berkata kepadaku, bahwa kau telah memenuhi harapannya. Meskipun gurumu masih sedikit berprihatin tentang adik seperguruanmu.“ Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku percaya bahwa kau tidak saja sekedar ingin memenuhi harapan gurumu. Tetapi juga harapan banyak orang di Tanah Perdikan Menoreh khususnya, dan Mataram pada umumnya.“ Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Patih berkata, “Sudahlah. Aku akan melanjutkan perjalanan. Bawa pasukanmu kembali ke Tanah perdikan dengan dada tengadah. Pasukan Khusus di Tanah Perdikan tidak menjadi masalah lagi bagi Ki Gede.” “Terima kasih Ki Patih,“ hanya kata-kata itu yang terlontar dari bibir Agung Sedayu. Sedangkan Ki Patih berkata, “Banyak pihak di istana yang memberikan pendapatnya, agar Mataram memberikan semacam pertanda bahwa kau sudah banyak memberikan pengorbanan dan pengabdian kepada Mataram. Sudah sepantasnya jika kau mendapat kedudukan yang tinggi di bidang keprajuritan. Tetapi sepanjang pengenalanku atas sifat-sifatmu, maka diperlukan satu penghargaan lain kepadamu.“ “Ah,“ desah Agung Sedayu, “tidak ada yang pantas mendapat penghargaan.“ “Aku tahu. Itu adalah sikapmu,“ jawab Ki Patih. “Jika kau mempunyai jiwa seperti kakakmu Untara, maka persoalannya akan berbeda. Kau dan kakakmu akan bersama-sama menerima anugrah pangkat Tumenggung.“ “Tempatku ada di antara anak-anak muda yang membangun bendungan, Ki Patih. Atau di antara mereka yang membuat jalan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain,“ jawab Agung Sedayu. Ki Patih tertawa. Katanya, “Baiklah, untuk sementara hal itu dapat kau lakukan Agung Sedayu. Kau dapat berada di lapangan. Tetapi sebenarnya kau dapat melakukan lebih dari itu. Membuat bendungan, jalan-jalan raya dan barangkali juga membuka tanah garapan baru. Tidak sekedar untuk satu daerah yang sempit. Tetapi kau dapat melakukannya untuk satu daerah yang jauh lebih luas. Sudah tentu tidak perlu harus kau lakukan sendiri.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat dengan cepat menangkap maksud Ki Patih Mandaraka. Namun kemudian Ki Patih berkata, “Agung Sedayu. Pada suatu saat, kau akan melakukan kerja yang jauh lebih besar. Bukan orang yang langsung berada di dalam lumpur untuk membuat tanggul. Tetapi kau akan dapat menjadi seorang yang mempergunakan nalar budimu untuk merencanakan dan melaksanakan kerja yang besar. Bukan hanya sebuah bendungan yang akan mengairi tiga atau empat bulak persawahan. Tetapi kau dapat merencanakan lima atau enam buah bendungan. Membuat susukan yang membelah daerah yang luas, serta merencanakan membuat jalan bukan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, tetapi dari satu kota ke kota yang lain.“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Patih sekali lagi menepuk bahunya sambil berkata, “Kau akan dapat mengisi masa depan. Sudahlah. Kau dapat bekerja lebih keras. Juga kau masih akan dapat meningkatkan ilmumu pada tataran yang setidak-tidaknya sama dengan gurumu, karena pada dasarnya kau mempunyai bekal lebih banyak dari gurumu.“ “Aku mohon restu,“ berkata Agung Sedayu. Ki Patih tersenyum. Namun kemudian sebuah rakit telah bergerak dibarengi dua rakit yang lain. Ki Patih telah menyeberangi Kali Praga, disusul oleh para prajurit yang masih tersisa di tepian. Namun, demikian Ki Patih mencapai sisi yang lain sambil melambaikan tangannya, maka Agung Sedayu pun telah melambaikan tangannya pula. Tetapi ia berkata di dalam hati, “Agaknya tempatku bukan di lingkungan yang lebih luas dari sebuah Tanah Perdikan.“ Ternyata semakin lama Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia merasa semakin terikat dengan Tanah Perdikan itu. Namun ketika kemudian pasukan Mataram yang mengikuti Ki Patih Mandaraka itu kemudian meninggalkan tepian Kali Praga, serta Agung Sedayu pun telah berkuda bersama sekelompok pengawal kembali ke Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah digelitik oleh kegelisahannya sendiri. Ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak mempunyai hak apapun atas Tanah Perdikan itu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu, karena Sekar Mirah adalah adik Swandaru yang menjadi suami Pandan Wangi. “Satu belitan hubungan yang panjang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Sementara itu, ia masih juga dibayangi oleh hak yang ada pada adik Ki Gede Menoreh, yang meskipun seakan-akan telah mengasingkan diri, tetapi Ki Argajaya adalah orang kedua di Tanah Perdikan. Sedangkan Ki Argajaya adalah ayah Prastawa, yang kini menjadi salah seorang di antara para pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang akan dilaluinya nampak berkabut tebal. Namun Agung Sedayu tidak dapat dengan segera memecahkan kabut tebal itu. Ia memerlukan waktu, perkembangan keadaan dan perkembangan penalarannya sendiri. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah membawa sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan induk. Swandaru dan gurunya masih menunggunya di rumah Ki Gede. Sekar Mirah pun masih juga berada di rumah Ki Gede untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya yang masih tinggal. Untuk beberapa lama Agung Sedayu dan Swandaru masih berada di rumah Ki Gede. Tetapi ternyata bahwa Swandaru merasa lebih bebas untuk berada di rumah Agung Sedayu. Karena itu, maka Swandaru pun kemudian telah mohon agar Kiai Gringsing bersedia untuk pergi ke rumah Agung Sedayu pula. Tetapi Kiai Gringsing sambil tersenyum menjawab, “Pergilah dahulu. Aku masih akan berada di sini bersama orang-orang tua yang sudah terlalu lama tidak bertemu. Tentu saja kita mengharap agar Ki Waskita berada di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari lagi. Nanti aku akan segera menyusul.“ “Tetapi bukankah seharusnya Guru sudah meninggalkan rumah ini pula?“ bertanya Swandaru. “Tetapi bukankah aku belum meninggalkan rumah ini? Sementara di sini masih ada tamu yang lain? Aku-lah yang telah memohon Ki Waskita untuk hadir. Kakakmu Agung Sedayu telah menyusulnya dan mohon agar Ki Waskita bersedia datang. Bukankah sudah seharusnya aku ikut menemui sementara Ki Waskita berada di Tanah Perdikan?“ jawab Kiai Gringsing. Tetapi Ki Waskita tertawa. Katanya, “Kerinduan seorang murid kepada gurunya. Silahkan Kiai. Biarlah aku berada di sini bersama Ki Gede dan Ki Jayaraga. Bukankah nanti Kiai akan datang lagi kemari? Aku tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Apalagi karena Kiai juga menunda keberangkatan Kiai.“ Namun Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Swandaru perlu beristirahat barang sejenak, seperti juga Agung Sedayu sendiri. Karena itu, biarlah mereka mendahului kembali ke rumah Agung Sedayu.“ Swandaru ternyata tidak dapat memaksa gurunya untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi seperti kata gurunya, ia memang ingin beristirahat. Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Swandarupun telah meninggalkan rumah Ki Gede dan menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun sementara itu. Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede, sebagaimana Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru sampai ke rumah Agung Sedayu, ternyata para pengawal Swandaru pun telah mendapat kiriman minum dan makanan dari rumah Ki Gede. Namun masih ada di antara mereka yang masih tertidur di gandok. Namun begitu mereka mengetahui bahwa Swandaru telah datang bersama Agung Sedayu, maka kawan-kawan mereka pun dengan cepat telah membangunkan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun membenahi diri dan siap melakukan tugas jika perintah itu datang. Tetapi Swandaru justru mendekati mereka sambil berkata, “Kita mendapat kesempatan beristirahat sekarang. Aku pun akan beristirahat. Tetapi kalian jangan lengah. Tanah Perdikan ini baru saja dilanda oleh malapetaka.“ Para pengawalnya tidak menjawab. Sementara Swandaru pun telah dipersilahkan untuk masuk ke ruang dalam. “Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu yang rumahnya terasa lengang. Namun ia dapat minta pembantu rumahnya untuk menyediakan minuman bagi tamunya. “Kau sedang apa?“ bertanya Agung Sedayu kepada pembantunya itu. “Membersihkan ikan,“ jawab anak itu. “O, kau dapat begitu banyak?“ bertanya Agung Sedayu sambil memuji. “Dua kali aku turun ke sungai semalam,“ jawab anak itu dengan bangga. “Kau sendiri atau dengan Glagah Putih?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Glagah Putih menjadi semakin malas sekarang ini,“ jawab anak itu, “ada-ada saja alasannya.“ Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tetapi ternyata kau dapat menangkap ikan sebanyak itu sendiri dengan menutup pliridan dua kali semalam. Tentu hari ini Nyi Sekar Mirah tidak usah berbelanja lagi. Kendo udang dan rempeyek wader pari akan menjadi lauk yang nikmat sekali.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tolong, kau buat minuman panas buat kami berdua. Aku dan tamuku.“ Namun ternyata anak itu berdesis, “Kita akan mendapat makan yang dikirim dari rumah Ki Gede, atau dari banjar seperti para pengawal di gandok itu.“ “Mungkin siang ini.“ jawab Agung Sedayu, “nanti sore kita sempat menikmati hasil buruanmu itu.“ “Tetapi siapakah yang akan membuat kendo dan rempeyek, jika Nyi Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede?“ bertanya anak itu lagi. Sambil menepuk bahu anak itu Agung Sedayu menjawab, “Nanti aku akan memanggilnya. Sediakan dahulu dua butir kelapa yang masih agak muda.“ “Dua?“ anak itu menjadi heran. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi berapa? Tiga atau berapa saja diperlukan.“ Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Satu saja tentu sudah cukup.“ Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian sekali lagi ia berkata, “Tolong, kau sediakan minuman hangat. Wedang sere. Gula kelapa yang kuning.“ Sementara itu, selagi pembantu di rumah Agung Sedayu itu menyiapkan minuman hangat, Swandaru sempat berbenah diri setelah pergi ke pakiwan. Demikian ia mandi, terasa tubuhnya menjadi segar. Pikirannya pun terasa bertambah bening. Apalagi setelah minum minuman hangat. Maka rasa-rasanya keletihannya selama perjalanan di malam hari telah pulih kembali. Ketika Swandaru melihat-lihat halaman dan kebun rumah Agung Sedayu yang tidak begitu luas, tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah bangunan tertutup yang agak besar di kebun belakang. Swandaru mengerti bahwa bangunan itu adalah sanggar tertutup yang dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, barangkali juga Glagah Putih untuk berlatih. Karena itu, maka rasa-rasanya ia tertarik untuk memasukinya lagi, sebagaimana pernah dilakukannya. “Apakah aku diperbolehkan untuk melihat-lihat?“ bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu yang menemaninya. “Tentu saja. Bukankah kau pernah melihat?“ sahut Agung Sedayu. Swandaru mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah melangkah ke pintu sanggar. Membukanya dan kemudian melangkah masuk. Sanggar itu tidak terasa gelap, karena ada bagian yang terbuka di atasnya, sehingga sorot matahari pun telah menyuruk masuk. Sanggar itu masih belum banyak berubah sebagaimana pernah dilihatnya. Tidak jauh berbeda dengan sanggarnya di Sangkal Putung. Bahkan sanggarnya di Sangkal Putung agak lebih luas dari sanggar Agung Sedayu itu, dengan perlengkapan yang juga hampir sama. Tetapi Swandaru tidak memasang beberapa benda kecil yang dianggapnya tidak banyak berarti. Namun dari Agung Sedayu ia mendengar bahwa benda-benda kecil itu adalah alat untuk melatih dan mempertahankan kemampuan bidiknya. “Kau satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Sidanti,“ berkata Swandaru. “Ah. Itu sudah terjadi bertahun-tahun lampau. Dan kini Sidanti sudah tidak ada lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Kemampuan bidikmu tentu semakin tinggi,“ berkata Swandaru. Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Aku mencoba untuk mempertahankannya.“ Swandaru termangu-mangu. Ia melihat seikat kecil jerami yang dibalut dengan kain sepanjang dua jengkal. Kemudian segenggam yang lain, yang dibentuk bulat, tergantung di bawah jerami yang memanjang itu. Tetapi di sebelahnya terdapat semacam kitiran dengan daun yang berlainan warna. Namun kemudian Swandaru tertarik pada sebongkah batu hitam yang besar. Di atasnya terdapat batu padas yang mengeras, meskipun tidak sekeras batu hitam itu. Sambil meraba batu padas itu Swandaru bertanya, “Kau berlatih memecahkan batu-batu padas dengan cambukmu?“ Namun ternyata hampir di luar sadarnya Agung Sedayu menjawab, “Glagah Putih yang melakukan latihan dengan batu-batu padas yang mengeras ini.“ “Apakah Glagah Putih juga mempergunakan cambuk sekarang?“ bertanya Swandaru. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata selanjutnya, “Kakang, apakah Guru sudah mengijinkan orang lain mempergunakan ciri-ciri perguruan menurut aliran Orang Bercambuk itu? Bukankah Kakang menuntun Glagah Putih dalam keturunan ilmu menurut aliran Ki Sadewa? Aliran yang tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tidak. Glagah Putih tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ “O,“ Swandaru mengangguk-angguk, “dengan apa ia memecahkan batu-batu padas seperti ini?“ Agung Sedayu termangu-mangu. Di pinggir sanggar itu memang terdapat banyak batu padas berbongkah-bongkah. Glagah Putih memang mengumpulkan batu-batu padas itu untuk mempertajam kemampuannya memukul dari jarak jauh sebagaimana diajarkan oleh Ki Jayaraga, dengan sasaran yang berbeda-beda, karena Ki Jayaraga mengajarinya menyadap inti kekuatan dari sumber yang berbeda. Api, udara, air dan bumi. Di samping laku lain yang harus dijalani di luar sanggar. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru telah bertanya pula, “Nampaknya inti kekuatan aliran Ki Sadewa benar-benar luar biasa. Glagah Putih tentu sudah memasuki puncak kemampuan itu, sehingga mampu memecahkan batu-batu padas dengan tangannya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak itu sudah berlatih dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan ia berhasil.“ “Apakah kau yang mengajarinya menurut aliran Ki Sadewa, sudah mampu melakukannya dengan tanganmu?“ tiba-tiba saja Swandaru bertanya. Agung Sedayu memang menjadi semakin bingung. Ia memang mengajari Glagah Putih sejak semula menurut jalur aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi ia sendiri adalah murid Kiai Gringsing yang menganut ciri tersendiri. Tetapi di dalam dirinya kedua aliran ilmu itu, bahkan dengan beberapa jenis ilmu yang dikuasainya dari sumber yang berbeda, telah luluh menyatu. Bahkan gurunya sama sekali tidak menganggap bahwa ia telah melakukan kesalahan. Gurunya justru berbangga karena Agung Sedayu telah memperkaya aliran ilmu yang diwarisinya dari gurunya itu, asal bukan jenis ilmu yang wataknya berlawanan. Namun karena Agung Sedayu harus menjawab pertanyaan Swandaru, maka iapun kemudian berkata, “Aku memang menuntun Glagah Putih menurut bekal yang sedikit diwarisi dari ayahnya. Ilmu yang bersumber sama dengan aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi sebagaimana kau ketahui, aku dimatangkan oleh ilmu dari aliran Orang Bercambuk itu, sehingga sudah tentu bahwa aku bukan Ki Sadewa, meskipun aku adalah anak Ki Sadewa. Tetapi aku belum sempat menerima warisan ilmu dari Ayah. Memang agak berbeda dengan Kakang Untara.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kakang. Sebaiknya kau memilih salah satu jalur dari beberapa jenis ilmu yang kau pelajari. Tetapi harus benar-benar kau tekuni sampai matang dari tingkat ke tingkat. “ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi bukankah di dalam kitab Guru itu, pada tingkat-tingkat berikutnya terdapat juga beberapa jenis ilmu, meskipun dengan landasan yang sama?“ “Kau harus memilih Kakang,“ jawab Swandaru, “kita tidak boleh serakah sehingga ingin menguasai dua atau tiga jenis sebagaimana Guru. Mungkin menjelang usia tua kita dapat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Guru. Tetapi sudah tentu memerlukan waktu dan kematangan penguasaan ilmu. Mungkin saja sekarang kita dapat mempelajari dua atau tiga jenis ilmu. Tetapi justru semuanya akan tetap masih saja mentah dan tidak menyentuh inti kekuatan ilmu dari Guru kita.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak tahu, jawaban apa yang harus dikatakannya. Setiap kali mereka berbicara tentang ilmu, maka Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun Agung Sedayu itu harus mengakui kesalahannya, bahwa hatinya tidak terbuka sebagaimana Swandaru. Jika sejak semula ia terbuka, maka tidak akan terjadi kesalahan penilaian seperti itu, sehingga ia mengalami kesulitan untuk memperbaikinya. Selagi Agung Sedayu termangu-mangu, maka Swandaru telah mengurai cambuknya. Sambil tersenyum ia berkata, “Ilmu dari Orang Bercambuk itu tidak akan kalah dari aliran ilmu yang manapun. Sebenarnya aku ingin melihat Glagah Putih berlatih. Bagaimana ia memecahkan batu-batu padas itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Namaun sementara itu Swandaru telah memutar cambuknya. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Ia tahu, bahwa Swandaru ingin menunjukkan kemampuan ilmunya kepadanya. Bahkan kepada Agung Sedayu iapun berniat baik untuk mendorong agar ia berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Namun terasa juga sikap ingin tahu dan kemudian melampaui kemampuan Glagah Putih, yang menilik dari alat-alat latihannya telah menjadi semakin meningkat ilmunya. Sejenak Swandaru masih memutar cambuknya. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan ilmunya maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya ke arah batu padas yang berada di atas batu hitam, sebagai bahan latihan Glagah Putih itu. Satu ledakan yang keras telah menggetarkan sanggar yang tidak terlalu besar itu. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka batu padas yang mengeras itu telah pecah berhamburan. Bahkan Agung Sedayu telah melihat bahwa batu hitam itu pun telah terluka. Sebaris goresan menjelujur pada batu hitam itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah melihat Swandaru mencambuk tanah tempatnya berpijak sehingga seakan-akan terbelah. Agung Sedayu percaya akan kekuatan yang sangat besar pada adik seperguruannya itu, yang berpijak pada ilmu yang sama dengan landasan ilmu yang diwarisi dari Orang Bercambuk itu. Dengan kekuatan ilmu yang sangat besar itu, Agung Sedayu memang berpendapat, bahwa cambuk Swandaru agaknya mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya, maka sisa kekuatan cambuk yang menembus ilmu kebalnya tidak akan menyakitinya, karena kekuatan Swandaru yang diungkapkannya itu adalah sekedar ungkapan kewadagan. Ternyata Swandaru masih belum menggapai inti kekuatan ilmu Orang Bercambuk itu, dimana tenaga, kekuatan dan nilai dari ungkapan ilmunya itu justru tidak lagi menimbulkan bunyi ledakan yang sangat keras, karena semua tenaga telah terserap pada hentakan itu sendiri tanpa mengalir sedikitpun untuk mendorong getaran bunyi yang berlebihan. Sebenarnyalah Agung Sedayu pun merasa prihatin atas kelambatan perkembangan ilmu Swandaru, yang memang waktunya lebih banyak dirampas bagi kademangannya. Swandaru memang telah bekerja keras untuk menjadikan kademangannya satu kademangan yang besar dalam arti yang sebenarnya. Kesejahteraan hidup rakyatnya meningkat dengan pesat, sehingga Sangkal Putung banyak menjadi kiblat usaha perbaikan dari beberapa kademangan yang lain. Namun kademangan-kademangan yang lain tidak mempunyai Swandaru. Tidak mempunyai seorang penggerak yang berpegang keras pada paugeran yang sudah disusun bersama oleh seisi kademangan. Apalagi kademangan yang tidak pernah ditempa oleh kerasnya kehidupan dalam pusaran pergeseran pemerintahan seperti Sangkal Putung. Sebagai seorang pengawal, ilmu Swandaru memang sudah melambung tinggi. Seandainya ia harus bertempur melawan orang-orang berilmu, maka Swandaru memang tidak mudah dikalahkan. Tetapi jika ia harus menghadapi orang-orang seperti Sabungsari, bahkan Glagah Putih, apalagi Bango Lamatan, maka Swandaru masih harus melengkapi ilmunya. Ia masih harus mencapai inti kekuatan ilmu orang bercambuk, khususnya dalam ilmu cambuk itu sendiri, serta ilmu pelengkap lainnya yang tidak usah dicarinya kemana-mana, tetapi dapat dicari di dalam kitab yang diberikan gurunya kepada mereka. Tetapi sudah barang tentu memerlukan laku yang berat dan memerlukan waktu khusus, yang akan dapat mengurangi waktunya yang diperuntukkan bagi kademangannya. “Seharusnya Swandaru menyusun tenaga anak-anak muda yang akan dapat mengisi kekurangannya jika ia sendiri harus menjalani laku bagi dirinya sendiri,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, yang melihat Swandaru seakan-akan telah memegang segala kepemimpinan di Kademangan Sangkal Putung atas nama ayahnya. Namun demikian, Agung Sedayu tidak dapat berkata apa-apa. Ia menyadari, bahwa Swandaru tidak melihat perbandingan ilmu yang sebenarnya di antara kedua orang murid Kiai Gringsing itu. Sementara itu Agung Sedayu masih saja tertutup hatinya. Justru ia bimbang, bahwa ia akan dianggap terlalu sombong, tidak tahu diri dan membuat Swandaru marah, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa-apa, meskipun ia sadar bahwa dengan demikian ia sudah menyembunyikan kebenaran. Bahwa Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Swandaru telah keliru menilai pula. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang menjadi kagum akan kekuatannya. Ujung cambuknya bukan saja memecahkan batu-batu padas yang mengeras, tetapi batu padas hitam yang menjadi alas batu padas itu pun telah tergores oleh luka karena ujung cambuknya. Agung Sedayu memang seperti terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar Swandaru bertanya, “Bagaimana cara Glagah Putih memecahkan batu-batu padas itu?“ Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun kemudian iapun menjawab, “Ia sedang melatih diri. Ia mempergunakan senjata yang merupakan hadiah terbesarnya dari Ki Patih Mandaraka. Sebuah ikat pinggang.“ “Ia memecahkan batu-batu padas dengan ikat pinggang?“ bertanya Swandaru. “Ya. Tetapi sudah tentu tidak sebagaimana kau lakukan. Glagah Putih memecahkan batu-batu padas sedikit demi sedikit seperti seorang mengupas buah-buahan,“ jawab Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi suara lain di dalam hatinya membentaknya, “Kenapa kau tidak berkata berterus-terang?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika ia berterus-terang, maka ia menjadi cemas bahwa Swandaru ingin menguji langsung kemampuan Glagah Putih, sementara Glagah Putih yang masih sangat muda dan sedikit terpengaruh oleh kenakalan Raden Rangga itu akan menanggapinya. Meskipun Agung Sedayu tidak mengatakan yang sebenarnya, ternyata Swandaru telah menyahut, “Luar biasa. Masih semuda itu ia telah mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Tetapi sebagian besar dari kemampuannya tentu disebabkan oleh kekuatan yang tersimpan pada pusaka yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka. Glagah Putih tentu tidak akan dapat mempergunakan senjata lain untuk melakukannya, karena dalam senjata itu tidak tersimpan kekuatan yang sangat besar.“ Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ia berusaha sedikit menjelaskan, “Tetapi sebagaimana cambuk kita, yang membuat Adi Swandaru mampu memecahkan batu itu, bukannya cambuk itu. Tetapi kekuatan dan kemampuan Adi Swandaru. Dengan pedang pun aku kira Adi Swandaru akan dapat melakukannya, asal dibuat dari baja yang terpilih dan tidak justru patah.“ “Tentu agak lain,“ jawab Swandaru, “Guru memberikan cambuk kepada kita dengan perhitungan kekuatan bahan dan buatannya. Sama sekali bukan senjata yang memiliki kekuatan dukungan tersendiri, sebagaimana ikat pinggang itu.“ Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Apapun ujud senjata itu, namun yang berperan akhirnya juga pemiliknya.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun ia menjawab, “Kakang tentu pernah mendengar berjenis-jenis senjata pusaka. Bahkan yang tersimpan di keraton pun terdapat beberapa macam benda pusaka, yang mempunyai pengaruh langsung kepada orang-orang yang memilikinya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagaimana pernah dikatakan oleh beberapa orang tua, bahwa orang-orang yang menguasai senjata itulah yang menentukan. Tentu saja orang-orang yang berpribadi kuat, sehingga teguh kepada pegangan serta sumber hidupnya. Keseimbangan antara senjata dan para pemiliknya merupakan unsur yang menentukan. Dan Agung Sedayu sendiri ternyata dengan penuh keyakinan telah mempergunakan senjata yang tidak termasuk pusaka yang bertuah. Namun dengan kemampuan ilmunya, kepribadiannya yang tegak berpegang kepada sumber hidupnya, maka ia telah mampu melawan orang-orang yang merasa dirinya menggenggam pusaka di tangannya. Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Ia mengangguk-angguk kecil. Namun Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru berkata, “Nah, aku ingin melihat Kakang mempergunakan cambuk yang Kakang terima dari Orang Bercambuk itu. Tentu Kakang tidak boleh kalah dari Glagah Putih yang menjadi murid Kakang itu.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Lain kali kita bermain-main di dalam sanggar ini, jika waktu kita terluang banyak. Sekarang, barangkali kita mempunyai pekerjaan lain. Aku belum melihat Sekar Mirah pulang. Aku kira tugasnya di rumah Ki Gede sudah selesai.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, “Kakang selalu mengelak. Tetapi Kakang telah menunjukkan justru kemampuan Glagah Putih, anak ingusan yang berguru kepada Kakang.“ “Glagah Putih tidak hanya mewarisi ilmu dari aliran Ki Sadewa. Tetapi ia juga murid Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu. “Sebenarnya Kakang tidak perlu menyembunyikan kenyataan di hadapanku. Kita adalah saudara seperguruan. Kekuranganku adalah kekurangan Kakang. Sebaliknya, kelebihanku adalah kelebihan Kakang. Demikian pula sebaliknya.“ Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Tetapi kelemahannya tidak memungkinkannya untuk menyatakan kenyataan tentang dirinya dan tentang adik seperguruannya itu. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Kita perlu beristirahat sekarang. Kita akan mendapatkan kesempatan lain untuk melihatnya kelak.“ Swandaru memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu. Ia tidak ingin membuat kakak seperguruannya itu kemudian merasa rendah diri, justru saat-saat tenaganya diperlukan bagi Tanah Perdikan Menoreh. “Ia harus yakin akan dirinya,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Jika ia tidak menyadari kekurangannya pada saat seperti ini, bukan saja Kakang Agung Sedayu yang akan mengalami kesulitan, tetapi juga anak-anak muda di seluruh Tanah Perdikan.“ Karena itu, maka Swandaru pun kemudian menggulung cambuknya kembali sambil berkata, “Pada kesempatan lain kita akan membuat perbandingan ilmu. Aku kira sudah waktunya, apalagi Guru sudah menjadi semakin tua, sementara kita masih jauh dari cukup memahami ilmu yang tertulis di dalam kitab yang diberikan oleh Guru kepada kita.“ “Jangankan memahami,“ berkata Agung Sedayu, “satu bab pun kita belum sempat mencapai intinya. Tentu memerlukan waktu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menurut pendapatnya, Agung Sedayu tentu tidak dengan sengaja menyindirnya, karena Swandaru sendiri sebenarnya merasa bahwa ilmu cambuknya masih harus dikembangkan dan disempurnakan untuk memasuki inti ilmunya itu. “Kakang Agung Sedayu akan dapat menyebut ilmuku jika ilmunya sendiri mampu melampauiku,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Yang dikatakan itu memang mirip sebuah keluhan. Nampaknya lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri.“ Tetapi Swandaru tidak menjawab lagi. Ketika kemudian Agung Sedayu mempersilahkannya untuk pergi ke pendapa, maka mereka pun telah keluar dari sanggar, sementara Swandaru sempat meraba sejenis senjata yang jarang dipergunakan. Sebuah kapak bermata dua, berujung tombak dan bertangkai agak panjang. Juga sebuah pedang yang lengkung dan tajamnya luar biasa, tergantung di dinding tanpa sarung. Tetapi Swandaru berdesis sambil mengamati pedang itu, “Apakah pedang ini tidak mudah patah?“ Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Tetapi tentu membutuhkan satu cara penggunaan yang khusus, yang perlu dipelajari tersendiri. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan harus disesuaikan dengan watak senjata itu sendiri, sebagaimana kapak bermata dua dan berujung tombak itu. Di sudut itu ada pula sejenis senjata yang jarang dipergunakan di sini. Dua batang tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai.“ Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Ki Jayaraga-lah yang telah mempelajarinya dengan modal pengetahuan kecil yang diperolehnya dari seorang sahabatnya yang pernah mengembara. Ia mencoba mengembangkannya. Namun ternyata ia tidak mendapatkan banyak kemajuan, sehingga akhirnya minatnya telah hilang. Senjata itu seperti senjata-senjata asing yang lain, yang sekedar menjadi kumpulan senjata di sini. Ki Jayaraga masih sanggup untuk mengambil lagi beberapa jenis senjata yang disembunyikan di tempat yang tidak mudah ditemukan oleh siapapun.“ “Siapakah sebenarnya orang itu?“ bertanya Swandaru, “Nampaknya ia tidak banyak diketahui asal-usulnya.“ “Ya. Tetapi aku percaya kepadanya. Sikapnya, tingkah lakunya selama ia berada di sini, menunjukkan bahwa ia bukan seorang yang pantas di curigai. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Tanah Perdikan ini sejak ia berada di sini. Ia memang pernah pergi satu dua hari. Lalu kembali. Paling lama sepekan. Antara lain untuk mengambil jenis-jenis senjata yang disimpannya,“ berkata Agung Sedayu. Lalu berkata pula, “Guru juga mempercayainya.“ Swandaru mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian mereka berada di pendapa. Ternyata di pendapa telah tersedia makanan yang agaknya dikirim oleh Sekar Mirah bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Agaknya Sekar Mirah tidak dapat segera kembali karena masih ada yang harus dikerjakan di rumah Ki Gede. Karena itu, maka pembantu di rumah Agung Sedayu itu harus masak sendiri hasil buruannya semalam di pliridan. Tetapi ia sudah sering melakukannya. Tetapi ternyata dugaan Agung Sedayu bahwa Sekar Mirah tidak segera kembali itu keliru. Baru saja mereka mulai menghiruip minuman dan mencicipi makanan, maka mereka telah melihat Sekar Mirah memasuki halaman, rumah justru bersama Kiai Gringsing. Karena itu. maka dengan tergesa-gesa kedua orang muridnya telah menyongsongnya dan mempersilahkannya untuk naik ke pendapa. “Kami sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede,“ berkata Swandaru. “Aku kira kalian justru tidur nyenyak,“ desis Kiai Gringsing sambil tersenyum, “bukankah kalian semalam suntuk tidak tidur? Apalagi Swandaru yang menempuh perjalanan jauh, sehingga tentu menjadi letih dan kantuk.“ “Kami tidak merasa apa-apa Guru,“ jawab Swandaru, “apalagi setelah kami mandi. Rasa-rasanya tubuh kami telah menjadi segar kembali.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil naik ke pendapa dan kemudian duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, “Kalian memang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa.“ “Kami adalah murid Guru,“ jawab Swandaru. Tetapi Swandaru menjadi agak kecewa ketika Kiai Gringsing berkata, “Tetapi anak-anakku. Sebenarnya kalian tidak perlu menghambur-hamburkan tenaga seperti ini. Aku percaya bahwa kalian mempunyai daya tahan yang tinggi. Tetapi dalam keadaan yang tidak memaksa, kalian tidak perlu melakukannya, karena pada suatu saat kalian sangat memerlukannya. Tetapi jika terasa tidak mengganggu, maka hal itu pun tidak berpengaruh apa-apa.“ “Aku tidak merasa terganggu sama sekali, Guru,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata, “Namun bagaimanapun juga, jika kalian memerlukan istirahat, serta ada waktu untuk melakukannya, sebaiknya kalian lakukan.“ “Kami pun telah beristirahat sebaik-baiknya Guru,“ jawab Swandaru. “Syukurlah,“ berkata’Kiai Gringsing. Namun sementara itu Sekar Mirah telah pula keluar ke pendapa dan duduk bersama mereka setelah menjenguk ke dapur. “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?“ bertanya Agung Sedayu. “Belum. Tetapi makan pagi telah terbagi ke seluruh pasukan yang bertugas. Perempuan-perempuan yang ada di rumah Ki Gede dan di Banjar sedang masak untuk makan siang. Sementara itu telah dibagi tugas. Para pengawal di padukuhan-padukuhan akan mendapat makan dari padukuhan mereka masing-masing. Di setiap banjar padukuhan, perempuan-perempuan dari padukuhan itu sendiri akan masak bagi anak-anak muda mereka, sehingga dengan demikian tugas di banjar dan rumah Ki Gede bagi perempuan-perempuan di padukuhan induk ini menjadi lebih ringan. Namun bagi para pengawal khusus yang bertugas bagi Tanah Perdikan ini dan sekitarnya, memang dikirim dari padukuhan induk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu cara yang baik. Dimana Glagah Putih?“ “Masih di rumah Ki Gede. Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang berada di rumah Ki Gede sedang berjalan-jalan. Mungkin nanti mereka akan singgah pula kemari, karena mereka tahu Kiai Gringsing ada di sini,“ jawab Sekar Mirah. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ya. Dan aku sudah berjanji bahwa aku akan menunggu mereka di sini.“ “Ki Waskita nampaknya sudah begitu rindu kepada Tanah Perdikan ini. Sawahnya, ladangnya dan parit-paritnya yang tidak pernah kering. Karena itu Ki Waskita tidak bersama-sama dengan Kiai Gringsing datang kemari. Tetapi kami berpisah di luar regol padukuhan induk,“ berkata Sekar Mirah pula. “Mereka memberi kesempatan kepadaku, jika ada pembicaraan yang penting di antara aku dan murid-muridku,“ berkata Kiai Gringsing. “Meskipun aku mengatakan bahwa tidak ada yang penting, tetapi sebaiknya aku membiarkan mereka berjalan-jalan lebih dahulu.“ “Memang tidak ada yang penting,“ berkata Swandaru, “tetapi kesempatan seperti ini jarang terjadi. Aku dan Kakang Agung Sedayu berada di tempat yang terpisah. Demikian pula Guru. Ternyata dalam kesempatan ini kita dapat bertemu.“ “Kau mempunyai tanggung jawab sendiri di Sangkal Putung, Swandaru, sementara Agung Sedayu mempunyai tugas dan kewajiban di sini. Karena itu, kalian memang tidak dapat berkumpul sebagaimana dua orang saudara sekandung. Di masa kanak-kanak mereka selalu bermain bersama. Kadang-kadang bertengkar, namun kemudian menjadi berbaik kembali. Namun setelah dewasa, maka mereka pun akan berpisah. Mereka akan pergi ke tempat tugas dan kewajiban mereka masing-masing,“ berkata Kiai Gringsing. “Bukankah dengan demikian justru pertemuan seperti ini menjadi penting?“ desis Swandaru. “Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tetapi bukankah kita mempunyai waktu? Aku memang ingin berbicara dengan kalian berdua. Tetapi sebentar lagi, Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan datang. Mereka tentu tidak akan dapat memperhitungkan dengan tepat, seberapa lama kita membutuhkan waktu untuk berbicara. Apalagi aku memang sudah terlalu tua. Apapun yang aku lakukan, namun jalanku sudah pasti.“ Agung Sedayu dan Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu pun berkata, “Kami memang masih mempunyai waktu, Guru. Bukankah Guru sudah memutuskan untuk tinggal barang satu dua hari?“ Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, “Bukan maksudku menunda-nunda pekerjaan yang dapat diselesaikan hari ini, karena hal yang demikian dapat berakibat kurang baik. Tetapi mungkin karena ketuaanku, dalam setiap langkah rasa-rasanya aku harus benar-benar mempersiapkan diri.“ Swandaru menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin segalanya berjalan cepat. Yang dapat dilakukan saat itu, sebaiknya dilakukan. Yang ternyata tidak, barulah dipersiapkan kemudian. “Kakang Agung Sedayu memang akan banyak kehilangan waktu dengan cara yang demikian,“ berkata Swandaru di dalam hatinya, “Tetapi itu sudah sifatnya. Karena itu pula maka ia tidak dengan cepat meningkatkan ilmunya, meskipun aku sudah membiarkan kitab dari Guru itu ada di sini. Agaknya ia lebih mengagumi kemampuan bidiknya daripada menyempurnakan ilmu cambuknya. Sementara itu ilmu bidiknya itu hampir tidak banyak berarti dalam benturan kekerasan di dunia olah kanuragan. Kecuali jika Kakang Agung Sedayu sudah puas menjadi seorang pemburu yang baik, sehingga akan mampu memanah burung pipit di puncak pohon yang tinggi sekalipun.“ Namun ia tidak dapat memaksa gurunya untuk berbuat lain. Apalagi setelah gurunya mulai berbicara tentang perkembangan Tanah Perdikan yang dinilainya memang agak lamban dibandingkan dengan Sangkal Putung. “Mungkin karena Tanah Perdikan ini tidak memiliki tanah sesubur Kademangan Sangkal Putung,“ berkata Kiai Gringsing. “Di beberapa bagian dari ngarai tanahnya memang baik. Sawah terbentang luas dan selalu basah. Tetapi ada bagian lain yang memang tandus dan kurang memberikan kemungkinan untuk dikembangkan.“ “Penanganannya memang harus lain,“ berkata Swandaru, “cara di Kademangan Sangkal Putung belum tentu dapat ditrapkan di sini, yang mempunyai beberapa bagian tanah pegunungan. Agaknya Tanah Perdikan ini sebaiknya berpikir untuk memperluas tanah garapan bagi para petani.“ “Kami sudah mencoba melakukannya,“ berkata Agung Sedayu, “memperluas tanah garapan. Tetapi kami harus memperhitungkan luas hutan yang harus tersisa. Sementara itu, kami pun telah mencoba untuk menanami lereng-lereng pegunungan gundul dengan jenis-jenis tanaman yang kami anggap sesuai.“ “Aku melihat hasilnya,“ berkata Kiai Gringsing, “memang tidak akan dapat dilihat dengan cepat. Tetapi perkembangannya sudah nampak.“ “Terima kasih Guru,“ jawab Agung Sedayu, “kami di sini akan berusaha lebih baik lagi.“ “Tetapi memang ada bedanya, bukan saja sasaran garapan,“ berkata Swandaru, “tetapi sumber penggerak itu sendiri. Aku tentu merasa bertanggung jawab mutlak atas perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Agak berbeda dengan Kakang Agung Sedayu di sini.“ Terasa telinga Agung Sedayu memang menjadi panas. Tetapi seperti biasanya ia selalu mencoba untuk mengendalikan dirinya. Namun ternyata Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Apakah Kakang Swandaru mengira bahwa Kakang Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh?“ “Bukan begitu,“ jawab Swandaru, “tetapi perbedaan kedudukan antara aku dan Kakang Agung Sedayu tentu berpengaruh. Aku dapat bertindak langsung sesuai dengan penalaranku tanpa harus berbicara dengan siapapun, karena Ayah sudah memberikan wewenang itu. Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak.“ Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab, Kiai Gringsing telah menengahi, “Yang dikatakan oleh Swandaru adalah sekedar tentang wewenang yang ada di tangan Swandaru dan Agung Sedayu. Namun tanggung jawab dan kemauan bekerja memang harus dibedakan. Tetapi sudahlah, kita dapat berbicara tentang banyak hal yang lebih berarti daripada wewenang. Nanti malam aku akan tidur di rumah ini. Dengan demikian kita akan sempat berbicara seberapa panjang kita akan berbicara, tentang sebuah perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa di dunia olah kanuragan ini.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa setiap kali gurunya telah membantu Agung Sedayu, justru pada saat-saat ia ingin mendorong agar kakak seperguruannya itu menyadari kelemahannya sendiri. Namun Swandaru kemudian tidak memaksakan pembicaraan apapun lagi. Yang kemudian ditanyakan oleh Kiai Gringsing adalah justru kapan mereka akan kembali. “Bukankah kita akan kembali tidak lebih dari besok?“ jawab Swandaru yang masih merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya, “Meskipun seandainya besok siang sekalipun, karena kita tidak terikat untuk berangkat pagi hari.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Besok kita akan berangkat setelah matahari turun. Kita tidak akan menjadi silau karena kita akan membelakangi matahari.“ Dalam pada itu, maka seperti yang telah dijanjikan, telah memasuki halaman rumah itu Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu telah menyongsongnya dan mempersilahkan mereka duduk di pendapa. Sementara Sekar Mirah mohon diri untuk pergi ke dapur. Untuk beberapa saat lamanya mereka berbincang-bincang. Mereka sempat mengenang masa muda mereka masing-masing. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjelang hari-hari tuanya banyak berhubungan dan bekerja bersama, sehingga mereka sempat bercerita tantang masa-masa itu. Ki Jayaraga yang hadir terakhir di Tanah Perdikan itu hanya dapat mendengarkan. Sekali-sekali ikut tertawa jika terjadi hal-hal yang lucu. Namun kadang-kadang keningnya ikut berkerut jika kedua orang tua itu bercerita tentang ketegangan-ketegangan yang terjadi. Namun sejenak kemudian Sekar Mirah telah menghidangkan minuman dan makanan bagi tamu-tamunya. Tetapi orang-orang tua yang ada di pendapa itu menghindar ketika mereka dipersilahkan untuk makan, karena mereka tahu, Sekar Mirah sudah menyediakan makan bagi mereka di rumah Ki Gede. “Aku ada di sini sekarang,“ berkata Sekar Mirah. Tetapi Ki Waskita menyahut, “Meskipun kau di sini, tetapi kau tentu sudah meninggalkan pesan. Nanti Ki Gede kecewa jika kami tidak bersedia menemaninya makan. Bahkan dengan Ki Jayaraga.“ Karena itulah, maka lewat tengah hari, Ki Waskita telah minta diri untuk kembali ke rumah Ki Gede. Bahkan bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Yang tinggal di rumah Agung Sedayu adalah Swandaru, sehingga yang kemudian mendapat suguhan makan dengan kendo udang adalah Swandaru. Sementara itu para pengawalnya telah mendapat kiriman makan satu jodang dari rumah Ki Gede. Tetapi Sekar Mirah sendiri tetap berada di rumahnya untuk mengawani suami dan kakaknya makan siang. Setelah makan, Swandaru memang benar-benar ingin beristirahat. Tetapi ia tidak mau beristirahat di ruang dalam. Ia memilih di gandok bersama dengan para pengawalnya. “Silahkan beristirahat Kakang,“ berkata Sekar Mirah, “aku akan kembali ke rumah Ki Gede. Sekedar menunggui perempuan-perempuan yang masih sibuk. Kakang Agung Sedayu akan berada di rumah sampai sore. Kecuali jika Ki Gede memanggilnya.“ “Silahkan,“ berkata Swandaru, “juga Kakang Agung Sedayu jika mempunyai tugas, tinggalkan saja aku di sini. Aku memang ingin beristirahat di antara orang-orangku.“ Tetapi Agung Sedayu pun berkata, “Aku juga akan beristirahat di rumah.“ Dengan demikian, maka hanya Sekar Mirah sajalah yang pergi ke rumah Ki Gede untuk melakukan tugasnya. Bersama-sama dengan perempuan-perempuan di padukuhan induk menyiapkan makan bagi para pengawal yang bertugas tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Dalam pada itu, kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh telah mulai menjadi tenang. Anak-anak telah bermain kembali di halaman, sementara yang telah mengungsi dari satu padukuhan ke padukuhan lain pun telah kembali. Meskipun pasar masih tetap sepi, namun di jalan-jalan mulai nampak orang berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun demikian, di bulak-bulak panjang, para pengawal masih saja hilir mudik mengamati keadaan. Bukan saja para pengawal berkuda, tetapi para petugas sandi pun berkeliaran di daerah perbatasan. Beberapa kademangan di sekitar Tanah Perdikan yang ikut terguncang karena peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu pun telah menjadi tenang pula. Ki Gede telah mengirimkan beberapa orang bebahu untuk menghubungi kademangan-kademangan itu, memberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan. Kepada kademangan yang mengalami kerugian karena peristiwa itu, Ki Gede bersedia untuk memberikan bantuan sekedarnya. Tetapi kademangan-kademangan itu menolak. Mereka menganggap bahwa Tanah Perdikan sama sekali tidak bersalah. “Tanah Perdikan sendiri mengalami kerugian yang besar. Sawah yang terinjak-injak, bangunan yang rusak dan kehidupan yang terguncang. Yang sulit dinilai adalah jatuhnya beberapa orang korban di antara anak-anak terbaik dari Tanah Perdikan itu,“ berkata para pemimpin kademangan itu. Bahkan bagi mereka, Tanah Perdikan itu akan dapat menjadi tempat untuk bernaung jika terjadi sesuatu di kademangan mereka masing-masing. Di sore hari, ketika matahari telah menjadi rendah, Swandaru telah mengajak Agung Sedayu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu. Berkuda keduanya berkunjung dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Ternyata masih banyak yang dapat langsung mengenali Swandaru, meskipun di antara mereka sudah lama tidak bertemu. Dalam kesempatan itu Swandaru telah melihat-lihat pula usaha Tanah Perdikan untuk menghutankan tanah yang semula gundul di lereng-lereng pegunungan. Usaha untuk mengatasi lereng yang sering longsor, turun menimpa padukuhan-padukuhan di musim hujan. Usaha Agung Sedayu dan anak-anak muda Tanah Perdikan untuk membuat sawah bertingkat di tanah miring, namun yang dapat diairi dari daerah perbukitan, serta daerah rumput yang tersebar untuk memberikan tempat para gembala menggembalakan ternak mereka. Meskipun tidak dikatakan, ternyata Swandaru telah melihat langsung kemajuan di Tanah Perdikan yang dianggapnya lamban itu. Menjelang senja, maka keduanya telah kembali ke rumah Agung Sedayu. Ternyata beberapa saat kemudian, ketika langit mulai gelap, Kiai Gringsing pun telah datang pula bersama Ki Jayaraga. “Apakah Ki Waskita tidak datang pula?“ bertanya Agung Sedayu. “Ki Waskita mengawani Ki Gede berbincang,“ jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Seperti yang direncanakan oleh Kiai Gringsing, maka setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Marilah, kita pergunakan kesempatan ini untuk berbincang-bincang. Khusus tentang perguruan kecil kita. Sudah tentu jika kita menyebut perguruan kecil kita, bukan berarti sebuah padepokan kecil di Jati Anom. Itu hanya ujud lahiriah dari sebuah perguruan.“ Ki Jayaraga yang menyadari kedudukannya telah berkata, “Silahkan. Nampaknya kalian memerlukan tempat tersendiri. Mungkin kalian dapat berbicara di sanggar, sehingga tidak akan diganggu oleh orang lain.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Jayaraga. Aku kira tempat itu cukup baik untuk berbicara secara khusus.“ “Marilah Guru,“ berkata Agung Sedayu, “kita pergi ke sanggar. Biarlah Glagah Putih mempersiapkan tempat, dan barangkali perlu lampu yang lebih terang.“ “Untuk apa?“ Kiai Gringsing justru bertanya, “Jika sudah ada lampunya, meskipun tidak terlalu terang, aku kira tidak menjadi soal.“ Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih selain membersihkan sanggar, khususnya yang akan dipergunakan untuk duduk berbincang, juga telah menyalakan lagi lampu yang lebih terang dari yang sudah terpasang. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan kedua orang muridnya telah berada di dalam sanggar. Mereka memang ingin berbicara secara khusus, karena kesempatan untuk bertemu semakin lama ternyata menjadi semakin jarang. “Kita hanya memanfaatkan waktu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada bahan pembicaraan khusus yang ingin aku sampaikan kepada kalian.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang menyahut, “aku justru ingin mengusulkan, dalam kesempatan ini sebaiknya kami, murid-murid Guru, mengadakan perbandingan ilmu. Dengan demikian Guru masih mempunyai kesempatan untuk memberikan petunjuk dan arah kepada kami untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat.“ Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memasuki sebuah pembicaraan tentang ilmu, maka ia telah menjadi gelisah. Namun Kiai Gringsing yang telah menjawab, “Aku tidak akan dengan tergesa-gesa sampai ke sana. Sebenarnya, sebagai Guru, aku telah mengetahui tataran ilmu kalian masing-masing. Aku tahu pasti perbandingan ilmu di antara kalian, meskipun kalian tidak menunjukkan kepadaku dengan cara apapun juga. Karena perbandingan ilmu dengan cara yang dapat kita lakukan di sini tentu bukan batas kemampuan ilmu yang sebenarnya, karena masing-masing masih harus menahan diri dan menjaga agar yang lain tidak mengalami cedera. Namun berbeda dengan aku, aku telah melihat bagaimana Agung Sedayu bertempur di medan perang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Aku pun pernah melihat Swandaru memperagakan kemampuannya dengan menunjukkan batas-batas tingkat ilmunya.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Kiai Gringsing telah berkata, “Yang ingin aku katakan kepada kalian pada kesempatan ini adalah justru hasil pengamatanku itu.“ Agung Sedayu memang menjadi semakin berdebar-debar. Namun Swandaru telah mendesak, “Kami memang sangat menunggu Guru.“ “Aku melihat kalian berada di simpang jalan,“ berkata Kiai Gringsing, “kalian telah menempuh pilihan yang berbeda dalam meningkatkan ilmu kalian. Agung Sedayu ternyata tidak mengikuti satu jenis ilmu. Tetapi ia merambah ke berbagai jenis ilmu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu menguasai beberapa jenis ilmu yang ujud pengungkapannya berbeda-beda. Tetapi Swandaru telah menekuni satu jenis ilmu. Ilmu yang memang menjadi ciri perguruan yang menganut aliran Orang Bercambuk. Karena itu, maka Swandaru mampu menunjukkan kemampuan ilmu cambuk dengan sangat mengagumkan.“ “Guru,“ Swandaru memotong, “manakah yang lebih baik menurut Guru?“ “Aku tidak dapat mengatakan mana yang lebih baik, karena ternyata masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya,“ berkata Kiai Gringsing, “namun satu kenyataan, bahwa di dunia olah kanuragan telah terdapat berbagai macam ilmu yang berbeda-beda menurut aliran masing-masing. Bermacam-macam ilmu itu harus mendapat tanggapan dengan cara yang berbeda-beda pula.“ “Jadi menurut Guru, cara yang ditempuh Kakang Agung Sedayu itu lebih baik, meskipun hanya sepotong-sepotong dari berbagai jenis ilmu?“ bertanya Swandaru. “Bukan begitu,“ berkata Kiai Gringsing, “aku ingin menganjurkan kepada kalian berdua. Dengar. Kewajiban kalian hanya mendengar. Aku adalah guru kalian.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ternyata dalam usianya yang tua itu, ia masih dapat bersikap mantap. Kedua murid Kiai Gringsing itu saling berpandangan sejenak. Namun seperti yang dikatakan oleh gurunya, mereka hanya dapat mendengarkan. Sejenak Kiai Gringsing terdiam. Dipandanginya kedua orang muridnya berganti-ganti, sehingga keduanya pun kemudian telah menundukkan kepalanya. “Anak-anakku,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku tidak mengatakan bahwa cara yang kalian tempuh yang satu lebih baik dari yang lain. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa kedua-duanya mempunyai kelemahan. Swandaru yang hanya mengenal satu jenis ilmu betapapun tinggi pemahamannya, bahkan seandainya sudah sampai ke inti ilmu cambuk itu, namun masih terdapat kelemahan. Tanpa mengenal jenis ilmu yang lain, maka Swandaru kurang memiliki bekal apabila ia benar-benar terjun ke dunia olah kanuragan. Untuk menanggapi berbagai jenis ilmu, maka Swandaru pun harus memiliki berbagai jenis bekal yang cukup. Kemudian dengan puncak ilmu cambuknya maka Swandaru akan mendapat kesempatan mengakhiri perlawanan lawan-lawannya. Tetapi tanpa mengenal ilmu yang lain, maka kau akan menjadi sangat miskin menghadapi dunia dalam segala bantuknya. Kau akan tampil dengan bekal yang itu-itu juga, sehingga setiap orang akan mengenalinya, dan dengan mudah membaca kelemahan-kelemahanmu. Sebaliknya, dengan mempelajari seribu jenis ilmu sekalipun, jika semuanya hanya mengambang tanpa kedalaman, maka hal itu pun tidak berarti sama sekali. Dalam benturan ilmu, maka betapapun banyaknya ilmu yang ditampilkan, namun semuanya akan dapat ditembus lawan dengan mudah. Bahkan dalam saat-saat yang menentukan, ia tidak akan memiliki alat pemukul yang mematikan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, “Karena itu, aku ingin mengatakan kepadamu Swandaru, jangan terlalu yakin akan ilmu cambukmu. Kau harus berusaha untuk melengkapinya dengan jenis-jenis ilmu yang lain, yang dapat kau pelajari dari kitab yang pernah aku berikan kepada kalian berdua. Jangan hanya melihat ke permukaan dari setiap persoalan yang dikemukakan di dalam kitab itu. Tetapi kau harus menyusup ke kedalamannya. Apalagi ilmu cambuk yang kau jadikan puncak ilmu yang kau miliki. Terus terang, bahwa kau masih saja terbatas pada unsur kewadagan. Kau memang sudah memasuki laku untuk menyusup ke kedalaman, tetapi baru pada mulanya. Kau harus mempelajarinya lagi, kau harus menjalani laku yang barangkali cukup berat untuk mencapai inti ilmu cambukmu. Di samping itu, kau harus mengenali jenis-jenis ilmu yang lain, untuk menanggapi keanekaan dunia olah kanuragan.“ Sekali lagi Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, “Dan kau Agung Sedayu. Kau tidak boleh sekedar bergerak mendatar. Menjelajahi jenis-jenis ilmu yang luas, tetapi tanpa memilih satu di antaranya. Akan lebih baik jika kau dalami ciri perguruan kita, ilmu cambuk. Kau pun harus menjalani laku, sehingga kau akan memperoleh kedalaman ilmu yang sangat kau perlukan. Bahkan sekaligus ciri dari sebuah perguruan.“ Ketika kemudian Kiai Gringsing berhenti lagi berbicara, maka Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka belum berani mengatakan sesuatu. Mereka masih menunggu Kiai Gringsing meneruskan. Sebenarnyalah Kiai Gringsing berkata, “Aku masih mempunyai waktu sedikit. Seandainya aku tidak dapat melihat kalian sampai batas sebagaimana yang aku katakan, tetapi aku ingin melihat kalian mulai menjalani laku itu. Apapun alasan kalian, tetapi aku minta kalian melakukannya. Kecuali jika kalian tidak lagi menganggap aku sebagai seorang guru. Aku tidak dapat membiarkan kalian seperti sekarang ini, menuruti pilihan kalian sendiri. Tetapi pada saat-saat terakhir dari hidupku, aku dibebani kewajiban untuk memberikan penilaian atas kalian.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara Swandaru menjadi gelisah. “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “sekarang, siapa di antara kalian yang akan bertanya, bertanyalah.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang bertanya untuk pertama kali, “apakah menurut Guru, ilmu cambukku masih terlampau dangkal?“ “Ya,“ jawab Kiai Gringsing tegas. “Seandainya tidak terlalu dangkal, maka ilmumu masih terbatas pada permukaan. Pada ujud dan kekuatan kewadagan. Kau akan tahu itu jika kau berulang kali mempelajari kitab itu. Kau terlalu puas dengan pencapaianmu, sehingga nampaknya kitab itu tidak berarti bagimu.“ Wajah Swandaru menjadi merah. Tetapi ia berhadapan dengan gurunya, sehingga bagaimanapun juga ia harus menahan diri. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Aku minta kau memasuki tingkat berikutnya, khusus dalam ilmu cambuk. Kemudian jenis-jenis ilmu yang lain yang barangkali penting kau pelajari. Kau tidak usah mendalami jenis ilmu yang lain sebagaimana ilmu cambuk. Tetapi kau perlu mengenali kekuatan alam yang dapat kau sadap. Sudah tentu bukan lewat kekuatan kewadagan. Tetapi getaran dari inti kekuatan itulah yang kau serap di dalam dirimu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Sejak semula ia tidak tertarik kepada persoalan-persoalan yang rumit seperti itu. Namun ternyata gurunya bukan saja menyarankan, tetapi rasa-rasanya yang dikatakan itu adalah perintah. Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, “Lakukanlah sebaik-baiknya. Jika kau gagal, maka kau adalah muridku yang gagal pula.“ Swandaru tidak mengira bahwa gurunya akan berkata sekeras itu. Selama ini ia sudah sangat berbangga dengan ilmunya. Namun ternyata gurunya merasa sangat kecewa. Tetapi kemudian Kiai Gringsing berkata pula, “Dan kau Agung Sedayu. Banyak hal yang harus kau perhatikan.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Kau tidak perlu merambah puluhan jenis-jenis ilmu. Tetapi kau harus mempunyai satu kekuatan yang akan dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan. Seperti aku katakan, kau harus meletakkan ciri perguruanmu di atas segala macam ilmu yang kau kuasai. Seperti Swandaru, maka kau harus mempelajari tingkat-tingkat selanjutnya, sesuai dengan tataran yang tertulis di dalam kitab yang aku tinggalkan bagi kalian berdua.“ Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih berkata selanjutnya, “Dalam waktu dekat kalian tidak perlu mengadakan perbandingan ilmu. Dunia kanuragan akan mengatakan kepada kalian, sampai di tingkat yang manakah kalian berdiri pada suatu saat. Tetapi aku tidak bermaksud memerintahkan kalian menjadi pengembara, apalagi petualang, untuk mencoba-coba kemampuan ilmu kalian. Justru kalian harus menjauhi kemungkinan benturan kekerasan. Hanya dalam keadaan terpaksa kalian mempergunakan kekerasan. Karena sebenarnyalah kekerasan bukan alat yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Tetapi dalam keadaan terpaksa, kemampuan ilmu yang kalian miliki akan dapat kalian pergunakan untuk melawan segala bentuk kejahatan serta sikap yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.“ Kiai Gringsing’berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Nah, dalam langkah-langkah yang akan kalian tempuh, kalian harus selalu mendekatkan diri kepada Sumber Hidup kalian. Mohon petunjuk-Nya, serta dengan tulus percaya bahwa hanya kehendak-Nya sajalah yang akan terjadi, karena sebenarnyalah apa yang datang dari pada-Nya adalah baik adanya.“ Kedua orang murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk kecil. Betapapun sakit hati Swandaru, tetapi ia merasa bahwa peringatan gurunya tidak semata-mata ditujukan kepadanya, tetapi juga kepada Agung Sedayu. Gurunya memang cukup bersikap keras terhadapnya dan terhadap Agung Sedayu. Ternyata Kiai Gringsing itu masih berkata pula, “Anak-anakku. Kau harus menyadari, bahwa umurku tentu tidak akan panjang lagi. Bahkan berarti aku mendahului kepastian Yang Maha Agung, tetapi justru aku menyadari. bahwa tidak ada arah lain dari setiap kehidupan daripada dipanggil kembali oleh Penciptanya. Karena itu, dalam kesempatan yang sempit ini, aku akan selalu melihat perkembangan kalian. Apakah kalian melakukan perintahku atau tidak. Aku tidak akan memberikan hukuman apapun bagi kalian jika kalian mengingkari perintahku. Tetapi kalian tentu akan menyesali langkah kalian itu.“ Agung Sedayu dan Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya tidak ada lagi yang dapat mereka kemukakan kepada guru mereka, apalagi menilik kata-kata-nya, guru mereka itu sedang bersikap agak lain dari sikapnya sehari-hari. Kiai Gringsing nampak sebagai seorang guru yang kecewa melihat perkembangan ilmu murid-muridnya. Justru pada saat umurnya yang sudah terlalu tua. Namun sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Agaknya tidak ada lagi yang akan aku katakan. Tidak ada pula persoalan yang dapat kalian kemukakan. Aku hanya minta kalian lakukan perintahku kali ini, menjelang hari-hariku terakhir.“ Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak dapat mengatakan sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, Swandaru berkata kepada dirinya sendiri, “Aku hanya tinggal melangkah satu langkah lagi. Aku harus mempelajari dan menempuh laku tingkat berikutnya ilmu cambuk yang tertulis dalam kitab Guru. Tetapi kakang Agung Sedayu tentu masih harus mempelajarinya lebih banyak. Dua atau tiga tataran, khususnya ilmu cambuk. Nampaknya perintah guru kali ini akan benar-benar dijalani oleh Kakang Agung Sedayu.“ Tetapi sementara itu dahi Swandaru pun telah berkerut ketika ia teringat pesan gurunya untuk mempelajari pula, meskipun hanya pada tingkat permulaan, beberapa jenis ilmu yang lain, untuk menghadapi seribu macam jenis dan bentuk ilmu kanuragan yang mungkin akan dijumpainya. “Tetapi itu pun perintah.“ Namun katanya kepada diri sendiri, “Tetapi tidak terlalu mengikat seperti perintah Guru, ciri ilmu perguruan ini.“ Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Aku kira pertemuan kita sudah cukup. Namun marilah, kita mencoba untuk menyatukan diri dalam ungkapan pernafasan sesuai dengan landasan ilmu dari perguruan kita. Apakah kita masih tetap satu, atau ternyata kita sudah menempuh jalan kita masing-masing.“ Kedua murid Kiai Gringsing itu tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian telah bangkit berdiri. Kiai Gringsing-lah yang kemudian melangkah lebih dahulu ke tengah-tengah sanggar itu. Kemudian duduk bersila. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru telah melakukan hal yang sama di belakangnya. Perlahan-lahan tangan ketiga orang itu bergerak. Kedua tangan mereka telah terjulur lurus sejajar ke depan dengan telapak tangan menghadap ke dalam. Kemudian perlahan-lahan pula tangan itu bergerak. Telapak tangan mereka kemudian menelungkup menghadap ke bawah. Kemudian dengan cepat gerakan-gerakan mereka bertumpu pada siku mereka. Kedua tangan mereka telah melakukan unsur-unsur gerak sesuai dengan ajaran aliran ilmu mereka, sehingga akhirnya kedua tangan mereka terangkat di muka dada. Kedua telapak tangannya berada dalam satu susun yang berhadapan. Satu menghadap ke atas dan yang lain ke bawah. Kemudian perlahan-lahan sekali tangan itu bergerak. Tangan kiri melekat di lambung kanan, sedang tangan kanan terletak di pundak sebelah kiri. Ketiga orang itu terdiam beberapa saat. Nafas mereka berjalan teratur melalui lubang hidung mereka. Baru beberapa saat kemudian, tangan mereka telah terurai. Kemudian kedua telapak tangan mereka menelakup di depan dada. Menurun ke bawah, kemudian terlepas. Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya tubuh mereka menjadi semakin segar. Darah di urat-urat nadi mereka rasa-rasanya berjalan semakin lancar. “Kita sudah selesai,“ berkata Kiai Gringsing, “kita akan kembali ke pendapa. Namun aku masih akan sedikit berpesan. Lihat berkali-kali cara mengatur pernafasan ini. Lihat pula serba sedikit tentang usaha pengobatan dengan getaran ilmu yang pernah kita pelajari, dan lihat pula ilmu pengobatan dengan berbagai macam cara, dalam hubungannya dengan pengetahuan simpul-simpul syaraf dan jalur-jalur urat nadi. Membekukan kerja simpul-simpul syaraf dan melepaskannya kembali, serta cara pengobatan dengan wajar. Maksudnya dengan obat-obatan yang dapat kalian pelajari pula pada kitab itu. Nah, dengan demikian kalian dapat mengetahui, bahwa kitab yang aku berikan kepadamu berisi berbagai macam hal yang sangat berarti bagi kalian. Kitab itu adalah satu rangkaian dari beberapa macam ilmu yang saling berhubungan dan bersusun dengan alas ilmu yang sama. Karena itu, maka kitab itu sangat berharga. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak, karena dengan demikian mereka akan dapat menyalah-gunakannya.“ Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Mereka mengerti nilai dari kitab itu, karena sejak semula mereka telah mengerti isinya. Tidak sekedar sejenis ilmu sebagaimana tercantum dalam beberapa macam kitab yang lain. Tetapi kitab yang mereka terima dari Kiai Gringsing adalah ujud lengkap dari perguruan mereka seutuhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, tidak akan ada orang yang mampu menguasai semua jenis ilmu yang tercantum di dalam kitab itu. Tetapi murid-murid Kiai Gringsing diperintahkan untuk menyadap isi kitab itu sebanyak-banyaknya, dan yang terpenting sedalam-dalamnya. Bukan sekedar mendatar, sebagaimana telah dikatakannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun telah melangkah keluar. Sementara itu, Swandaru yang berjalan di sebelah Agung Sedayu berkata, “Besok kitab itu akan aku bawa. Kitab itu sudah terlalu lama ada di sini.“ Agung Sedayu memang sudah mengira bahwa setelah mereka mendengarkan pesan gurunya, maka Swandaru akan dengan segera memerlukan kitab itu. Tetapi Agung Sedayu tidak keberatan. Ada atau tidak ada kitab itu di rumahnya, maka ia akan dapat mempelajarinya, sebagaimana dipesankan oleh gurunya. Namun demikian, sebelum menyerahkan kepada Swandaru. Agung Sedayu masih berniat untuk membacanya sekali lagi, agar isi kitab itu terpahat semakin dalam di dinding jantungnya, serta untuk menyegarkan kembali ingatannya atas isi kitab itu. Terutama pada bab-bab yang memang menarik baginya atau memang sudah mulai dirambahnya. Dan seperti pesan gurunya, tingkat-tingkat terakhir dari ilmu cambuknya. Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah berada di pendapa kembali. Ternyata mereka memerlukan waktu cukup lama. Malam sudah menjadi semakin malam. Tetapi Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah masih menunggu dan kemudian menemani mereka duduk di pendapa. Namun mereka sama sekali tidak mempertanyakan tentang pertemuan khusus antara guru dan kedua muridnya itu. Bahkan setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayu pun mempersilahkan gurunya untuk beristirahat. Demikian Kiai Gringsing masuk ke dalam bilik yang disediakan untuknya, maka Swandaru pun telah pergi ke gandok pula. Ia sengaja berada di antara para pengawalnya. Rasa-rasanya Swandaru berada di kademangannya, di antara para pengawal kademangan yang sedang meronda. Ketika Glagah Putih sempat pergi ke belakang, dilihatnya pembantu rumahnya tidak berada di dalam biliknya, di sebelah dapur. Tetapi anak itu tidur di serambi berkerudung kain panjang. Di sebelahnya terletak kepis yang sudah dipersiapkan untuk turun ke sungai, serta cangkul dan parang. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu tertidur ketika ia menunggu tengah malam. Nampaknya anak itu hanya akan turun ke sungai sekali saja. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menjadi iba kepada anak itu. Anak yang menurut pendapatnya sangat tekun. Nampaknya ia masih belum jemu dengan pliridannya. Sementara itu kawan-kawannya yang lain sudah berganti orang. Mungkin adiknya, mungkin sepupunya, atau mungkin orang lain lagi yang meneruskan memelihara pliridan itu. Karena itu, maka Glagah Putih telah mengambil alat-alat itu dan pergi ke sungai tanpa membangunkannya. Ketika ia turun ke sungai dan memasang icir serta menutup pliridannya, ternyata seorang yang sebaya dengan umurnya masih juga turun ke sungai bersama dua orang adiknya. “Kau masih sempat juga menutup pliridan?“ bertanya anak muda itu, “Dimana anak yang sering melakukannya itu?“ “Tertidur. Nampaknya ia letih sekali,“ jawab Glagah Putih. Namun Glagah Putih pun bertanya pula, “Dan kalian juga memerlukan turun ke sungai?“ “Untuk melepaskan ketegangan,“ jawab anak muda itu, “selama ini urat-urat di kepalaku serasa menjadi kencang. Dengan turun ke sungai, berendam di air yang dingin sambil menutup pliridan, rasa-rasanya semuanya menjadi kendor kembali.“ Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Terasa bukan saja tubuh. Tetapi perasaan pun menjadi sejuk.“ Namun ketika anak-anak muda itu meninggalkannya, Glagah Putih terkejut. Anak yang tertidur itu agaknya telah terbangun. Karena ia kehilangan alat-alatnya, maka ia telah melihat ke sungai. “Kau akan menutup pliridanku sendirian tanpa aku?“ bertanya anak itu. “Kau tertidur,“ jawab Glagah Putih. “Aku yang membuka pliridan ini. Seenaknya kau menutupnya tanpa minta ijin kepadaku,“ geram anak itu. “Aku kasihan melihatmu tertidur. Nampaknya nyenyak sekali. Barangkali kau sangat letih, sehingga aku mencoba membantumu,“ jawab Glagah Putih. “Kau bohong. Besok kau tentu bercerita, bahwa kau-lah yang telah mendapat ikan dari pliridan ini,“ sahut anak itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata sambil tersenyum, “Tidak. Besok aku akan bercerita kepada semua orang bahwa bukan aku yang mendapatkan ikan dari pliridan ini.“ Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah melihat cara Glagah Putih memasang icir. Sambil bersungut ia berkata, “Kau pasang icir terlalu tinggi. Tentu banyak ikan yang tidak masuk ke dalamnya.“ Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Sementara itu, di dalam biliknya, Agung Sedayu menekuni kitab yang diberikan oleh gurunya. Besok kitab itu akan dibawa oleh Swandaru ke Sangkal Putung. “Sudah jauh lewat tengah malam Kakang,“ Sekar Mirah memperingatkan. Namun Agung Sedayu menjawab, “Aku ingin menyegarkan kembali ingatanku tentang isi kitab ini Mirah. Jika besok kitab ini dibawa ke Sangkal Putung. aku tidak akan merasa kehilangan sumber ilmu yang dikehendaki oleh Guru. Perintah Guru sudah tegas, bahwa baik ilmuku maupun ilmu Adi Swandaru harus ditingkatkan.“ Sekar Mirah yang telah berbaring di pembaringan itu pun telah bangkit dan mendekati Agung Sedayu. Ia telah mendengar serba sedikit dari Agung Sedayu apa yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Kakang. Aku kira sebagian besar dari kata-kata Kiai Gringsing itu ditujukan kepada Kakang Swandaru. Sebagaimana kau ketahui bahwa Kakang Swandaru masih jauh ketinggalan dari Kakang Agung Sedayu. Agaknya Kiai Gringsing pun kurang terbuka. Kakang Agung Sedayu sejak semula sudah mempunyai sifat tertutup. Kebetulan Guru Kakang pun mempunyai sifat yang mirip dengan sifat Kakang, sehingga rasa-rasanya Kakang pun menjadi semakin tertutup pula. Aku yang mencoba untuk mengatakan apa yang sebenarnya, Kakang Swandaru tidak pernah mempercayaiku, karena aku adalah istrimu, yang dianggap terlalu mengagumi suaminya. Tetapi dengan demikian anggapan Kakang Swandaru terhadap Kakang Agung Sedayu tidak berubah.“ “Sebenarnya aku sendiri tidak berkeberatan,“ berkata Agung Sedayu. “Mungkin Kakang tidak berkeberatan. Tetapi bukankah hal itu telah menyesatkan Kakang Swandaru? Sehingga jika pada suatu saat ia berhadapan dengan satu kenyataan, maka dapat terjadi dua kemungkinan. Ia akan menutup kekurangannya, atau hatinya menjadi patah sama sekali.“ “Jika Adi Swandaru menjalani perintah Guru kali ini, maka persoalannya akan lain. Adi Swandaru akan benar-benar mampu meningkatkan ilmunya. Sebenarnya ia masih mempunyai peluang yang sangat luas. Ia masih muda dan bekalnya pun telah cukup. Ia menguasai ilmu dasar dengan sangat baik. Khususnya ilmu cambuk,“ jawab Agung Sedayu. “Dan sekarang Kakang yang semalam suntuk tidak tidur. Jika Kakang meningkat semakin pesat, bagaimana Kakang Swandaru akan dapat menyusul Kakang? Tetapi bukan maksudku menghambat Kakang Agung Sedayu. Aku akan lebih senang jika kemampuan Kakang Agung Sedayu meningkat sampai ke tataran tidak terbatas. Yang penting bukan memaksa Kakang Swandaru untuk mengejar ketinggalannya, yang sulit untuk dilakukan. Tetapi menyadarkan dimana sebenarnya ia berada, dibandingkan dengan Kakang Agung Sedayu.“ sahut Sekar Mirah. “Bukankah kau tahu sifat kakakmu itu?“ bertanya Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Aku mengakui bahwa aku kurang terbuka. Tetapi aku memang terlalu memperhitungkan sifat Swandaru. Agaknya demikian pula Guru, sehingga ia telah menempuh satu cara yang lain.“ “Dan sekarang Kakang-lah yang menekuni kitab itu. Kakang perlu beristirahat,“ berkata Sekar Mirah. Agung Sedayu tersenyum. Katanya kepada istrinya, “Tidurlah dahulu Mirah. Aku kurang sebentar.“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun suaminya mengerti maksud gurunya, tetapi ternyata bahwa iapun merasa telah dicambuk untuk meningkatkan ilmunya, khususnya ciri dari perguruannya, ilmu cambuk. Meskipun ilmu cambuknya sudah jauh lebih baik dari Swandaru yang terlalu membatasi diri pada kekuatan kewadagan. Sekar Mirah pun tahu benar sifat suaminya. Karena itu, maka iapun telah kembali ke pembaringan. Namun sudah barang tentu ia tidak dapat tertidur. Sekali-sekali ia masih saja memandangi Agung Sedayu yang duduk menekuni kitab Kiai Gringsing, yang esok pagi akan dibawa oleh Swandaru kembali ke Sangkal Putung. Namun Sekar Mirah pun berharap sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, bahwa Swandaru akan mengadakan waktu khusus untuk meningkatkan ilmunya, merambah ke tingkat berikutnya, sehingga ia tidak membatasi diri kepada unsur kewadagan semata-mata. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membaca kembali bagian-bagian terpenting dari isi kitab itu. Terutama bagian-bagian yang harus didalami sebagai bagian tertinggi dari ilmu cambuknya. Ciri dari kekuatan raksasa dari perguruannya, perguruan Orang Bercambuk. Tetapi sebagaimana telah diketahui oleh gurunya, ternyata Agung Sedayu telah mendapatkan beberapa bagian ilmu yang tidak diwarisinya dari perguruannya. Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan sama sekali. Justru ilmu yang didapatnya semasa Agung Sedayu masih sering mengembara dan berkeliaran bersama Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa menyusuri tempat-tempat yang dapat dipergunakannya untuk menjalani laku serta latihan-latihan yang berat. Namun Agung Sedayu pun percaya, jika seseorang mampu menguasai beberapa jenis ilmu dari kitab Kiai Gringsing dengan landasan ilmu dasar perguruan Orang Bercambuk itu, maka ia akan menjadi orang yang pilih tanding. Tetapi sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa gurunya belum pernah memperlihatkan penguasaannya ilmu cambuk pada tataran tertinggi. Gurunya pernah bertempur dengan orang-orang berilmu sangat tinggi sehingga terluka. Namun ilmu yang dipergunakannya belum sampai pada tataran puncak ilmu cambuk, sebagaimana dapat dilihat dalam kitab itu. Padahal menurut perhitungan Agung Sedayu, gurunya tentu sudah menguasai kemampuan puncak dari ilmu cambuk itu sampai ke intinya. Namun Agung Sedayu pun menyadari, bahwa pada tingkat itu, ilmu cambuk itu akan sangat dahsyat. Dalam pada itu Agung Sedayu yang tenggelam dalam isi kitab Kiai Gringsing benar-benar tidak mengingat waktu. Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengar ayam jantan yang berkokok sekali dan dua kali, la baru menyadari bahwa fajar hampir menyingsing ketika ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya. Agung Sedayu menggeliat. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan Agung Sedayu beringsut sambil menutup kitabnya. Diletakkannya kitabnya di sebelah bantalnya. Kemudian iapun telah berbaring pula, untuk memberikan kesan kepada Sekar Mirah bahwa iapun telah tidur pula. Namun sebenarnyalah bahwa sekejap pun Agung Sedayu tidak dapat tidur sampai menjelang matahari terbit. Ketika Sekar Mirah terbangun, maka iapun dengan serta merta telah bangkit. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Agung Sedayu telah berbaring pula di sampingnya. Sekar Mirah sama sekali tidak mengganggu Agung Sedayu yang disangkanya baru saja tertidur. Ia sendiri kemudian bangkit dan keluar dari dalam biliknya, menuju ke dapur. Sekar Mirah tidak membangunkan ketika ia melihat anak yang membantu di rumahnya masih saja tidur di serambi. Agaknya ketika ia kembali dari sungai bersama Glagah Putih, ia kembali tidur di serambi, berkerudung kain panjang. Tetapi tidak berselisih lama, maka Agung Sedayu pun telah bangun pula. Demikian pula Glagah Putih seperti biasanya. Sesaat kemudian Ki Jayaraga pun telah bangun pula. Sejenak kemudian, maka telah terdengar suara sapu lidi di halaman, serta derit senggot timba di sumur. Tetapi bukan saja di rumah Agung Sedayu. Seisi padukuhan itu seakan-akan telah terbangun. Sesaat kemudian, Kiai Gringsing pun telah berada di pendapa pula. Swandaru yang sudah terbangun masih duduk di antara para pengawalnya, yang telah terbangun dan duduk-duduk di serambi gandok. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika Kiai Gringsing pagi-pagi memanggilnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Tolong, kawani aku setelah kau mandi, ke rumah Ki Gede.“ “Baik Guru,“ jawab Agung Sedayu. “Mumpung masih sangat pagi. Aku ingin berjalan-jalan pula menghirup segarnya udara pagi di Tanah Perdikan ini,“ berkata Kiai Gringsing pula. “Bagaimana dengan Adi Swandaru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kita bertanya saja kepadanya, apakah ia akan ikut atau tidak. Atau nanti saja, sekaligus mohon diri di saat kita kembali ke Jati Anom,“ jawab gurunya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia tidak bertanya langsung kepada Swandaru. Tetapi dipanggilnya Swandaru naik ke pendapa. “Apakah kau mau ikut?“ bertanya Kiai Gringsing. “Kemana Guru?“ bertanya Swandaru. “Aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada Ki Gede dan Ki Waskita. Nanti aku datang lagi kemari dan bersiap-siap untuk pulang ke padepokan. Siang nanti kita akan singgah lagi ke rumah Ki Gede,“ jawab Kiai Gringsing. “Kenapa tidak nanti saja sama sekali Guru?“ bertanya Swandaru. Lalu, “Bukankah lebih baik nanti saja sama sekali, di saat kita berangkat, singgah dan minta diri?“ “Nanti kita terlalu tergesa-gesa,“ jawab Kiai Gringsing, “aku masih ingin berbicara sekali dengan Ki Waskita.“ “Guru masih kembali lagi kemari sebelum sekali lagi singgah di rumah Ki Gede?“ bertanya Swandaru. “Ya,“ jawab gurunya. “Kita hanya akan mondar mandir saja kesana-kemari. Bukankah sebaiknya sekali saja singgah dan langsung menuju ke Jati Anom?“ bertanya Swandaru. “Sudah aku katakan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ki Waskita dan Ki Gede. Tidak penting sekali. Tetapi rasa-rasanya ada yang terhutang,“ jawab Kiai Gringsing. “Jika demikian, aku menunggu Guru di sini,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Aku akan bersiap-siap selama Guru berada di rumah Ki Gede.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya selain pergi ke rumah Ki Gede untuk bertemu Ki Waskita dan Ki Gede, aku juga ingin berjalan-jalan untuk melihat matahari memanjat naik.“ Tetapi Swandaru merasa segan untuk pergi. Di rumah Ki Gede ia akan menjadi patung saja. Ia tentu tidak akan banyak dapat berbicara. Apalagi bersama orang-orang tua seperti gurunya, Ki Waskita dan Ki Gede. Karena itu, maka ia benar-benar tidak mengikutinya ketika gurunya kemudian meninggalkan halaman rumah itu, meskipun orang tua itu belum mandi. “Aku akan mandi di rumah Ki Gede, setelah berjalan-jalan,“ berkata Kiai Gringsing. Namun keseganan Swandaru itu sejalan dengan keinginan Kiai Gringsing. Karena Kiai Gringsing ingin berbicara sendiri dengan Agung Sedayu. Sebenarnya Sekar Mirah pun telah mencoba menahan dan minta agar Kiai Gringsing minum dan makan lebih dahulu. Namun Kiai Gringsing hanya sempat minum beberapa teguk minuman hangat saja. “Nanti saja aku makan,“ jawab Kiai Gringsing, “masih terlalu pagi.“ Demikianlah, maka Kiai Gringsing diikuti oleh Agung Sedayu telah meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Ki Gede. Tetapi ternyata jarak yang pendek itu telah ditempuh untuk waktu yang lama, karena seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing bahwa ia telah membawa Agung Sedayu untuk berjalan-jalan. Ketika mereka melewati sebuah lorong kecil yang berbelok ke kiri, maka keduanya telah mengikuti lorong itu dan keluar dari padukuhan induk. “Bawa aku ke tempat yang jarang dikunjungi orang,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu terkejut. Tetapi kata-kata gurunya itu tegas. Bahkan katanya kemudian, “Aku perlu menunjukkan sesuatu kepadamu, tanpa orang lain.“ Agung Sedayu telah mengenali Tanah Perdikan itu sebagaimana ia mengenal halaman rumahnya sendiri. Karena itu, maka iapun segera mengetahui, kemana ia harus pergi. Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di lereng sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang. Sebuah gumuk kecil di pinggir sebuah hutan yang masih lebat. “Tempat ini memang jarang di kunjungi orang, Guru. Selain jalan yang sulit, di daerah ini masih terdapat binatang buas yang sering berkeliaran,“ berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Mungkin aku memang bukan seorang guru yang baik, karena aku telah membawamu tanpa adik seperguruanmu. Tetapi selain seorang guru, maka aku pun seorang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang muridku yang hanya dua orang itu.“ “Apakah maksud Guru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau adalah muridku yang tua. Aku berharap bahwa kau akan dapat menggantikan kedudukanku jika aku sudah tidak ada. Kecuali mengendalikan dirimu sendiri, maka kau pun wajib mengendalikan adik seperguruanmu, jika sekali-sekali ia menyimpang dari jalan kebenaran,“ berkata Kiai Gringsing. “Apakah Guru melihat gejala seperti itu?“ bertanya Agung Sedayu. Tetapi justru gurunya itu bertanya kepadanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Bagiku Adi Swandaru adalah orang yang baik. Ia telah berusaha menegakkan satu keyakinan hidup, terutama dalam tugas dan kewajibannya sebagai anak seorang Demang. Ia telah berbuat apa saja bagi kesejahteraan kademangannya.“ “Secara pribadi, apakah kau tidak melihat sesuatu yang dapat membahayakan kelurusan tingkah lakunya?“ bertanya Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Adik seperguruannya itu memang mempunyai sikap yang agak garang. Cepat mengambil keputusan, dan di atas semuanya itu, ia mempunyai harga diri yang terlalu tinggi. Ia menilai dirinya sendiri lebih dari orang lain, sehingga karena itu, maka ia telah salah membuat perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu sendiri. Karena itu, dalam keadaan yang khusus maka Swandaru akan dapat mengambil sikap yang tergesa-gesa, dan karena itu kurang dapat dipertanggung-jawabkan. Agung Sedayu itu memang sedikit tergetar ketika gurunya berkata, “Dengarlah. Aku sudah minta kedua muridku untuk meningkatkan ilmunya. Itu memang perlu sekali. Kita pun kadang-kadang mempunyai harga diri, sehingga kepada orang lain kita harus menunjukkan bahwa perguruan kita termasuk perguruan yang harus diperhitungkan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tetapi untuk itu kita tidak boleh lepas kendali. Kita harus tetap menempatkan diri kita sebagai seorang yang terikat oleh paugeran hidup di antara sesama dan bertanggung jawab kepada sumber hidup kita.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih menunggu gurunya melanjutkan. “Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “aku sudah menganjurkan kalian mempelajari sampai tingkat yang terakhir dari ilmu cambuk sebagai satu ciri dari perguruan kita. Kau tentu sudah tahu, bahwa selama ini kalian meninggalkan tingkat terakhir dari ilmu itu. Bahkan Swandaru masih harus meningkat dua tataran lagi. Namun seandainya kalian benar-benar menekuninya dan melakukan laku yang berat itu, maka kalian akan sampai pada satu tingkat yang sulit untuk diatasi. Aku masih yakin, bahwa seandainya kau memiliki kemampuan itu, kau masih akan selalu mengendalikan dirimu sehingga kau tidak akan mempergunakannya. Agaknya berbeda dengan Swandaru. Jika ia sampai juga pada puncak ilmu itu dengan menjalani laku yang tertulis di dalam kitab itu, maka aku tidak yakin, bahwa Swandaru akan dapat mengendalikan dirinya sebagaimana kau. Meskipun sebenarnya aku memperhitungkan bahwa Swandaru tidak akan sampai pada tingkat terakhir itu. Tetapi siapa tahu, bahwa tingkat itu akan dicapainya pula.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia mulai dapat meraba arah pembicaraan Kiai Gringsing. Sebenarnyalah maka Kiai Gringsing itu berkata, “Karena itu Agung Sedayu, Swandaru tidak boleh menjadi orang tertinggi dalam ilmu cambuk ini. Dengan demikian maka kau mempunyai beban ganda. Mempelajari ilmu itu tanpa niat mempergunakannya, sekaligus mengawasi Swandaru, apalagi jika iapun mencapai tataran tertinggi itu. Namun aku yakin bahwa kau akan lebih matang dari padanya.“ Jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat. Ia dapat mengerti pesan gurunya itu. Tetapi ia tidak mengira bahwa gurunya menjadi sangat berhati-hati terhadap adik seperguruannya. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata. “Aku sependapat dengan kau, bahwa Swandaru adalah anak muda yang baik. Ia mencintai kampung halamannya di atas segala-galanya. Tetapi ia juga sangat mencintai dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Memang bukan satu kesalahan, tetapi akibatnya dapat menjadi kurang baik. Jika dalam hubungan ini ia memiliki ilmu tertinggi dari cabang ilmu cambuk itu, maka tanpa orang lain yang melampaui kemampuannya, ia akan dapat berbahaya, tanpa maksud-maksud buruk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “kau memang harus mempunyai gambaran, seberapa jauh kemampuan tertinggi dari ilmu cambuk itu. Jika kau meningkat satu tataran lagi, maka kau akan sampai pada puncak kemampuan ini.“ Agung Sedayu menjadi tegang ketika ia melihat gurunya mengurai cambuknya. Dengan nada datar ia berkata, “Lihat, aku akan menunjukkan kepadamu, sampai tingkat yang manakah ilmu cambuk Swandaru sekarang ini.“ Dengan tegang Agung Sedayu memperhatikan Kiai Gringsing memutar cambuknya. Kemudian menghentakkan cambuk sendal pancing. Suaranya meledak keras sekali, sebagaimana pernah dilakukan oleh Swandaru. Jika hentakan ujung cambuk itu mengenai batu padas, maka batu padas itu tentu akan pecah. Namun kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Sekarang kau lihat, seberapa jauh kau mampu mencapai tingkat ilmu cambukmu itu.“ Sejenak kemudian. maka Kiai Gringsing itupun telah sekali lagi menghentakkan cambuknya pula. Suaranya hampir tidak terdengar. Namun getarannya terasa menghentak sampai ke jantung. Dalam tataran itu, ujung cambuk Kiai Gringsing itu telah dapat melumatkan batu padas menjadi debu. Namun kemudian Kiai Gringsing itu berkata, “Sekarang, lihat. Bagaimana jika ilmu itu meningkat satu tataran lagi dan bila sudah mencapai puncak kematangannya.“ Jantung Agung Sedayu menjadi benar-benar berdebar-debar. Ia melihat gurunya memutar cambuknya. Semakin lama semakin cepat sehingga suara desingnya telah menerpa isi dada. Rasa-rasanya desingnya saja telah mampu menahan lawan, jika hal itu dilakukan dalam satu pertempuran. Agung Sedayu yang pernah membaca untuk menangkap dan memahatkan isi kitab guruya pada bagian tetakhir itu, memang mengetahui bahwa bagian tetakhir itu memuat laku yang sangat berat, namun akan menghasilkan kekuatan yang sangat tinggi. Namun kini gurunya telah memperlihatkannya, bagaimana ilmu cambuk itu pada tataran akhir. Demikianlah, setelah membuat ancang-ancang sejenak, maka Kiai Gringsing pun telah melepaskan serangan dengan ilmu cambuknya pada tataran tertinggi dari puncak ilmu cambuk, yang dikenal sebagai ciri dari perguruan Orang Bercambuk itu. Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun ia seperti orang bingung melihat gurunya melepaskan ilmu cambuk pada tataran tertinggi itu. Dari hentakan cambuknya yang hampir tidak berbunyi sama sekali telah meluncur seleret cahaya kebiru-biruan. Cahaya yang meluncur dengan kecepatan tatit kecil di pinggir hutan itu. Memang tidak terdengar ledakan dahsyat. Tetapi ledakan itu telah terjadi. Gumuk itu benar-benar bagaikan telah meledak, sehingga batu-batu padas pun telah berguguran, meskipun tidak melontarkan bunyi yang terlalu keras. Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia mempunyai kemampuan ilmu untuk menyerang dari jarak jauh dengan mempergunakan sorot matanya. Tetapi dibandingkan dengan serangan ilmu cambuk itu, maka kekuatannya masih berada di bawah. Agaknya seseorang sulit untuk menghindari serangan yang demikian menggetarkan jantung itu, betapapun seseorang memiliki ilmu tinggi. Sedangkan jika seseorang terkena serangan itu, meskipun orang itu dibalut dengan ilmu kebal rangkap, namun ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup. Bahkan agaknya serangan itu dapat ditujukan bukan hanya kepada seseorang, tetapi kepada sekelompok orang. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun tiba-tiba menyadari, kenapa gurunya telah memerintahkannya untuk menguasai ilmu sampai ke tataran tertinggi meskipun ia tidak berniat mempergunakannya, karena kitab itu juga akan berada di tangan Swandaru. Yang meskipun butuh waktu yang lama, tetapi jika dikehendaki akan dapat mencapai tingkat itu pula. Sementara itu Agung Sedayu pun seakan-akan telah menjadi saksi, bahwa sepanjang ia menjadi murid Orang Bercambuk itu, ia belum pernah melihat gurunya mempergunakan puncak ilmu cambuknya itu, meskipun ia pernah menyaksikan dalam satu pertempuran gurunya telah terluka. “Ilmu itu terlalu dahsyat,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Nah, Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kau sudah melihat kedahsyatan ilmu itu. Kuasailah, tetapi dengan tekad untuk tidak mempergunakannya sama sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segalanya sudah jelas baginya, apa yang harus dilakukan. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya kepada gurunya, “Guru. Kenapa Guru tidak memerintahkan saja agar Adi Swandaru tidak perlu mempelajari ilmu cambuk itu sampai tataran yang terakhir? Ia cukup meningkatkan ilmu cambuknya satu tataran saja lagi, sehingga ilmunya akan berada pada tataran yang sama dengan ilmuku. Namun jika Guru sependapat, ilmuku mudah-mudahan lebih matang dari ilmunya.” Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Jika aku mencoba melarangnya, maka pada suatu saat. dimana aku tidak lagi mampu melarangnya, maka ia justru akan berusaha dengan diam-diam mempelajarinya. Aku pun tidak mungkin menutup bagian tertinggi dari ilmu itu, atau menghapusnya dari kitab itu, karena dengan demikian aku sudah menyusut ilmu itu. Karena itu, satu-satunya jalan bagiku adalah memaksamu untuk selalu berada di tingkat tertinggi dari segala macam ilmu yang dapat dipelajari dari kitab itu. Tetapi aku pun tidak akan menutup kenyataan bahwa kau sebagai manusia biasa tentu dibatasi oleh keterbatasanmu. Sebenarnyalah, aku lebih percaya kepadamu daripada Swandaru. Mungkin sekali lagi aku harus mengaku bahwa aku bukan seorang guru yang baik, karena ternyata aku tidak adil berbuat terhadap murid-muridku. Tetapi aku mempunyai landasan yang aku anggap dapat dipertanggung-jawabkan.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sangat berterima kasih kepada Guru, bahwa Guru masih mempercayaiku sebagai murid, betapapun mungkin aku kurang memenuhi keinginan Guru.“ “Sebenarnya bagiku kau sudah lebih dari cukup. Apalagi kau mampu menyerap ilmu dari luar dinding perguruan kita, serta membuatnya luluh menyatu dengan ilmu kita. Itu satu keuntungan yang dapat memperkaya perguruan kita, karena jika kau sempat menurunkan ilmu kepada orang lain, maka ilmu itu tingkatnya tentu lebih tinggi dari apa yang dapat aku berikan kepadamu. Atas dasar itu pula maka aku percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat menjaga nama perguruan kita dengan sebaik-baiknya.“ Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Marilah. Kita pergi ke rumah Ki Gede.“ “Mari Guru,“ jawab Agung Sedayu, yang tiba-tiba saja merasa bebannya menjadi semakin berat. Sambil berjalan ke padukuhan induk Kiai Gringsing masih sempat bertanya, “Bukankah kitab itu ada padamu sekarang?“ “Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi Adi Swandaru telah mengatakan bahwa kitab itu akan dibawanya ke Sangkal Putung nanti, jika ia kembali bersama Guru.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bukankah kau tidak memerlukannya?“ “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Maksudku, bukankah kau telah mampu memahatkan pengertian, bahkan kata demi kata yang tertulis pada kitab itu, pada ingatanmu?“ bertanya gurunya. “Ya Guru,“ Jawab Agung Sedayu. “Bailah. Jika demikian, biarlah kitab itu ada pada Swandaru selagi ia berniat untuk meningkatkan ilmunya yang ketinggalan,“ berkata Kiai Gringsing. “Menurut perhitunganku, maka ia akan terhenti pada tataran berikutnya. Tetapi sekali lagi aku pesan kepadamu, kau harus mencapai puncak kemampuan ilmu cambuk itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sambil melangkah, kepalanya justru telah menunduk. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berada di rumah Ki Gede. Dengan singkat, Kiai Gringsing menyatakan bahwa siang nanti setelah matahari turun, ia akan kembali ke Jati Anom. “Aku mohon maaf Ki Waskita, bahwa aku tidak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Sebenarnya kita masih dapat bersama-sama mengawani Ki Gede beberapa saat lagi. Tetapi Swandaru tidak dapat tinggal terlalu lama di sini,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Rumahku tidak sejauh rumah Kiai Gringsing. Setiap saat aku dapat datang dan pergi, hilir mudik dari rumahku ke rumah ini. Tetapi aku pun telah merencanakan untuk mohon diri besok.“ “Begitu tergesa-gesa?“ Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya. “Seperti yang aku katakan. Aku dapat hilir mudik kapan saja aku ingini,“ jawab Ki Waskita. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Bukankah aku juga dapat berbuat seperti itu? Asal saja Ki Gede memberikan bekal untuk upah menyeberangi Kali Praga.“ Ki Gede pun tertawa. Sementara itu, mereka masih berbincang beberapa saat, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Sekar Mirah pula-lah yang kemudian telah menyediakan hidangan bagi Kiai Gringsing serta tamu-tamu yang lain. Sekar Mirah pula-lah yang telah menyiapkan dan kemudian mengirimkan makan bagi para pengawal Swandaru yang ada di rumahnya. Dalam pada itu, setelah makan dan minum, serta matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah minta diri untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. “Nanti pada saatnya, kami, maksudku aku dan Swandaru, akan singgah lagi kemari untuk minta diri,“ berkata Kiai Gringsing. “Kenapa Kiai tidak menunggu di sini saja?“ bertanya Ki Gede. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun menjawab, “Biarlah aku meninggalkan Tanah Perdikan ini dari rumah muridku.“ Ki Gede tersenyum. Katanya, “Jika demikian silahkan. Agaknya memang ada alasannya, kenapa Kiai Gringsing harus mondar mandir.“ Kiai Gringsing pun tertawa. Ia memang merasakan sikapnya sendiri yang agak gelisah. Tetapi iapun menyadari, bahwa hal itu disebabkan oleh tanggung jawabnya terhadap kedua muridnya. Tanggung jawab atas sikap lahir dan batin mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah Ki Gede untuk kembali ke rumah Agung Sedayu. Di rumah Agung Sedayu, Kiai Gringsing berbenah sebentar. Demikian pula Swandaru dan para pengawalnya. Dalam waktu yang singkat itu, Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan kepada muridnya selagi mereka ada bersama-sama. Seperti yang direncanakan oleh Swandaru, maka kitab Gurunya itu pun telah disimpan di dalam sebuah kantong kain dan dibawa ke Sangkal Putung. Dengan sangat-sangat gurunya berpesan, agar kitab perguruan dari Orang Bercambuk itu disimpan baik-baik. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun juga selain para murid dari perguruan Orang Bercambuk. “Aku akan menjaganya dengan baik. Guru,“ janji Swandaru. “Kalian juga harus merahasiakan bahwa kalian telah menyimpan kitab tentang ilmu yang termasuk dalam tataran yang tinggi. Karena jika ada orang yang berniat buruk, tentu akan berusaha untuk mengambilnya. Meskipun di dunia ini ada beberapa kitab yang tidak kalah pentingnya dari kitab perguruan Orang Bercambuk, termasuk kitab yang disimpan oleh Ki Waskita, yang memuat antara lain ilmu yang dapat menumbuhkan bayangan di dalam angan-angan orang lain sehingga seakan-akan telah hadir satu ujud yang disebut ujud semu, tetapi ada kekhususan yang terdapat di dalam kitab kita itu. Yaitu ilmu pengobatan yang jarang sekali ada duanya. Penguasaan terhadap berbagai macam racun dan bisa beserta penangkalnya, serta jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi obat dari berbagai macam penyakit dan luka,“ berkata Kiai Gringsing. Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, betapa pentingnya kitab itu, sehingga karena itu, maka apapun yang terjadi kitab itu tidak boleh terlepas dari tangan mereka. “Guru,“ berkata Swandaru, “untuk beberapa lama kitab ini akan berada di Sangkal Putung. Aku berjanji bahwa kitab itu akan terlindung dengan baik di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayupun akan dapat berbuat demikian pula.“ Kiai Gringsing pun berpaling kepada Agung Sedayu dan bertanya, “Bukankah kau juga berjanji?“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku berjanji, Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “aku merasa tenang. Agaknya segala sesuatunya telah siap. Matahari telah hampir mencapai puncak. Kita akan segera berangkat. Jika kita singgah barang sebentar di rumah Ki Gede, maka pada saat matahari turun, kita akan berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah sinar matahari.“ Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah itu. Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengantar mereka sampai ke rumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Ternyata Kiai Gringsing tidak dapat menolak ketika Sekar Mirah kemudian menghidangkan makan dan minum untuk mereka yang akan berangkat menempuh perjalanan ke Jati Anom. Ketika Swandaru sempat berbincang dengan Ki Gede, maka Ki Gede mendengarkan dengan gembira tentang Pandan Wangi yang sudah hampir melahirkan. Dengan demikian Ki Gede akan segera mempunyai cucu. “Bukankah Pandan Wangi mengerti, bahwa ia harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan?“ bertanya Ki Gede. “Ya Ki Gede,“ jawab Swandaru. ”Pandan Wangi berusaha untuk menjaga dirinya sendiri dan anaknya yang bakal lahir itu.“ “Syukurlah. Apakah anak itu laki-laki atau perempuan, mudah-mudahan ia akan menjadi anak yang baik,“ berkata Ki Gede. Demikianlah, mereka sempat berbincang-bincang sejenak. Setelah makan dan minum, serta matahari mulai nampak condong, maka Kiai Gringsing pun telah minta diri untuk kembali ke Jati Anom. “Apakah Kiai tidak akan kemalaman di perjalanan?“ bertanya Ki Gede. “Justru perjalanan kami akan menjadi sejuk,“ sahut Kiai Gringsing. Namun kemudian katanya, “Mudah-mudahan kami sampai di tujuan sebelum malam.“ Demikianlah, sejenak kemudian Kiai Gringsing telah benar-benar meninggalkan rumah Ki Gede. Beberapa orang telah mengantarnya sampai ke regol. Demikian pula Sekar Mirah yang berdesis, “Hati-hati Kakang. Sungkemku kepada Ayah dan seluruh keluarga di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Mbokayu Pandan Wangi akan melahirkan dengan selamat. Jika saja kami tahu sebelumnya, kami akan berusaha untuk dapat mengunjunginya saat ia melahirkan.“ “Jaraknya terlalu jauh Mirah,“ jawab Swandaru, “tetapi aku akan berusaha.“ Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Swandaru dan beberapa orang pengawalnya telah meninggalkan padukuhan induk. Mereka menyusuri jalan menuju ke Kali Praga. Swandaru telah minta kepada Kiai Gringsing, agar mereka menempuh jalan yang jauh dari Mataram. “Mataram sedang dalam kesiagaan penuh, Guru. Kita lebih baik menjauhi kemungkinan bertemu dengan pasukan peronda yang barangkali belum kita kenal, sehingga dapat terjadi salah paham,“ desis Swandaru. Kiai Gringsing dapat mengerti alasan Swandaru. Meskipun sebenarnya ia ingin bertemu dan berbicara dengan Panembahan Senapati setelah terjadi usaha untuk membunuh Ki Patih Mandaraka. Tetapi niat itu pun telah ditundanya. Karena itu, maka mereka pun telah memilih jalan utara. Mereka menyeberang di penyeberangan sebelah utara pula. Penyeberangan yang tidak sebesar penyeberangan yang berada di tengah. Bahkan masih lebih sepi dibandingkan dengan penyeberangan di sebelah selatan. Meskipun demikian, ketika mereka sampai ke tepi Kali Praga, mereka masih harus menunggu, karena rakit penyeberangan yang sedang membawa orang baru saja berangkat, sementara rakit yang lain, yang menuju ke sisi barat, masih berada di tengah. Beberapa saat mereka menunggu. Namun kemudian rakit itu pun telah menepi. Tetapi rakit yang tidak begitu besar itu tidak dapat membawa Kiai Gringsing, Swandaru dan para pengawalnya sekaligus, sehingga karena itu, maka mereka memerlukan dua buah rakit untuk membawa mereka beserta kuda mereka. Namun bagaimanapun juga, sekelompok orang-orang berkuda itu memang menarik perhatian. Beberapa orang bahkan telah menduga-duga. Dua orang yang mengaku pedagang dengan pedang di lambung telah mendekati Kiai Gringsing yang sedang menunggu rakit yang sebuah lagi, sambil bertanya, “Ki Sanak? Darimana Ki Sanak datang atau kemana Ki Sanak akan pergi, dengan pengawalan yang kuat itu? Apakah Ki Sanak Saudagar yang membawa dagangan yang mahal, atau sedang dalam perjalanan untuk menyampaikan peningset pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan yang bernilai sangat tinggi, atau karena perang yang terjadi di Tanah Perdikan baru-baru ini?“ Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku memang penakut. Pengawal itu memberikan ketenangan di hatiku dalam perjalananku, meskipun aku tidak membawa apa-apa. Perang di Tanah Perdikan itu merupakan desakan utama agar aku melindungi diriku dengan para pengawal itu.“ Orang yang mengaku pedagang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Kiai Gringsing telah melanjutkan perjalanannya langsung ke Jati Anom. Orang tua itu tidak singgah di Sangkal Putung. Swandaru-lah yang mengantarnya ke Jati Anom, baru kemudian kembali ke Sangkal Putung. Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan panjang. Apalagi mereka tidak melalui jalan yang biasa dilalui iring-iringan para pedagang dan orang-orang yang menempuh perjalanan jauh. Mereka telah menempuh jalan yang lebih sepi. Tetapi jalan itu lebih banyak melalui lereng Gunung Merapi, sehingga kadang-kadang mereka harus sedikit naik turun. Ternyata perjalanan mereka tidak secepat yang mereka perhitungkan. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing yang tua itu harus mengingat kekuatan dan ketahanan kuda-kuda mereka. Mereka memasuki Jati Anom setelah hari menjadi gelap. Sekelompok prajurit peronda yang melihat iring-iringan lewat di bulak panjang telah bergegas menyusulnya. Tetapi Kiai Gringsing dan Swandaru mengerti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah prajurit Pajang di Jati Anom yang sebagian besar telah mengenal mereka. Karena itu, maka kuda-kuda mereka berderap dengan tenang tanpa merubah kecepatan. Sebenarnyalah ketika para prajurit itu menyusul iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu, pimpinannya yang telah mengenal Kiai Gringsing segera menemuinya dan bertanya, “Darimana Kiai?“ “Kami dari Tanah Perdikan,“ jawab Kiai Gringsing. “O. Demikian Kiai mendengar berita tentang keributan yang terjadi di Tanah Perdikan, Kiai langsung menengok murid Kiai,“ desis pemimpin prajurit itu. “Tidak. Ketika terjadi keributan justru aku sedang berada di sana. Swandaru-lah yang kemudian menyusul untuk melihat keadaanku dan keadaan kakak seperguruannya. Karena itu, ia membawa pengawal,“ jawab Kiai Gringsing. “O,“ pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, “lalu bagaimana keadaan Tanah Perdikan sekarang?“ “Semuanya sudah dapat diatasi. Prajurit Mataram datang tepat pada waktunya,“ jawab Kiai Gringsing. “Kami sudah mendengar laporannya di sini. Syukurlan bahwa semuanya selamat,“ berkata pemimpin prajurit itu. Namun kemudian pemimpin prajurit itu berkata, “Nah, selamat jalan Kiai. Jaraknya tinggal sejengkal lagi. Kami akan melanjutkan tugas kami.“ Kemudian sambil berpaling kepada Swandaru ia berkata, “Apakah kau akan singgah menemui Ki Untara?“ Swandaru menggeleng sambil menjawab, “Tidak sekarang. Besok lain kali aku akan menemuninya.“ Demikianlah, maka iring-iringan prajurit yang sedang meronda itu telah memisahkan diri. Kemudian melanjutkan tugas mereka mengelilingi daerah yang bukan saja termasuk Kademangan Jati Anom, tetapi jangkauan prajurit-prajurit itu jauh lebih luas lagi. Sebenarnyalah jarak yang harus ditempuh oleh Kiai Gringsing tinggal beberapa bulak lagi. Mereka telah melampaui Tanah Cengkar yang sering disebut-sebut ditunggui oleh seekor harimau putih. Kemudian menuju ke sebuah padepokan kecil. Di padukuhan terakhir, mereka lewat di sebuah barak kecil di sudut padukuhan. Di barak itu Untara telah meletakkan sekelompok prajuritnya yang bertugas mengawasi keadaan, dan dalam keadaan memaksa dapat dengan cepat mendekati padepokan kecil yang dititipkan oleh adiknya kepadanya. Meskipun di padepokan itu ada Kiai Gringsing, namun jika Kiai Gringsing itu sedang pergi, maka padepokan itu memang memerlukan sandaran kekuatan. Apalagi jika sekelompok orang datang dan berniat buruk di padepokan kecil itu, sementara para pemimpinnya tidak ada. Ketika Kiai Gringsing lewat di muka barak itu, maka ia telah menghentikan kudanya. Berbincang sejenak dengan prajurit yang bertugas jaga di regol. Kemudian melanjutkan perjalanan. bersambung dvX9. 271 27 8 101 449 455 31 392 243

api di bukit menoreh 415